Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 12964 | 27 Feb 2025
Klinis : Risiko infeksi
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, dengan senang hati saya akan memberikan diagnosis keperawatan dan penjelasan singkat mengenai SDKI, SLKI, dan SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi risiko infeksi.
Diagnosa Keperawatan:
Risiko Infeksi
Definisi:
Risiko Infeksi adalah kerentanan terhadap invasi dan multiplikasi organisme patogen yang dapat mengganggu kesehatan.
Faktor Risiko:
1. Ketidakadekuatan sistem pertahanan tubuh
2. Paparan terhadap patogen
3. Prosedur invasif
4. Lingkungan yang tidak higienis
5. Malnutrisi
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI):
SDKI merupakan standar yang digunakan untuk mengidentifikasi diagnosis keperawatan yang sesuai dengan kondisi pasien. Dalam kasus risiko infeksi, SDKI mencakup definisi, faktor risiko, karakteristik definitif, dan intervensi keperawatan yang sesuai.
Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI):
SLKI merupakan standar yang digunakan untuk mengidentifikasi luaran atau hasil yang diharapkan dari intervensi keperawatan. Dalam kasus risiko infeksi, SLKI mencakup luaran seperti kontrol tanda dan gejala infeksi, pemulihan status kesehatan, dan pencegahan komplikasi.
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI):
SIKI merupakan standar yang digunakan untuk mengidentifikasi intervensi keperawatan yang sesuai dengan diagnosis keperawatan. Dalam kasus risiko infeksi, SIKI mencakup intervensi seperti manajemen lingkungan, pencegahan infeksi, dan pemantauan tanda-tanda vital.
Dengan menggunakan SDKI, SLKI, dan SIKI, perawat dapat mengidentifikasi, merencanakan, dan melaksanakan intervensi keperawatan yang tepat untuk mengelola risiko infeksi pada pasien, sehingga dapat mencegah atau mengurangi komplikasi yang mungkin terjadi. -
Article No. 12965 | 27 Feb 2025
Klinis : pasien tampak terpasang OPA, suara nafas snorring dan tampak di suction bagian OPA dan mulut pasien
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi pasien yang Anda deskripsikan.
Diagnosa Keperawatan:
Pola Napas Tidak Efektif
Penjelasan:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Pola napas tidak efektif adalah ketidakmampuan untuk mempertahankan pola napas yang adekuat untuk mendukung kebutuhan oksigenasi.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
1. Pola napas membaik
2. Tidak ada tanda-tanda obstruksi jalan napas
3. Oksigenasi adekuat
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
1. Pasang dan pertahankan alat bantu jalan napas (OPA)
2. Lakukan suction sekret jalan napas
3. Pantau status pernapasan dan oksigenasi
4. Terapkan terapi oksigen sesuai kebutuhan
Berdasarkan kondisi pasien yang tampak terpasang OPA, suara napas snoring, dan perlu dilakukan suction pada OPA dan mulut, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami pola napas tidak efektif. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah memasang dan mempertahankan alat bantu jalan napas (OPA), melakukan suction sekret jalan napas, memantau status pernapasan dan oksigenasi, serta memberikan terapi oksigen sesuai kebutuhan. -
Article No. 12966 | 27 Feb 2025
Klinis : Tuan X (50 tahun) bekerja sebagai tenaga kerja di proyek bangunan, dan jarang bisa ditemui di rumah. Beliau tinggal di rumah kos bersama istrinya Ny. A (44 tahun), dan dua orang anaknya (E 16 tahun dan N 5 tahun). Saat ini, Ny A sedang hamil (G3P2-2) memasuki usia kehamilan 24 minggu. Menurut pemeriksaan terakhir, Skor Puji Rochiyati Ny A termasuk kehamilan resiko tinggi disertai hipertensi, dan tes urine yang pernah dilakukan oleh perawat keluarga menunjukan adanya proteinuria. Keluarga Tn X belum terdaftar dan belum mau mendaftar sebagai peserta BPJS. Anggapan keluarga tuan X, jika menggunakan BPJS akan tidak mendapatkan pelayanan yang layak di rumah sakit saat akan bersalin nanti. Pemahaman ini Tn X dapatkan dari tetangga. Sementara Ny A mulai menunjukkan kekhawatiran akan keselamatan diri dan bayinya terkait keluarga yang belum pasti. Tentukan diagnosa dan intervensi yang sesuai untuk kasus tersebut
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi yang dideskripsikan, berikut adalah diagnosa keperawatan SDKI, luaran/output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan (SLKI), dan intervensi keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan luaran (SIKI):
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Ketidakpatuhan: Kemauan dan/atau kemampuan yang tidak memadai untuk mengikuti rejimen pengobatan atau tindakan yang disarankan oleh penyedia layanan kesehatan.
2. Kecemasan: Respon emosional dan fisik terhadap sumber ancaman atau bahaya yang tidak jelas atau tidak diketahui.
3. Risiko Komplikasi Kehamilan: Keadaan yang meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi selama kehamilan.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Kepatuhan: Tingkat konsistensi perilaku individu dalam mengikuti rejimen pengobatan atau tindakan yang disarankan oleh penyedia layanan kesehatan.
2. Tingkat Kecemasan: Tingkat respons emosional dan fisik terhadap sumber ancaman atau bahaya yang tidak jelas atau tidak diketahui.
3. Risiko Komplikasi Kehamilan: Tingkat kemungkinan terjadinya komplikasi selama kehamilan.
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Untuk Diagnosa Keperawatan "Ketidakpatuhan":
a. Identifikasi penyebab ketidakpatuhan (misalnya, pemahaman yang salah, kepercayaan budaya, kurangnya dukungan sosial, dll).
b. Edukasi tentang pentingnya kepatuhan dalam perawatan kehamilan dan konsekuensi yang mungkin terjadi jika tidak patuh.
c. Diskusikan hambatan dan cara mengatasi ketidakpatuhan.
d. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain (misalnya bidan, dokter) untuk memastikan perawatan yang komprehensif.
e. Pantau dan evaluasi tingkat kepatuhan secara berkala.
2. Untuk Diagnosa Keperawatan "Kecemasan":
a. Identifikasi sumber dan tingkat kecemasan klien.
b. Berikan dukungan emosional dan informasi yang akurat tentang kondisi kehamilannya.
c. Ajarkan teknik relaksasi dan manajemen stres.
d. Libatkan keluarga dalam memberikan dukungan.
e. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan mental jika diperlukan.
f. Pantau dan evaluasi perkembangan kondisi kecemasan secara berkala.
3. Untuk Diagnosa Keperawatan "Risiko Komplikasi Kehamilan":
a. Identifikasi faktor risiko yang ada, seperti hipertensi dan proteinuria.
b. Monitor tanda-tanda vital, hasil tes laboratorium, dan perkembangan kehamilan secara ketat.
c. Berikan edukasi tentang pentingnya pemantauan kehamilan dan perawatan yang tepat.
d. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain (misalnya bidan, dokter) untuk memastikan perawatan yang komprehensif.
e. Libatkan keluarga dalam memberikan dukungan dan memastikan kepatuhan terhadap rencana perawatan.
f. Pantau dan evaluasi perkembangan kondisi secara berkala.
Penjelasan rinci:
Diagnosa keperawatan dan intervensi yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Ny. A dalam menjalani perawatan kehamilan, mengelola kecemasan yang dialami, dan mencegah komplikasi kehamilan yang berisiko tinggi. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain serta keterlibatan keluarga sangat penting untuk mencapai luaran yang diharapkan. Pemantauan dan evaluasi secara berkala juga diperlukan untuk memastikan efektivitas intervensi yang diberikan. -
Article No. 12967 | 27 Feb 2025
Klinis : Tuan X (50 tahun) bekerja sebagai tenaga kerja di proyek bangunan, dan jarang bisa ditemui di rumah. Beliau tinggal di rumah kos bersama istrinya Ny. A (44 tahun), dan dua orang anaknya (E 16 tahun dan N 5 tahun). Saat ini, Ny A sedang hamil (G3P2-2) memasuki usia kehamilan 24 minggu. Menurut pemeriksaan terakhir, Skor Puji Rochiyati Ny A termasuk kehamilan resiko tinggi disertai hipertensi, dan tes urine yang pernah dilakukan oleh perawat keluarga menunjukan adanya proteinuria. Keluarga Tn X belum terdaftar dan belum mau mendaftar sebagai peserta BPJS. Anggapan keluarga tuan X, jika menggunakan BPJS akan tidak mendapatkan pelayanan yang layak di rumah sakit saat akan bersalin nanti. Pemahaman ini Tn X dapatkan dari tetangga. Sementara Ny A mulai menunjukkan kekhawatiran akan keselamatan diri dan bayinya terkait keluarga yang belum pasti. Tentukan diagnosa dan intervensi yang sesuai untuk kasus tersebut
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi yang Anda sampaikan.
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Ketidakefektifan Pola Nafas Berhubungan dengan Hipertensi Kehamilan
2. Kecemasan Berhubungan dengan Kekhawatiran Ibu Hamil tentang Keselamatan Diri dan Janin
3. Kurang Pengetahuan Berhubungan dengan Pemahaman yang Salah tentang BPJS Kesehatan
Penjelasan Singkat:
1. Risiko Ketidakefektifan Pola Nafas Berhubungan dengan Hipertensi Kehamilan
- SDKI: Risiko Ketidakefektifan Pola Nafas adalah status respirasiyang tidak sesuaidengan kebutuhan, yang mungkin akan memburuk.
- SLKI: Pola Nafas adalah kemampuan untuk melakukan pertukaran gas yang adekuat.
- SIKI: Intervensi yang dapat dilakukan adalah Pemantauan Respirasi, Oksigenasi, dan Edukasi Hipertensi Kehamilan.
2. Kecemasan Berhubungan dengan Kekhawatiran Ibu Hamil tentang Keselamatan Diri dan Janin
- SDKI: Kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau khawatir yang disertai respons otonom, yang dirasakan individu sebagai ancaman atau bahaya.
- SLKI: Kecemasan adalah kemampuan untuk mengenali dan mengatasi perasaan tidak nyaman atau khawatir yang dirasakan individu sebagai ancaman.
- SIKI: Intervensi yang dapat dilakukan adalah Manajemen Kecemasan, Dukungan Emosional, dan Edukasi Kehamilan Risiko Tinggi.
3. Kurang Pengetahuan Berhubungan dengan Pemahaman yang Salah tentang BPJS Kesehatan
- SDKI: Kurang Pengetahuan adalah keterbatasan informasi yang dimiliki individu tentang kesehatan, penyakit, atau prosedur perawatan.
- SLKI: Pengetahuan adalah kemampuan individu untuk memahami informasi yang diperoleh tentang kesehatan, penyakit, atau prosedur perawatan.
- SIKI: Intervensi yang dapat dilakukan adalah Edukasi BPJS Kesehatan, Klarifikasi Informasi, dan Promosi Pendaftaran BPJS Kesehatan.
Dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat harus mempertimbangkan kondisi kehamilan Ny. A yang berisiko tinggi, kekhawatiran keluarga terkait BPJS Kesehatan, serta pemahaman yang salah tentang layanan kesehatan. Pendekatan yang holistik dan kolaboratif dengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk memastikan keselamatan Ny. A dan janin serta meningkatkan pemahaman keluarga. -
Article No. 12968 | 27 Feb 2025
Klinis : Klien Tn. C dirawat di ruang intensif dengan riwayat penyakit CKD, DM dan Hipertensi. Sebelumnya klien dibawa pihak keluarga ke IGD dengan keluhan penurunan kesadaran, sebelum penurunan kesadaran klien juga mengeluh sesak dan kelemahan pada ekstremitas. Saat ini pasien di rawat hari ke-2 di ruang intensif dan terpasang ventilator. Setelah dilakukan pengkajian diketahui kesadaran klien E3VXM4, terdapat suara ronkhi pada pada seluruh lapang paru, refleks batuk (+), TD 160/90 mmHg, RR 24 x/menit, Nadi 120x/menit SaO2: 98%. Hasil pemeriksaan darah arteri PO2 68,2 mmHg dan PCO2 13,3 mmHg dan pemeriksaan GDA 120. Klien terpasang ETT dan ketika dilakukan suction terdapat sekret konsistensi kental kekuningan. Diagnonis medis klien menunjukkan adanya pneumonia. Terapi yang didapat: Sucralfate 3x2 sendok makan, Pantoprazole 40mg (3 amp/24 jam), Apidra 3x8 unit, Citocline 250 mg/2ml, Mecobalamin 2x500 mg.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi klien Tn. C yang diberikan, berikut adalah diagnosa keperawatan beserta penjelasan singkat sesuai dengan standar SDKI - SLKI - SIKI dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
1. Diagnosa Keperawatan: Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Penjelasan:
- Ditandai dengan adanya suara ronchi pada seluruh lapang paru, refleks batuk positif, dan hasil pemeriksaan darah arteri menunjukkan PO2 yang rendah.
- Penyebabnya adalah adanya akumulasi sekret pada saluran napas yang disebabkan oleh pneumonia.
- Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan antara lain: memberikan tindakan suction untuk membersihkan jalan napas, pemberian oksigen, dan kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian terapi antibiotik.
2. Diagnosa Keperawatan: Penurunan Perfusi Jaringan Paru
Penjelasan:
- Ditandai dengan adanya penurunan oksigenasi darah arteri (PO2 68,2 mmHg) dan perubahan status pernapasan (RR 24 x/menit, SaO2 98%).
- Penyebabnya adalah adanya proses peradangan pada paru-paru akibat pneumonia, yang dapat mengganggu pertukaran gas.
- Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan antara lain: memantau status pernapasan dan oksigenasi, kolaborasi dengan tim medis untuk terapi oksigen dan mekanik ventilasi, serta mempertahankan posisi semi-fowler untuk memfasilitasi ventilasi.
3. Diagnosa Keperawatan: Risiko Infeksi
Penjelasan:
- Ditandai dengan adanya sekret kental berwarna kekuningan pada saat dilakukan suction, serta riwayat penyakit penyerta (CKD, DM, Hipertensi) yang dapat meningkatkan risiko infeksi.
- Penyebabnya adalah adanya faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko infeksi, seperti kondisi imunitas yang menurun akibat penyakit penyerta.
- Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan antara lain: memantau tanda-tanda infeksi, menjaga higiene dan kebersihan, serta kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian terapi antibiotik.
Semoga informasi ini bermanfaat. Jangan ragu untuk bertanya kembali jika membutuhkan penjelasan lebih lanjut. -
Article No. 12969 | 27 Feb 2025
Klinis : Tn. B, 55 tahun, pasien gagal ginjal kronis stadium akhir yang telah menjalani hemodialisis selama dua tahun, datang ke rumah sakit jiwa dengan tampilan lemah, ekspresi datar, dan kontak mata minimal. Ia tampak kurang responsif, sering menunduk, berbicara pelan, serta menarik diri dari interaksi sosial. Perubahan fisik akibat penyakitnya menurunkan rasa percaya diri dan membuatnya merasa terasing dari lingkungan. Beban ekonomi, ketergantungan pada orang lain, dan ketidakpastian masa depan memperburuk tekanan emosionalnya, menyebabkan apatis, kehilangan minat beraktivitas, serta perasaan tidak berharga dan kesepian. Akibat isolasi sosial dan stres berkepanjangan, ia mulai melukai diri dengan membenturkan kepala saat cemas atau tertekan, terutama setelah hemodialisis atau saat sendirian. Perilaku ini semakin sering terjadi dan tidak dapat dikendalikan oleh keluarga, sehingga ia dibawa ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan penanganan segera guna mencegah risiko cedera lebih lanjut. diagnosa apa yang dapat diambil dari kasus tersebut
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Sebagai seorang perawat profesional, saya dapat mengidentifikasi beberapa diagnosa keperawatan yang sesuai dengan kondisi pasien Tn. B, seorang pasien gagal ginjal kronis stadium akhir yang menjalani hemodialisis selama dua tahun dan saat ini datang ke rumah sakit jiwa dengan tampilan klinis yang menunjukkan tanda-tanda depresi dan perilaku melukai diri.
Berdasarkan standar Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan adalah:
1. Gangguan Proses Pikir Perseptual: Perubahan Persepsi (NANDA-I)
Definisi: Gangguan dalam menerima, memproses, dan menginterpretasikan stimulus sensorik.
Ditandai dengan: Kontak mata minimal, tampak kurang responsif, sering menunduk, dan berbicara pelan.
2. Gangguan Regulasi Emosi (NANDA-I)
Definisi: Ketidakmampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan emosi secara tepat.
Ditandai dengan: Ekspresi datar, apatis, kehilangan minat beraktivitas, serta perasaan tidak berharga dan kesepian.
3. Risiko Perilaku Mencederai Diri (NANDA-I)
Definisi: Risiko yang meningkat untuk melukai diri sendiri secara sengaja.
Ditandai dengan: Perilaku membenturkan kepala saat cemas atau tertekan, terutama setelah hemodialisis atau saat sendirian.
4. Kesepian (NANDA-I)
Definisi: Pengalaman tidak menyenangkan atau emosi negatif yang timbul karena kurangnya kehadiran atau hubungan sosial yang diinginkan.
Ditandai dengan: Merasa terasing dari lingkungan, isolasi sosial, dan perasaan tidak berharga.
Diagnosa-diagnosa tersebut mencerminkan kondisi Tn. B yang mengalami gangguan fungsi psikologis akibat perubahan fisik, beban emosional, dan keterbatasan sosial yang dialaminya sebagai pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis. Penanganan yang komprehensif dan kolaboratif antara tim kesehatan, termasuk perawat, sangat diperlukan untuk membantu Tn. B mengatasi permasalahan biopsikososial yang dihadapinya. -
Article No. 12970 | 27 Feb 2025
Klinis : Tn. B, 55 tahun, pasien gagal ginjal kronis stadium akhir yang telah menjalani hemodialisis selama dua tahun, datang ke rumah sakit jiwa dengan tampilan lemah, ekspresi datar, dan kontak mata minimal. Ia tampak kurang responsif, sering menunduk, berbicara pelan, serta menarik diri dari interaksi sosial. Perubahan fisik akibat penyakitnya menurunkan rasa percaya diri dan membuatnya merasa terasing dari lingkungan. Beban ekonomi, ketergantungan pada orang lain, dan ketidakpastian masa depan memperburuk tekanan emosionalnya, menyebabkan apatis, kehilangan minat beraktivitas, serta perasaan tidak berharga dan kesepian. Akibat isolasi sosial dan stres berkepanjangan, ia mulai melukai diri dengan membenturkan kepala saat cemas atau tertekan, terutama setelah hemodialisis atau saat sendirian. Perilaku ini semakin sering terjadi dan tidak dapat dikendalikan oleh keluarga, sehingga ia dibawa ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan penanganan segera guna mencegah risiko cedera lebih lanjut. diagnosa apa yang dapat diambil dari kasus tersebut
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Sebagai seorang perawat profesional, saya dapat mengidentifikasi beberapa diagnosa keperawatan yang sesuai dengan kondisi Tn. B. Berdasarkan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), dan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) yang ditetapkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), berikut adalah diagnosa yang dapat dipertimbangkan:
1. Isolasi Sosial: Berhubungan dengan perubahan fisik, ketergantungan pada orang lain, dan perasaan terasing dari lingkungan. Ditandai dengan kontak mata minimal, menarik diri dari interaksi sosial, dan perasaan kesepian.
2. Harga Diri Rendah: Berhubungan dengan perubahan fisik akibat penyakit dan ketergantungan pada orang lain. Ditandai dengan ekspresi datar, perasaan tidak berharga, dan penurunan rasa percaya diri.
3. Depresi: Berhubungan dengan beban ekonomi, ketidakpastian masa depan, dan stres berkepanjangan. Ditandai dengan tampilan lemah, apatis, kehilangan minat beraktivitas, dan perilaku melukai diri.
4. Koping Tidak Efektif: Berhubungan dengan strategi koping yang maladaptif, seperti perilaku melukai diri saat cemas atau tertekan. Ditandai dengan kurang responsif, sering menunduk, dan perilaku melukai diri yang tidak dapat dikendalikan.
Diagnosa-diagnosa ini saling terkait dan mencerminkan kondisi Tn. B yang kompleks, meliputi aspek fisik, psikologis, dan sosial. Penanganan yang komprehensif dan multidisipliner sangat diperlukan untuk membantu Tn. B dalam mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut dan mencapai pemulihan yang optimal. -
Article No. 12971 | 27 Feb 2025
Klinis : Tn. B, 55 tahun, pasien gagal ginjal kronis stadium akhir yang telah menjalani hemodialisis selama dua tahun, datang ke RSJ dengan tampilan lemah, ekspresi datar, dan kontak mata minimal. Ia tampak kurang responsif terhadap lingkungan sekitar, sering menunduk, dan berbicara dengan suara pelan serta jawaban singkat. Sejak didiagnosis gagal ginjal, ia mengalami perubahan fisik yang signifikan, seperti penurunan berat badan dan kelemahan setelah hemodialisis, yang membuatnya kehilangan rasa percaya diri dan merasa tidak nyaman dengan penampilannya. Keterbatasan aktivitas semakin memperburuk perasaan terasing dari teman dan keluarga, menyebabkan ia menarik diri dari interaksi sosial dan menolak untuk menghadiri pertemuan keluarga atau berbicara dengan orang terdekat. Ia lebih sering menyendiri di kamar dan menunjukkan ketidakmauan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial maupun terapi kelompok. Selain itu, beban ekonomi akibat biaya hemodialisis yang tinggi, ketergantungan pada orang lain untuk kebutuhan sehari-hari, serta ketidakpastian tentang masa depan membuatnya mengalami tekanan emosional yang berat. Perasaan putus asa yang semakin mendalam menyebabkan ia tampak tidak antusias terhadap aktivitas yang diberikan perawat, dan menunjukkan ekspresi wajah yang kosong. Meskipun mendapat dukungan dari keluarga, ia tetap merasa tidak berharga dan kesepian, sering mengungkapkan bahwa hidupnya tidak lagi berarti. Akibat isolasi sosial yang berkepanjangan dan tekanan psikologis yang terus meningkat, Tn. B mulai menunjukkan perilaku melukai diri sendiri dengan membenturkan kepala ke dinding. Perilaku ini dilakukan saat ia merasa tertekan, terutama setelah sesi hemodialisis atau saat ia sendirian di kamar. diagnosa keperawatan apa yang muncul dari kasus tersebut?
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Sebagai seorang perawat, saya menganalisis kasus Tn. B dengan pendekatan akademis dan memberikan diagnosa keperawatan yang sesuai dengan standar Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Berdasarkan informasi yang diberikan, berikut adalah diagnosa keperawatan yang muncul:
1. Risiko Perilaku Mencederai Diri Sendiri
Penjelasan: Tn. B menunjukkan perilaku melukai diri sendiri dengan membenturkan kepala ke dinding, terutama saat merasa tertekan setelah sesi hemodialisis atau saat sendirian di kamar. Hal ini meningkatkan risiko cedera fisik yang dapat membahayakan dirinya.
2. Gangguan Interaksi Sosial
Penjelasan: Tn. B mengalami keterbatasan aktivitas, menarik diri dari interaksi sosial, dan menolak untuk menghadiri pertemuan keluarga atau berbicara dengan orang terdekat. Hal ini menunjukkan adanya gangguan dalam kemampuan Tn. B untuk terlibat dalam hubungan interpersonal yang memuaskan.
3. Gangguan Citra Tubuh
Penjelasan: Tn. B mengalami perubahan fisik yang signifikan, seperti penurunan berat badan dan kelemahan setelah hemodialisis, yang membuatnya kehilangan rasa percaya diri dan merasa tidak nyaman dengan penampilannya. Hal ini mengganggu persepsi dan perasaan Tn. B terhadap tubuhnya.
4. Depresi
Penjelasan: Tn. B tampak lemah, ekspresi datar, kontak mata minimal, kurang responsif terhadap lingkungan, sering menunduk, berbicara dengan suara pelan dan jawaban singkat. Ia juga mengungkapkan perasaan putus asa dan merasa bahwa hidupnya tidak lagi berarti, yang mengarah pada diagnosis depresi.
Sesuai dengan standar Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), diagnosa keperawatan ini didasarkan pada data subjektif dan objektif yang disajikan dalam kasus. Penanganan yang komprehensif dan kolaboratif antara perawat, tim kesehatan, dan keluarga akan sangat diperlukan untuk mengelola kondisi Tn. B secara efektif. -
Article No. 12972 | 27 Feb 2025
Klinis : Tn. B, 55 tahun, pasien gagal ginjal kronis stadium akhir yang telah menjalani hemodialisis selama dua tahun, datang ke RSJ dengan tampilan lemah, ekspresi datar, dan kontak mata minimal. Ia tampak kurang responsif terhadap lingkungan sekitar, sering menunduk, dan berbicara dengan suara pelan serta jawaban singkat. Sejak didiagnosis gagal ginjal, ia mengalami perubahan fisik yang signifikan, seperti penurunan berat badan dan kelemahan setelah hemodialisis, yang membuatnya kehilangan rasa percaya diri dan merasa tidak nyaman dengan penampilannya. Keterbatasan aktivitas semakin memperburuk perasaan terasing dari teman dan keluarga, menyebabkan ia menarik diri dari interaksi sosial dan menolak untuk menghadiri pertemuan keluarga atau berbicara dengan orang terdekat. Ia lebih sering menyendiri di kamar dan menunjukkan ketidakmauan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial maupun terapi kelompok. Selain itu, beban ekonomi akibat biaya hemodialisis yang tinggi, ketergantungan pada orang lain untuk kebutuhan sehari-hari, serta ketidakpastian tentang masa depan membuatnya mengalami tekanan emosional yang berat. Perasaan putus asa yang semakin mendalam menyebabkan ia tampak tidak antusias terhadap aktivitas yang diberikan perawat, dan menunjukkan ekspresi wajah yang kosong. Meskipun mendapat dukungan dari keluarga, ia tetap merasa tidak berharga dan kesepian, sering mengungkapkan bahwa hidupnya tidak lagi berarti. Akibat isolasi sosial yang berkepanjangan dan tekanan psikologis yang terus meningkat, Tn. B mulai menunjukkan perilaku melukai diri sendiri dengan membenturkan kepala ke dinding. Perilaku ini dilakukan saat ia merasa tertekan, terutama setelah sesi hemodialisis atau saat ia sendirian di kamar. diagnosa keperawatan apa yang muncul dari kasus tersebut?
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi yang diuraikan pada kasus Tn. B, diagnosis keperawatan SDKI yang dapat ditegakkan adalah:
1. Isolasi Sosial
Definisi: Pengalaman individu yang merasa terpisah dari orang lain, baik secara emosional maupun fisik.
Penyebab: Perubahan fisik akibat gagal ginjal kronis, keterbatasan aktivitas, dan perasaan tidak berharga.
Tanda dan Gejala: Kontak mata minimal, tidak responsif terhadap lingkungan, menyendiri di kamar, menolak berpartisipasi dalam kegiatan sosial.
2. Harga Diri Rendah Situasional
Definisi: Penilaian negatif terhadap diri sendiri yang disebabkan oleh situasi atau peristiwa tertentu.
Penyebab: Perubahan fisik, ketergantungan pada orang lain, dan perasaan tidak mampu menghadapi masa depan.
Tanda dan Gejala: Ekspresi datar, jarang berbicara, merasa tidak berharga, dan tidak antusias dengan aktivitas.
3. Risiko Perilaku Melukai Diri
Definisi: Risiko individu untuk terlibat dalam perilaku yang dapat menyebabkan cedera pada diri sendiri.
Penyebab: Perasaan putus asa, tekanan emosional yang berat, dan isolasi sosial.
Tanda dan Gejala: Membenturkan kepala ke dinding saat merasa tertekan.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Isolasi Sosial
- Individu terlibat dalam interaksi sosial
- Individu menunjukkan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial
- Individu mengungkapkan perasaan terhubung dengan orang lain
2. Harga Diri Rendah Situasional
- Individu mengungkapkan penerimaan terhadap diri sendiri
- Individu menunjukkan perilaku yang mencerminkan harga diri yang positif
- Individu mengungkapkan perasaan berharga
3. Risiko Perilaku Melukai Diri
- Individu tidak terlibat dalam perilaku melukai diri
- Individu mengungkapkan harapan untuk masa depan
- Individu menunjukkan strategi koping yang efektif dalam menangani tekanan emosional
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Isolasi Sosial
- Fasilitasi interaksi sosial
- Libatkan dalam kegiatan sosial dan terapi kelompok
- Berikan dukungan emosional
- Kolaborasi dengan ahli psikologi/psikiatri untuk konseling
2. Harga Diri Rendah Situasional
- Bantu identifikasi kekuatan dan kemampuan diri
- Libatkan dalam aktivitas yang dapat meningkatkan harga diri
- Berikan umpan balik positif dan pujian
- Kolaborasi dengan ahli psikologi/psikiatri untuk intervensi kognitif-perilaku
3. Risiko Perilaku Melukai Diri
- Pantau tanda-tanda perilaku melukai diri
- Ciptakan lingkungan yang aman dan mendukung
- Ajarkan strategi koping untuk menangani tekanan emosional
- Kolaborasi dengan ahli psikologi/psikiatri untuk terapi individual dan pengobatan
Kesimpulan:
Asuhan keperawatan yang komprehensif, kolaboratif, dan berpusat pada pasien diperlukan untuk mengatasi isolasi sosial, harga diri rendah situasional, dan risiko perilaku melukai diri pada Tn. B. Intervensi keperawatan yang ditujukan untuk mencapai luaran yang diharapkan akan membantu pasien meningkatkan interaksi sosial, harga diri, dan kemampuan mengatasi tekanan emosional, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan psikologisnya. -
Article No. 12973 | 27 Feb 2025
Klinis : Tn. B, 55 tahun, pasien gagal ginjal kronis stadium akhir yang telah menjalani hemodialisis selama dua tahun, datang ke RSJ dengan tampilan lemah, ekspresi datar, dan kontak mata minimal. Ia tampak kurang responsif terhadap lingkungan sekitar, sering menunduk, dan berbicara dengan suara pelan serta jawaban singkat. Sejak didiagnosis gagal ginjal, ia mengalami perubahan fisik yang signifikan, seperti penurunan berat badan dan kelemahan setelah hemodialisis, yang membuatnya kehilangan rasa percaya diri dan merasa tidak nyaman dengan penampilannya. Keterbatasan aktivitas semakin memperburuk perasaan terasing dari teman dan keluarga, menyebabkan ia menarik diri dari interaksi sosial dan menolak untuk menghadiri pertemuan keluarga atau berbicara dengan orang terdekat. Ia lebih sering menyendiri di kamar dan menunjukkan ketidakmauan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial maupun terapi kelompok. Selain itu, beban ekonomi akibat biaya hemodialisis yang tinggi, ketergantungan pada orang lain untuk kebutuhan sehari-hari, serta ketidakpastian tentang masa depan membuatnya mengalami tekanan emosional yang berat. Perasaan putus asa yang semakin mendalam menyebabkan ia tampak tidak antusias terhadap aktivitas yang diberikan perawat, dan menunjukkan ekspresi wajah yang kosong. Meskipun mendapat dukungan dari keluarga, ia tetap merasa tidak berharga dan kesepian, sering mengungkapkan bahwa hidupnya tidak lagi berarti. Akibat isolasi sosial yang berkepanjangan dan tekanan psikologis yang terus meningkat, Tn. B mulai menunjukkan perilaku melukai diri sendiri dengan membenturkan kepala ke dinding. Perilaku ini dilakukan saat ia merasa tertekan, terutama setelah sesi hemodialisis atau saat ia sendirian di kamar. diagnosa keperawatan apa yang muncul dari kasus tersebut?
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10: Berdasarkan informasi yang diberikan, berikut adalah kode ICD-10 untuk diagnosis dan kode ICD-9-CM untuk prosedur/tindakan medis, serta diagnosis keperawatan yang mungkin muncul:
1. Kode ICD-10:
- Kode: N18.6
- Deskripsi: Gagal ginjal kronis stadium akhir
2. Kode ICD-9-CM Procedure:
- Kode: 39.95
- Deskripsi: Hemodialisis
Dari kasus yang diuraikan, beberapa diagnosis keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1. Gangguan citra tubuh: Pasien mengalami perubahan fisik yang signifikan akibat penyakit gagal ginjal dan gejala hemodialisis, seperti penurunan berat badan dan kelemahan, yang menyebabkan rasa tidak nyaman dengan penampilan dirinya dan kehilangan rasa percaya diri.
2. Isolasi sosial: Pasien menarik diri dari interaksi sosial, menolak untuk menghadiri pertemuan keluarga atau berbicara dengan orang terdekat, dan lebih sering menyendiri di kamar, sehingga mengalami isolasi sosial yang berkepanjangan.
3. Depresi: Pasien menunjukkan gejala depresi, seperti ekspresi datar, kontak mata minimal, kurang responsif terhadap lingkungan, sering menunduk, berbicara dengan suara pelan dan jawaban singkat, serta perasaan putus asa dan tidak berharga.
4. Risiko perilaku melukai diri: Pasien menunjukkan perilaku melukai diri dengan membenturkan kepala ke dinding saat merasa tertekan, terutama setelah sesi hemodialisis atau saat sendirian di kamar.
5. Kelelahan: Pasien mengalami kelemahan dan kelelahan yang semakin memburuk setelah menjalani hemodialisis, sehingga mempengaruhi aktivitas dan interaksi sosialnya.
Diagnosis keperawatan ini perlu dipertimbangkan dan dievaluasi lebih lanjut oleh tim kesehatan untuk memberikan intervensi yang tepat dan komprehensif dalam menangani pasien dengan kondisi gagal ginjal kronis stadium akhir yang disertai dengan permasalahan psikososial dan emosional.