BAB 1
III. PRIBADI MANUSIA DALAM RENCANA CINTA KASIH ALLAH
a. Cinta kasih Allah Tritunggal, asal usul dan tujuan pribadi manusia
34. Pewahyuan di dalam Kristus rahasia Allah sebagai cinta kasih Trinitaris pada saat yang sama merupakan pewahyuan tentang panggilan pribadi manusia untuk mengasihi. Pewahyuan ini memberi terang pada setiap segi martabat pribadi serta kebebasan manusia, dan tentang kedalaman hakikat sosialnya. “Menjadi seorang pribadi menurut gambar dan rupa Allah juga menyangkut keberadaan dalam sebuah relasi, dalam relasi terhadap ‘Aku’ yang lain,”36 karena Allah sendiri, yang esa dan tritunggal, adalah persekutuan Bapa, Putra dan Roh Kudus.
Dalam persekutuan cinta kasih yang adalah Allah, dan di dalamnya Ketiga Pribadi Ilahi mengasihi satu sama lain sambil merupakan Allah yang esa, pribadi manusia dipanggil untuk menemukan asal dan tujuan dari eksistensinya dan dari sejarah. Para Bapa Konsili, dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, mengajarkan bahwa “ketika Tuhan Yesus Kristus berdoa kepada Bapa ‘supaya mereka semua menjadi satu … sama seperti Kita adalah satu’ (Yoh 15:21-22), dan membuka cakrawala yang tidak terjangkau oleh akal budi manusia, ia mengisyaratkan kemiripan antara persatuan Pribadi- Pribadi Ilahi dan persatuan putra-putri Allah dalam kebenaran dan cinta kasih. Keserupaan itu menampakkan bahwa manusia yang di dunia ini merupakan satu-satunya makhluk yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri tidak menemukan diri sepenuhnya tanpa dengan tulus hati memberikan dirinya (bdk. Luk 17:33).”
35. Pewahyuan Kristen memancarkan sebuah terang baru tentang jati diri, panggilan serta nasib akhir pribadi manusia dan bangsa manusia. Setiap pribadi diciptakan oleh Allah, dikasihi dan diselamatkan dalam Yesus Kristus, dan menggenapi dirinya dengan menciptakan sebuah jejaring relasi yang majemuk berupa cinta kasih, keadilan dan solidaritas dengan orang-orang lain tatkala ia melaksanakan berbagai kegiatannya di dunia ini. Kegiatan manusia, ketika ditujukan untuk memacu martabat terpadu serta panggilan setiap pribadi, mutu kondisi kehidupan dan perjumpaan dalam solidaritas antara orang-orang dan bangsa-bangsa, bersepadanan dengan rencana Allah yang tidak pernah lalai memperlihatkan cinta kasih serta penyelenggaraan-Nya bagi anak-anak-Nya.
36. Halaman-halaman dari kitab pertama Alkitab yang melukiskan penciptaan manusia seturut gambar dan rupa Allah (bdk. Kej 1:26-27) memuat sebuah ajaran fundamental berkenaan dengan jati diri dan panggilan pribadi manusia. Kitab tersebut menceritakan kepada kita bahwa penciptaan manusia merupakan tindakan Allah secara bebas dan murah hati; bahwa manusia oleh karena berkehendak bebas dan berakal budi menampilkan “dikau” yang diciptakan oleh Allah dan hanya di dalam relasi dengan Dia mereka dapat menemukan dan menggenapi makna autentik dan utuh dari kehidupan pribadi dan sosial mereka; bahwa dalam komplementaritas dan resiproksitasnya mereka adalah citra cinta kasih Allah Tritunggal dalam alam ciptaan; bahwa kepada mereka, sebagai puncak ciptaan, Sang Pencipta telah mempercayakan tugas untuk menata alam ciptaan sesuai dengan rencana-Nya (bdk. Kej 1:28).
37. Kitab Kejadian memberi kita beberapa pijakan menyangkut antropologi Kristen: martabat pribadi manusia yang tidak dapat diganggu-gugat, di mana akar dan jaminannya ditemukan di dalam rencana ciptaan Allah; hakikat sosial konstitutif makhluk insani, di mana prototipenya ditemukan di dalam relasi asali antara laki-laki dan perempuan, dan persekutuan di antara keduanya “merupakan bentuk pertama perse- kutuan antarpribadi”;38 makna kegiatan manusia di tengah dunia yang dikaitkan dengan penemuan serta penghargaan terhadap hukum- hukum alam yang telah dituliskan Allah di dalam alam ciptaan agar umat manusia dapat hidup di dalamnya dan merawatnya sesuai dengan kehendak Allah. Wawasan tentang pribadi manusia ini, tentang masyarakat dan tentang sejarah berakar di dalam Allah dan semakin jelas kelihatan manakala rencana keselamatan-Nya menjadi kenyataan.
b. Keselamatan Kristen: untuk semua orang dan pribadi seutuhnya.
38. Keselamatan yang ditawarkan dalam segenap kepenuhannya kepada manusia di dalam Yesus Kristus oleh prakarsa Allah Bapa, dan dilaksanakan serta dilanjutkan oleh karya Roh Kudus, adalah keselamatan untuk semua orang dan pribadi seutuhnya: keselamatan yang universal dan integral. Keselamatan itu menyangkut pribadi manusia dalam segenap matranya: personal dan sosial, rohani dan jasmani, historis dan transenden. Keselamatan itu mulai menjadi sebuah kenyataan sudah di dalam sejarah ini karena apa yang diciptakan itu baik adanya dan dikehendaki oleh Allah, dan karena Putra Allah menjadi salah seorang di antara kita.39 Namun penyelesaiannya berada di masa depan ketika kita akan dipanggil bersama dengan seluruh ciptaan (bdk. Rm 8) untuk ambil bagian dalam kebangkitan Kristus dan dalam persekutuan hidup yang abadi bersama Bapa dalam sukacita Roh Kudus. Pandangan ini memperlihatkan dengan sangat jelas kesalahan dan cacat cela wawasan yang semata-mata imanenistik tentang makna sejarah serta klaim-klaim manusia tentang swa-keselamatan.
39. Keselamatan yang ditawarkan oleh Allah kepada anak-anak-Nya menuntut tanggapan serta penerimaan mereka secara bebas. Itulah iman dan melaluinya “manusia dengan bebas menyerahkan dirinya seutuhnya kepada Allah”,40 seraya menanggapi cinta kasih Allah yang sudah ada lebih dahulu dan berlimpah ruah (bdk. 1Yoh 4:10) dengan cinta kasih yang nyata bagi para saudara dan saudarinya, dan dengan harapan yang tegas sebab “Ia, yang menjanjikannya adalah setia” (Ibr 10:23). Malah rencana keselamatan ilahi tidak mengebawahkan makhluk ciptaan insani pada suatu keadaan pasif semata-mata atau kedudukan yang lebih rendah dalam relasi dengan Sang Pencipta mereka, karena relasi mereka dengan Allah, yang diwahyukan Yesus Kristus kepada kita dan di dalam Dia Allah dengan bebas menjadikan kita peserta oleh karya Roh Kudus, ialah relasi seorang anak dengan orangtuanya: relasi terdalam yang dihayati Yesus dengan Bapa (bdk. Yoh 15-17; Gal 4:6-7).
40. Universalitas serta integritas keselamatan yang dibawa oleh Kristus menjadikan tak terputusnya kaitan antara relasi yang dituntut antara seorang pribadi dengan Allah dan tanggung jawab yang ia miliki terhadap sesamanya dalam lingkup historis yang nyata. Hal ini bisa dirasakan, walaupun bukan tanpa kerancuan dan salah pengertian tertentu, dalam pencarian universal manusia akan kebenaran dan makna, dan hal itu menjadi batu penjuru perjanjian Allah dengan Israel, sebagaimana yang diberi kesaksian oleh lembaran-lembaran Hukum Taurat serta pengajaran para nabi.
Kaitan ini menemukan sebuah bentuk ungkapan yang terang dan pasti dalam pengajaran Yesus Kristus dan secara definitif dikokohkan oleh kesaksian tertinggi berupa pemberian hidup-Nya dalam ketaatan kepada kehendak Bapa dan karena cinta kasih kepada para saudara dan saudari-Nya. Kepada ahli Taurat yang bertanya kepada-Nya, “Hukum manakah yang paling utama?” (Mrk 12:28), Yesus menjawab: “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini” (Mrk 12:29-31).
Yang berkaitan secara tak terlepaskan dalam hati manusia adalah relasi dengan Allah – yang dikenal sebagai Pencipta dan Bapa, sumber dan pemenuhan hidup dan keselamatan – dan keterbukaan dalam cinta kasih yang nyata kepada manusia, yang mesti diperlakukan sebagai diri yang lain, bahkan apabila ia adalah seorang musuh (bdk. Mat 5:43-44). Pada ujung-ujungnya, dalam matra batiniah manusia berakarlah komitmen kepada keadilan dan solidaritas guna membangun suatu kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang bersepadanan dengan kehendak Allah.
c. Murid Kristus sebagai suatu ciptaan baru.
41. Kehidupan personal dan sosial, dan juga tindakan manusia di dalam dunia, selalu terancam oleh dosa. Namun Yesus Kristus “dengan menanggung penderitaan bagi kita Ia bukan hanya memberi teladan supaya kita mengikut jejak-Nya, melainkan Ia juga memulihkan jalan. Sementara jalan itu kita tempuh, hidup dan maut disucikan dan menerima makna yang baru.”41 Seorang murid Kristus setia, dalam iman dan melalui sakramen-sakramen, pada rahasia Paskah Yesus agar dirinya yang lama, dengan kecenderungan jahatnya, disalibkan bersama Kristus. Sebagai sebuah ciptaan baru maka ia disanggupkan oleh rahmat untuk “berjalan dalam hidup yang baru” (Rm 6:4). Hal ini “bukan hanya berlaku bagi kaum beriman Kristen, melainkan bagi semua orang yang berkehendak baik, yang hatinya menjadi kancah kegiatan rahmat yang tidak kelihatan. Sebab karena Kristus telah wafat bagi semua orang, dan panggilan terakhir manusia benar-benar hanya satu, yakni bersifat ilahi, maka kita harus berpegang teguh bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua orang untuk, dengan cara yang diketahui oleh Allah sendiri, digabungkan dengan rahasia Paskah itu.”
42. Pembaruan batin pribadi manusia, dengan cara menyesuaikan diri secara progresif dengan Kristus, merupakan prasyarat yang mutlak diperlukan untuk sebuah pembaruan yang nyata atas relasinya dengan orang-orang lain. “Oleh karena itu, kekuatan rohani dan susila manusia harus ditantang, dan perlu diingatkan bahwa manusia secara terus-menerus harus membarui diri secara batin, dan dengan demikian mendatangkan perubahan-perubahan kemasyarakatan yang benar-benar mengabdi kepada pribadi manusia. Pertobatan hati harus diutamakan, namun hal itu tidak membatalkan tetapi sebaliknya menguatkan kewajiban untuk menyehatkan lembaga dan situasi dunia yang merangsang perilaku ke arah dosa sedemikian rupa sehingga semuanya disesuaikan dengan kaidah-kaidah keadilan dan lebih mengembangkan kebaikan daripada menghalang-halanginya.”
43. Tidaklah mungkin untuk mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri dan berkanjang dalam sikap ini tanpa tekad yang kokoh dan tetap untuk berkarya demi kesejahteraan semua orang dan setiap pribadi, karena kita semua benar- benar bertanggung jawab atas setiap orang.44 Menurut ajaran Konsili Vatikan II, “sikap hormat dan cinta kasih harus diperluas untuk menampung mereka yang di bidang sosial, politik ataupun keagamaan berpandangan atau bertindak berbeda dengan kita. Sebab semakin mendalam kita dengan sikap ramah dan cinta kasih menyelami cara-cara mereka ber- pandangan, semakin mudah pula kita akan dapat menjalin dialog dengan mereka.” Lorong ini mengandaikan rahmat yang dikaruniakan Allah kepada manusia guna membantunya untuk mengatasi kegagalan, merenggutnya dari lingkaran dusta dan tindak kekerasan, menopang dan mendorongnya untuk memulihkan jejaring relasi yang autentik lagi jujur dengan sesamanya manusia, dengan semangat yang selalu baru dan tanggap.
44. Juga relasi dengan alam ciptaan dan kegiatan manusia ditujukan untuk merawatnya dan membaruinya, sebuah kegiatan yang sehari-hari dibahayakan olehkecongkakanmanusia serta cinta dirinya yang tidak teratur, mesti dimurnikan dan disempurnakan oleh salib dan kebangkitan Kristus. “Manusia yang ditebus oleh Kristus dan dalam Roh Kudus dijadikan ciptaan baru, dapat dan wajib juga mencintai semua ciptaan Allah. Ia menerima semuanya itu dari Allah, dan memandangnya dan menghormatinya bagaikan mengalir dari tangan Allah. Atas itu semua manusia mengucapkan syukur kepada sang pemberi karunia ilahi; dalam kemiskinan dan kebebasan rohani ia menggunakan alam ciptaan dan memetik hasilnya; dan demikianlah ia diantar untuk memiliki dunia secara sejati, seakan-akan tidak mempunyai apa-apa namun toh memiliki segala-galanya. ‘Semuanya kamu punya. Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah’ (1Kor 3:22-23).”
d. Transendensi keselamatan dan otonomi hal-hal duniawi.
45. Yesus Kristus adalah Putra Allah yang menjadi manusia, di dalam Dia dan berkat Dia dunia dan manusia memperoleh kebenarannya yang autentik dan sepenuhnya. Rahasia keberadaan Allah yang secara tiada terbatas dekat dengan manusia – yang diwujudkan dalam penjelmaan Yesus Kristus, dan dalam penyerahan diri-Nya pada salib sampai mati – menunjukkan bahwa semakin realitas manusia dilihat dalam terang rencana Allah dan dihayati dalam persekutuan dengan Allah, maka realitas itu pun semakin diberdayakan dan dibebaskan dalam jati dirinya yang unik serta di dalam kebebasan yang cocok dengannya. Pengambilan bagian dalam hidup keputraan Kristus, yang dimungkinkan oleh Penjelmaan serta karunia Paskah Roh, yang sama sekali bukan aib memalukan, memiliki dampak dilepaskannya kekhasan dan jati diri yang autentik dan independen yang mencirikan makhluk insani dalam semua pengalamannya yang beraneka ragam.
Perspektif ini bermuara pada sebuah pendekatan yang benar terhadap hal-hal duniawi beserta otonominya, yang secara kuat ditekankan oleh ajaran Konsili Vatikan II: “Bila yang kita maksudkan dengan ‘otonomi hal-hal duniawi’ ialah bahwa makhluk ciptaan dan masyarakat itu sendiri memiliki hukum-hukum serta nilai-nilainya sendiri yang mesti disingkapkan secara bertahap, dimanfaatkan dan dikelola manusia, maka memang sangat pantaslah menuntut otonomi itu. Dan hal itu … selaras juga dengan kehendak Sang Pencipta. Sebab berdasarkan kenyataannya sebagai ciptaan segala sesuatu dikaruniai kemandirian, kebenaran dan kebaikannya sendiri, lagi pula menganut hukum-hukum dan mem- punyai tata susunannya sendiri. Dan manusia wajib menghormati itu semua, dengan mengakui metode-metode yang khas bagi setiap ilmu pengetahuan dan bidang teknik.”
46. Tidak ada keadaan konflik antara Allah dan manusia, tetapi sebuah relasi cinta kasih di mana dunia dan buah-buah kegiatan manusia di dalam dunia merupakan objek pemberian timbal balik antara Bapa dan anak-anak-Nya, dan di antara anak-anak itu sendiri, di dalam Kristus Yesus; di dalam Kristus dan berkat Dia dunia dan manusia menggapai maknanya yang autentik dan inheren. Seturut wawasan universal cinta kasih Allah yang merangkul segala sesuatu yang ada, Allah sendiri diwahyukan kepada kita di dalam Kristus sebagai Bapa dan pemberi kehidupan, dan manusia sebagai dia yang di dalam Kristus menerima dengan rendah hati dan bebas segala sesuatu dari Allah sebagai karunia, dan yang benar-benar memiliki segala sesuatu sebagai kepunyaannya ketika ia mengetahui dan mengalami segala sesuatu sebagai milik Allah, berasal di dalam Allah dan bergerak menuju Allah. Berkenaan dengan hal ini Konsili Vatikan II mengajarkan: “Bila ‘otonomi hal-hal duniawi’ diartikan seolah-olah ciptaan tidak tergantung pada Allah, dan manusia dapat menggunakannya sedemikian rupa sehingga tidak lagi menghubungkannya dengan Sang Pencipta, maka siapa pun yang mengakui Allah pasti merasa juga betapa sesatnya anggapan-anggapan semacam itu. Sebab tanpa Sang Pencipta makhluk lenyap menghilang.”
47. Pribadi manusia, di dalam dirinya sendiri dan seturut panggilannya, melampaui batas-batas alam ciptaan, masyarakat dan sejarah: tujuannya yang terakhir adalah Allah itu sendiri,50 yang telah mewahyukan diri-Nya kepada manusia guna mengundangmereka dan menyambutmereka ke dalam persekutuan dengan diri-Nya sendiri.51 “Manusia tidak dapat mempertaruhkan diri untuk suatu tatanan realitas yang manusiawi belaka, untuk suatu ide yang abstrak, atau untuk ‘utopia’ khayalan semata. Sebagai pribadi ia mampu menyerahkan diri kepada pribadi atau pribadi-pribadi lain, dan akhirnya kepada Allah, Pencipta kenyataan dirinya dan Dia yang satu- satunya mampu menerima persembahan diri seutuhnya.”52 Karena alasan ini maka “manusia mengalami keterasingan bila ia tidak mau melampaui dirinya atau menghayati pengalaman penyerahan diri, atau mengalami pembentukan rukun hidup manusiawi sejati yang terarahkan pada tujuan terakhirnya, yakni Allah sendiri. Sebuah masyarakat mengalami keterasingan bila dalam bentuk-bentuk organisasi sosialnya, dalam cara- cara produksi dan konsumsinya, mempersukar penyerahan diri itu serta penggalangan solidaritas antarmanusia.”
48. Pribadi manusia tidak dapat dan tidak boleh diperalat oleh struktur- struktur sosial, ekonomi atau politik, karena setiap pribadi memiliki kebebasan untuk mengarahkan dirinya sendiri menuju tujuannya yang terakhir. Di lain pihak, setiap pencapaian di bidang budaya, sosial, ekonomi atau politik, di mana kodrat sosial pribadi dan kegiatannya membarui alam semesta ini dilaksanakan di dalam sejarah, mesti selalu dipertimbangkan pula dalam konteks realitasnya yang relatif dan fana, karena “dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu” (1Kor 7:31). Di sini kita dapat berbicara tentang relativitas eskatologis, dalam arti bahwa manusia dan dunia tengah bergerak menuju tujuannya yang terakhir, yakni pemenuhan nasib akhir keduanya di dalam Allah; kita juga dapat berbicara tentang relativitas teologis, sejauh karunia Allah, olehnya tujuan pasti umat manusia dan seganap ciptaan akan digapai, lebih besar secara tak terbatas daripada berbagai kemungkinan dan harapan manusia. Setiap wawasan totaliter tentang masyarakat dan negara, dan ideologi kemajuan yang semata-mata intraduniawi bertentangan dengan kebenaran yang utuh tentang pribadi manusia dan rencana Allah di dalam sejarah.