BAB 2.2 - HIKMAT CERITA-CERITA ALKITAB
Lanjutan Bab 2.
II. Hikmat Cerita-Cerita Alkitab;
65. Tanpa mengulang seluruh teologi penciptaan, kita bisa bertanya apa yang dikatakan Alkitab melalui kisah tentang relasi manusia dan dunia. Dalam cerita penciptaan yang pertama dalam Kitab Kejadian, rencana Allah meliputi penciptaan manusia. Setelah menciptakan laki-laki dan perempuan, “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” . Alkitab mengajarkan bahwa setiap manusia diciptakan karena cinta, menurut gambar dan rupa Allah (lihat Kejadian 1:26). Pernyataan ini menunjukkan martabat tinggi setiap pribadi manusia, yang “bukan hanya sesuatu, tetapi seseorang. Dia mampu mengenal diri, menguasai diri, dan bebas memberikan dirinya dan masuk ke dalam persekutuan dengan orang lain”. Santo Yohanes Paulus II menyatakan bahwa cinta yang sangat khusus Sang Pencipta untuk setiap manusia “memberikan kepadanya martabat yang tak terbatas”. Mereka yang berkomitmen untuk membela martabat manusia, dapat menemukan dalam iman kristiani alasan terdalam untuk komitmen itu. Betapa indahnya mendapat kepastian bahwa hidup masing-masing pribadi tidak tenggelam dalam kekacauan (chaos) tanpa harapan, dalam dunia yang diatur secara kebetulan atau dalam siklus yang berulang tanpa hentinya! Sang Pencipta dapat mengatakan kepada kita masing- masing: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau” (Yeremia 1:5). Kita dikandung dalam hati Allah, dan karena itu, “kita masing- masing adalah buah pikiran Allah. Kita masing-masing dikehendaki, kita masing-masing dicintai, kita masing- masing diperlukan.
66. Dalam bahasa naratif yang simbolis, cerita-cerita penciptaan dalam kitab Kejadian mengandung ajaran mendalam tentang eksistensi manusia dan realitas sejarah. Cerita-cerita ini menunjukkan bahwa eksistensi manusia didasarkan pada tiga relasi dasar yang terkait: hubungan dengan Allah, dengan sesama, dan dengan bumi. Menurut Alkitab, tiga hubungan penting itu telah rusak, bukan hanya secara lahiriah, melainkan juga di dalam diri kita. Perpecahan ini merupakan dosa. Harmoni antara Pencipta, manusia dan semua ciptaan dihancurkan karena kita mengira dapat mengambil tempat Allah, dan menolak untuk mengakui diri sebagai makhluk yang terbatas. Hal ini juga telah menyebabkan salah pengertian atas mandat untuk “menaklukkan” bumi (lihat Kejadian 1:28), untuk “mengusahakan dan memeliharanya” (Kejadian 2:15). Akibatnya, hubungan yang awalnya harmonis antara manusia dan alam, berubah menjadi konflik (lihat Kejadian 3:17-19). Karena itu, sangat berarti bahwa harmoni yang dihayati oleh Santo Fransiskus dari Assisi dengan semua makhluk, pernah ditafsirkan sebagai pemulihan perpecahan itu. Santo Bonaventura mengatakan bahwa melalui rekonsiliasi yang universal dengan semua makhluk, dalam berbagai cara Fransiskus kembali ke jatidiri yang asli dan murni. Jauh dari model itu, sekarang ini dosamemperlihatkan dirinya sebagai daya penghancur dalam perang, dalam berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan, dalam pengabaian terhadap mereka yang paling rentan, dan dalam agresi terhadap alam.
67. Kita bukan Allah. Bumi sudah ada sebelum kita dan telah diberikan kepada kita. Hal ini memungkinkan kita untuk menanggapi tuduhan bahwa pemikiran Yahudi- Kristen yang berdasarkan Kitab Kejadian mengundang manusia untuk “berkuasa” atas bumi (lihat Kejadian 1:28), telah mendorong eksploitasi alam secara liar dengan memberi gambaran tentang sifat manusia yang dominan dan destruktif. Ini bukan interpretasi yang benar tentang Alkitab, seperti yang dipahami oleh Gereja. Meskipun benar bahwa kadang-kadang kita orang Kristen telah salah menafsirkan kitab suci, saat ini kita harus tegas menolak gagasan bahwa penciptaan kita menurut gambar Allah dan misi untuk menaklukkan bumi, membenarkan dominasi mutlak atas makhluk lainnya. Teks Alkitab harus dibaca dalam konteksnya, dengan hermeneutika yang tepat, dan konteks itu mengundang kita untuk “mengusahakan dan memelihara” taman dunia (lihat Kejadian 2:15). Sementara “mengusahakan” berarti menggarap, membajak, atau me- ngerjakan, “memelihara” berarti melindungi, menjaga, melestarikan, merawat, mengawasi. Artinya, ada relasi tanggung jawab timbal balik antara manusia dan alam. Setiap komunitas dapat mengambil apa yang mereka bu- tuhkan dari harta bumi untuk bertahan hidup, tetapi juga memiliki kewajiban untuk melindungi bumi dan menjamin keberlangsungan kesuburannya untuk generasi-generasi mendatang; karena akhirnya,” Tuhanlah yang empunya bumi” (Mazmur 24:1), Dialah yang empunya “bumi dengan segala isinya” (Ulangan 10:14). Karena itu, Allah menolak setiap klaim kepemilikan mutlak: “Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku” (Imamat 25:23).
68. Tanggung jawab terhadap bumi milik Allah ini me- nyiratkan bahwa manusia yang diberkati dengan akal budi, menghormati hukum alam dan keseimbangan yang lembut di antara makhluk-makhluk di dunia ini, sebab “Dia memberiperintah, makasemuanyatercipta. Diamendirikan semuanya untuk seterusnya dan selamanya, dan memberi ketetapan yang tidak dapat dilanggar”(Mazmur 148:5b-6). Itulah sebabnya hukum-hukum Alkitab memberi manusia berbagai norma, bukan hanya berkaitan dengan sesama manusia, tetapi juga berkaitan dengan makhluk-makhluk hidup lainnya: “Apabila engkau melihat keledai atau lembu saudaramu rebah di jalan, janganlah engkau pura-pura tidak tahu; engkau harus benar-benar menolong mem- bangunkannya bersama-sama dengan saudaramu itu. … Apabila engkau menemui di jalan sarang burung pada salah satu pohon atau di tanah dengan anak-anak burung atau telur-telur di dalamnya, dan induknya sedang duduk mendekap anak-anak atau telur-telur itu, maka janganlah engkau mengambil induk itu bersama-sama dengan anak- anaknya” (Ulangan 22:4,6). Dalam perspektif ini, istirahat pada hari ketujuh tidak dimaksudkan hanya untuk manusia tetapi juga “supaya lembu dan keledaimu beristirahat” (Keluaran 23:12). Jelaslah bahwa Alkitab tidak mengizinkan antroposentrisme diktatorial yang tidak peduli terhadap makhluk-makhluk lainnya.
69. Sementara menggunakan aneka barang dengan carayang bertanggung jawab, kita dipanggil untuk mengakui bahwa makhluk-makhluk hidup lainnya memiliki nilai in- trinsik di hadapan Allah, dan “dengan keberadaannya pun mereka sudah memuji dan memuliakan-Nya,” karena “Tuhan bersukacita dalam segala karya-Nya” (Mazmur 104:31). Justru karena martabatnya yang unik dan karena diberkati dengan akal budi, manusia dipanggil untuk menghormati sesama ciptaan dengan hukum-hukumnya karena “dengan hikmat TUHAN telah meletakkan dasar bumi” (Amsal 3:19). Dewasa ini Gereja tidak begitu saja mengatakan bahwa makhluk-makhluk lain sepenuhnya ditundukkan kepada kepentingan manusia, seolah-olah mereka tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri dan kita dapat memperlakukannya semaunya kita. Karena itu, para Uskup Jerman telah mengajarkan bahwa berkaitan dengan makhluk-makhluk lain “kita dapat berbicara tentang prioritas keberadaan mereka di atas manfaat mereka”. Katekismus jelas dan tegas mengkritik sebuah antroposentrisme yang menyimpang: “Setiap makhluk memiliki kebaikan dan kesempurnaannya sendiri ... berbagai makhluk, masing- masing dikehendaki sebagaimana adanya, mencerminkan dengan caranya sendiri sinar kebijaksanaan dan kebaikan Allah yang tak terbatas. Inilah sebabnya mengapa manusia harus menghormati kebaikan khas setiap makhluk untuk menghindari penggunaannya yang tak beraturan”.
70. Dalam kisah tentang Kain dan Habel, kita melihat bagaimana kecemburuan mendorong Kain melakukan ketidakadilan ekstrem melawan saudaranya. Ini pada gilirannya mengganggu hubungan antara Kain dengan Allah, juga antara Kain dengan bumi. Kain menjadi seorang pelarian dan pengembara di bumi. Ini diringkaskan dalam percakapan dramatis antara Allah dengan Kain. Allah bertanya, “Di mana Habel, adikmu?”. Kain menjawab bahwa dia tidak tahu. Allah mendesak: “Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu berteriak kepada-Ku dari tanah! Maka sekarang, terkutuklah engkau, terasing dari tanah”. (Kejadian 4:9-11). Mengabaikan tugas untuk memelihara dan menjaga hubungan baik dengan tetangga, yang harus saya perhatikan dan lindungi, menghancurkan hubungan saya dengan diri saya sendiri, dengan orang lain, dengan Allah dan dengan bumi. Ketika semua hubungan ini diabaikan, ketika keadilan tidak lagi berdiam di bumi, Alkitab mengatakan kepada kita bahwa hidup itu sendiri terancam. Kita melihatnya dalam kisah Nuh. Di situ Allah mengancam akan membinasakan umat manusia karena terus gagal untuk memenuhi persyaratan keadilan dan perdamaian: “”Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh manusia “(Kejadian 6:13). Dalam cerita kuno yang penuh simbolisme mendalam ini, keyakinan kita sekarang sudah ada: semuanya terhubung, dan perlin dokumentik untuk hidup kita sendiri dan hubungan kita dengan alam tidak dapat dilepaskan dari persaudaraan, keadilan, dan kesetiaan kepada pihak lain.
71. Meskipun “kejahatan manusia besar di bumi” (Kejadian 6:5) dan Allah “menyesal bahwa ia telah menja- dikan manusia di bumi” (Kejadian 6:6), namun, melalui Nuh, seorang yang benar dan tidak bercela, Allah me- mutuskan untuk membuka jalan keselamatan. Dengan demikian Ia memberi umat manusia kesempatan untuk memulai kehidupan secara baru. Hanya dibutuhkan satu orang yang baik untuk mengembalikan harapan! Tradisi Alkitab jelas menunjukkan bahwa pemulihan itu meng- andaikan penemuan kembali dan penghormatan terhadap irama yang oleh tangan Sang Pencipta ditulis dalam alam. Kita melihat hal itu, misalnya, dalam hukum Sabat. Pada hari ketujuh Allah beristirahat dari segala pekerjaan- Nya. Ia memerintahkan kepada Israel untuk memelihara setiap hari ketujuh sebagai hari istirahat, hari Sabat (lihat Kejadian 2:2-3; Keluaran 16:23; 20:10). Demikian juga ditetapkan tahun Sabat untuk Israel dan tanahnya, setiap tahun ketujuh (lihat Imamat 25:1-4). Pada tahun itu, tanah sepenuhnya diistirahatkan; orang tidak menabur, dan hanya menuai apa yang diperlukan untuk bertahan hidup bersama seluruh rumah tangga mereka (lihat Imamat 25:4- 6). Akhirnya, setelah tujuh kali tujuh tahun, pada tahun keempat puluh sembilan, dirayakan tahun Jubileum, tahun pengampunan umum dan “kebebasan di seluruh negeri bagi segenap penduduknya” (Imamat 25:10). Undang- undang ini muncul sebagai upaya untuk memastikan keseimbangan dan keadilan dalam hubungan dengan sesama manusia dan dengan tanah yang mereka diami dan mereka kerjakan. Pada saat yang sama, semuanya ini merupakan pengakuan bahwa anugerah tanah, dengan buah-buahnya, merupakan milik semua orang. Mereka yang menggarap dan memelihara tanah, harus berbagi hasilnya, terutama dengan orang-orang miskin, janda, anak yatim, dan orang asing: “Pada waktu kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kausabit ladangmu habis-habis sampai ke tepinya, dan janganlah kaupungut apa yang ketinggalan dari penuaianmu. Juga sisa-sisa buah anggurmu janganlah kaupetik untuk kedua kalinya dan buah yang berjatuhan di kebun anggurmu janganlah kaupungut, tetapi semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan bagi orang asing” (Imamat 19:9-10).
72. Mazmur sering mengundang manusia untuk memuji Allah Pencipta “yang menghamparkan bumi di atas air! Kasih-Nya kekal!” (Mazmur 136:6). Tetapi makhluk- makhluk lain pun diundang untuk memuji-Nya: “Pujilah Dia, hai matahari dan bulan, pujilah Dia, hai segala bintang yang benderang! Pujilah Dia, hai langit yang mengatasi segala langit, hai air yang di atas langit! Baiklah semuanya memuji nama TUHAN, sebab Dia memberi perintah, se- hingga semuanya tercipta” (Mazmur 148:3-5). Kita tidak hanya ada karena kuasa Allah, tetapi juga berada di ha- dapan-Nya dan di dekat-Nya. Karena itu kita memuja-Nya.
73. Kitab-kitab para nabi mengajak kita untuk mene- mukan kekuatan baru di saat-saat yang sulit dengan me- mandang Allah Yang Mahakuasa yang menciptakan alam semesta. Namun kuasa Allah yang tak terbatas itu tidak menyebabkan kita lari dari kelembutan kebapaan-Nya,karena dalam Dia kasih sayang dan kekuatan tergabung. Memang, setiap spiritualitas yang sehat akan serentak menyambut kasih Allah dan, dengan penuh keyakinan, menyembah Tuhan karena kekuasaan-Nya yang tak terbatas. Dalam Alkitab, Allah yang membebaskan dan menyelamatkan adalah Allah yang sama yang menciptakan alam semesta, dan dua jenis tindakan ilahi ini berkaitan erat dan tak terpisahkan: “Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya, Engkaulah yang telah menjadikan langit dan bumi dengan kekuatan-Mu yang besar dan dengan lengan-Mu yang terentang. Tiada suatu apapun yang mustahil untuk-Mu! … Engkau telah membawa umat-Mu Israel keluar dari tanah Mesir dengan tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat” (Yeremia 32:17,21). “TUHAN itu Allah kekal yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung; Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu, tidak terselami pengertian-Nya. Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tak berdaya” (Yesaya 40:28b-29).
74. Pengalaman pembuangan ke Babel telah mencipta- kan krisis rohani yang mendorong pendalaman iman kepada Allah. Kemahakuasaan-Nya sebagai Pencipta lebih jelas diungkapkan untuk mendorong orang menemukan kembali harapan di tengah situasi yang mencelakakan itu. Berabad-abad kemudian, pada masa pencobaan dan penganiayaan yang lain, ketika Kekaisaran Romawi berusaha memaksakan kekuasaannya yang mutlak, umat beriman sekali lagi akan menemukan penghiburan dan harapan dalam kepercayaan yang bertambah kuat pada Allah yang Mahakuasa, dan bernyanyi: “Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa!” (Wahyu 15:3). Jika Ia dapat menciptakan alam semesta dari ketiadaan, ia juga dapat bertindak di tengah dunia ini dan mengalahkan segala jenis kejahatan. Oleh karena itu, ketidakadilan bukan tidak terkalahkan.
75. Kita tidak dapat menerima spiritualitas yang melu- pakan Allah sebagai Yang Mahakuasa dan Pencipta. Sebab jika demikian, kita akhirnya akan menyembah kuasa- kuasa dunia lainnya, atau kita sendiri akan mengambil tempat Tuhan sampai mengklaim hak untuk menginjak- injak karya ciptaan-Nya, tanpa tahu batas. Cara terbaik untuk menempatkan manusia pada tempatnya, dan untuk mengakhiri klaimnya sebagai penguasa absolut atas bumi, adalah gambaran tentang sosok Bapa, Pencipta dan satu- satunya pemilik dunia. Jika tidak demikian, manusia akan selalu condong untuk memaksakan aturan dan kepen- tingannya sendiri pada realitas.