Diagnosa Otomatis AI Advance Fitur


Bantu kelangsungan free website ini, Donasi dengan KLIK IKLAN yang Muncul dibawah ini...
INTERAKSI OBAT OtomatisAI | JoinGrup Telegram | Download Gretha AI ChromeExtension - Free Integrasi dengan SIMRS LOKAL
(Mohon untuk tidak menuliskan identitas pasien, dokter, atau pemberian asuhan!)
Contoh: Klinis 1 | Klinis 2 | Klinis 3
      Coba: interaksiOBAT by-AI  
Loading...
Diagnosa Otomatis AI:

Menunggu hasil...


Menu Utama Kumpulan Artikel

Data Diagnosa

Tanggal - Diagnosa

22268 | 2025-10-20 | 23:17:52

SDKI | Klien mengatakan bab cair berlendir 5x/hari berwarna coklat,
TD : 105/70. Nadi 75x/mnt, mukosa bibir kering, klien tampak lemah, mulut tampak pucat, crt >2detik, turgor menurun

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: Hipovolemia

Kode SDKI: D.0023

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Hipovolemia, atau defisit volume cairan, adalah kondisi patologis yang didefinisikan sebagai penurunan volume cairan intravaskular, interstisial, dan/atau intraselular. Ini adalah salah satu gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang paling umum ditemui dalam praktik klinis dan dapat berkembang menjadi kondisi yang mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Kondisi ini terjadi ketika output cairan tubuh melebihi input cairan, yang mengarah pada deplesi volume total air tubuh. Penyebab hipovolemia sangat bervariasi dan dapat dikategorikan menjadi tiga mekanisme utama: kehilangan cairan aktif, penurunan asupan cairan, atau perpindahan cairan dari ruang intravaskular ke ruang ketiga (third-spacing). Kehilangan cairan aktif adalah penyebab paling umum. Ini dapat terjadi melalui saluran gastrointestinal, seperti pada kasus diare berat (seperti yang dialami klien), muntah-muntah, atau perdarahan gastrointestinal. Kehilangan melalui ginjal juga merupakan faktor signifikan, misalnya pada penggunaan diuretik yang berlebihan, diuresis osmotik (seperti pada hiperglikemia tidak terkontrol pada diabetes melitus), atau pada fase poliuria gagal ginjal akut. Kehilangan cairan juga bisa terjadi melalui kulit akibat keringat berlebih (misalnya saat demam tinggi atau aktivitas fisik berat di lingkungan panas) atau pada kondisi luka bakar yang luas. Penurunan asupan cairan, meskipun lebih jarang menjadi penyebab tunggal, seringkali menjadi faktor yang memperburuk hipovolemia. Individu yang tidak dapat minum karena mual, kelemahan, gangguan kesadaran, atau disfagia berisiko tinggi mengalami dehidrasi. Populasi rentan seperti lansia, yang seringkali memiliki mekanisme rasa haus yang tumpul, dan bayi, yang tidak dapat mengkomunikasikan kebutuhannya, sangat berisiko. Secara patofisiologis, penurunan volume cairan intravaskular akan memicu serangkaian respons kompensasi dari tubuh untuk mempertahankan perfusi organ vital. Sistem saraf simpatis akan teraktivasi, menyebabkan vasokonstriksi perifer untuk mengalihkan aliran darah ke organ-organ sentral (otak, jantung, ginjal) dan meningkatkan denyut jantung (takikardia) untuk mempertahankan curah jantung. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (RAAS) juga diaktifkan. Penurunan aliran darah ke ginjal merangsang pelepasan renin, yang pada akhirnya memicu produksi angiotensin II (vasokonstriktor kuat) dan aldosteron (yang menahan natrium dan air di ginjal). Selain itu, hipotalamus akan melepaskan Hormon Antidiuretik (ADH), yang meningkatkan reabsorpsi air di tubulus ginjal. Manifestasi klinis hipovolemia bervariasi tergantung pada tingkat keparahan defisit cairan. Gejala dan tanda mayor yang sering muncul secara objektif meliputi frekuensi nadi meningkat (meskipun pada kasus ini nadi masih normal, takikardia adalah respons kompensasi umum), tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun (kulit lambat kembali setelah dicubit), dan membran mukosa yang kering. Secara subjektif, klien mungkin mengeluh merasa haus dan sangat lemah. Tanda minor yang dapat menyertai termasuk penurunan volume urine (oliguria), peningkatan konsentrasi urine, pengisian kapiler yang melambat (CRT >2 detik), serta pucat pada kulit dan mulut. Pada kasus yang berat, hipovolemia dapat menyebabkan perubahan status mental (kebingungan, letargi), akral dingin, dan akhirnya syok hipovolemik, suatu kondisi darurat medis yang ditandai dengan kegagalan sirkulasi dan perfusi organ yang tidak adekuat, yang dapat berujung pada kerusakan organ multipel dan kematian.


Kode SLKI: L.03028

Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama periode waktu yang ditentukan, diharapkan Status Cairan klien membaik dengan kriteria hasil sebagai berikut: Kekuatan nadi meningkat dan teraba jelas. Turgor kulit membaik, kembali elastis saat dicubit. Membran mukosa, termasuk bibir dan mulut, menjadi lembab. Asupan cairan harian klien meningkat sesuai kebutuhan. Output urine meningkat dan berada dalam rentang normal. Perasaan lemah yang dialami klien berkurang secara signifikan. Tanda-tanda vital, terutama tekanan darah, kembali stabil dalam rentang normal. Pengisian kapiler (CRT) membaik menjadi kurang dari 2 detik.


Kode SIKI: I.03116

Intervensi Utama: Manajemen Hipovolemia. Tindakan yang dilakukan mencakup serangkaian observasi, tindakan terapeutik, edukasi, dan kolaborasi. Observasi: Periksa tanda dan gejala hipovolemia secara berkala, seperti penurunan turgor kulit, mukosa bibir kering, dan kelemahan. Monitor intake dan output cairan secara ketat untuk menilai keseimbangan cairan. Pantau tanda-tanda vital, termasuk tekanan darah dan nadi, setiap 4 jam atau sesuai kondisi klien. Terapeutik: Hitung kebutuhan cairan harian klien. Berikan asupan cairan oral secara bertahap; anjurkan untuk minum sedikit tapi sering. Jika klien tidak dapat memenuhi kebutuhan cairan secara oral, pasang jalur intravena (IV) sesuai indikasi untuk rehidrasi. Edukasi: Anjurkan klien dan keluarga untuk memperbanyak asupan cairan oral, seperti air putih, jus, atau larutan oralit, untuk menggantikan cairan yang hilang melalui diare. Jelaskan pentingnya menjaga hidrasi dan mengenali tanda-tanda awal dehidrasi. Kolaborasi: Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan intravena (IV) jenis isotonik (misalnya, NaCl 0,9% atau Ringer Laktat) sesuai program terapi. Kolaborasi untuk pemberian obat antidiare jika diperlukan untuk mengurangi kehilangan cairan lebih lanjut.


***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti diagnosis atau kodifikasi resmi.***


22267 | 2025-10-20 | 23:16:42

SDKI | Klien mengatakan bab cair berlendir 5x/hari berwarna coklat,
TD : 105/70. Nadi 75x/mnt, mukosa bibir kering, klien tampak lemah, mulut tampak pucat, crt >2detik, turgor menurun

DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.


22266 | 2025-10-20 | 22:17:50

SDKI | keluarga baru menikah

DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.


22265 | 2025-10-20 | 21:13:38

SDKI | Pasien mengatakan belum mandi, rambut kotor dan acak-acakan, wajah kusam kulit berdaki dan bau, pakaian kotor dan tidak rapih, pakaian tidak sesuai, makan dan minum berantakan, tidak cuci tangan sebelum dan sesudah makan, BAB dan BAK tidak pada tempatnya, tidak cuci tangan setelah BAB dan BAK, tidak menyiram toilet setelah BAB dan BAK.

DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.


22264 | 2025-10-20 | 21:12:52

ICD | Pasien mengatakan belum mandi, rambut kotor dan acak-acakan, wajah kusam kulit berdaki dan bau, pakaian kotor dan tidak rapih, pakaian tidak sesuai, makan dan minum berantakan, tidak cuci tangan sebelum dan sesudah makan, BAB dan BAK tidak pada tempatnya, tidak cuci tangan setelah BAB dan BAK, tidak menyiram toilet setelah BAB dan BAK.

Kode ICD-10:

Kondisi: Tingkat Kebersihan Diri yang Sangat Rendah (Defisit Perawatan Diri)

Kode ICD-10: R46.0

Deskripsi Singkat : Kondisi ini menggambarkan ketidakmampuan atau kegagalan seseorang untuk melakukan aktivitas perawatan diri dasar secara mandiri, seperti yang terlihat dari gejala tidak mandi, rambut dan pakaian kotor, bau badan, serta kebiasaan makan dan buang air yang tidak higienis. Ini adalah manifestasi klinis dari penelantaran diri yang signifikan. Kode ICD-10 R46.0 termasuk dalam kategori 'Gejala dan tanda yang melibatkan penampilan dan perilaku'. Kode ini digunakan untuk mendokumentasikan temuan klinis berupa tingkat kebersihan pribadi yang sangat buruk sebagai masalah yang memerlukan perhatian. Kondisi ini seringkali merupakan gejala dari gangguan yang lebih mendasar, seperti gangguan mental berat (misalnya, skizofrenia, depresi mayor), gangguan neurokognitif (demensia), penyalahgunaan zat, atau masalah sosial yang parah.

***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti kodifikasi resmi oleh profesional medis.***


22263 | 2025-10-20 | 21:11:26

SDKI | Pasien mengatakan belum mandi, rambut kotor dan acak-acakan, wajah kusam kulit berdaki dan bau, pakaian kotor dan tidak rapih, pakaian tidak sesuai, makan dan minum berantakan, tidak cuci tangan sebelum dan sesudah makan, BAB dan BAK tidak pada tempatnya, tidak cuci tangan setelah BAB dan BAK, tidak menyiram toilet setelah BAB dan BAK.

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: Defisit Perawatan Diri

Kode SDKI: D.0109

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Defisit Perawatan Diri, dengan kode D.0109 dalam Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), didefinisikan sebagai kondisi di mana seorang individu tidak mampu melakukan atau menyelesaikan aktivitas perawatan diri secara mandiri dan adekuat. Perawatan diri merupakan serangkaian aktivitas esensial yang dilakukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar fisik, kesehatan, dan kesejahteraan sosialnya. Aktivitas ini mencakup beberapa domain utama, yaitu mandi (kebersihan tubuh), berpakaian/berhias (penampilan), makan (nutrisi), dan eliminasi atau toileting (buang air besar dan kecil). Kemampuan untuk melakukan perawatan diri secara mandiri adalah indikator penting dari fungsi


22262 | 2025-10-20 | 15:50:16

SDKI | Seorang remaja perempuan berusia 17 tahun dirawat dengan keluhan mual dan muntah-muntah serta sakit pada bagian abdomen kuadran kiri atas. Pasien mengatakan mengkonsumsi obat diet yang dibeli secara online, hal ini dilakukan untuk menjaga tubuhnya ideal seperti yang dilakukan teman-temannya. Ibu pasien menyampaikan bahwa tiga bulan yang lalu dirawat karena kondisi yang sama, dokter di rumah sakit sebelumnya menyampaikan kemungkinan pasien mengalami Anorexia Nervousa. Ibu pasien sudah melakukan konsultasi kepada psikolog karena kondisi anaknya yang selalu merasa tubuhnya jelek dan gemuk. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan sebagai berikut: Berat Badan 42 kg, Tinggi Badan 170 cm. Inspeksi: postur tampak kurus dan lemah, konjungtiva anemis, abdomen datar simetri. Auskultasi: Bising usus 15 siklus per menit di setiap kuadran. dan nyeri tekan saat palpasi pada bagian kuadran atas kiri.

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: Defisit Nutrisi

Kode SDKI: D.0019

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Defisit Nutrisi, sesuai Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), didefinisikan sebagai asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Kondisi ini merupakan salah satu masalah keperawatan yang paling fundamental karena nutrisi adalah basis dari seluruh fungsi fisiologis, mulai dari produksi energi, perbaikan sel, hingga fungsi imun. Pada kasus remaja perempuan berusia 17 tahun ini, diagnosis Defisit Nutrisi menjadi diagnosis utama yang harus ditegakkan berdasarkan serangkaian data subjektif dan objektif yang saling mendukung. Penyebab dari defisit nutrisi dapat bersifat multifaktorial. Dalam konteks kasus ini, penyebab utamanya berakar pada faktor psikologis yang kompleks. Adanya riwayat dugaan Anorexia Nervosa, pernyataan pasien yang merasa tubuhnya "jelek dan gemuk", serta upayanya mengonsumsi obat diet untuk mencapai "tubuh ideal" seperti teman-temannya, menunjukkan adanya gangguan citra tubuh yang signifikan. Gangguan citra tubuh ini mendorong perilaku makan yang maladaptif, yaitu membatasi asupan kalori secara ekstrem dan menggunakan metode yang tidak sehat (obat diet) untuk menurunkan berat badan. Ketidakmampuan untuk mencerna makanan secara adekuat, yang dimanifestasikan dengan keluhan mual, muntah, dan nyeri abdomen, bisa jadi merupakan akibat langsung dari efek samping obat diet tersebut atau respons fisiologis tubuh terhadap kondisi malnutrisi kronis (misalnya, atrofi mukosa lambung atau gastroparesis). Secara objektif, data yang paling menonjol adalah hasil pengukuran antropometri. Dengan berat badan 42 kg dan tinggi badan 170 cm, Indeks Massa Tubuh (IMT) pasien adalah 14.53 kg/m². Angka ini jauh di bawah ambang batas normal (18.5-24.9 kg/m²) dan masuk dalam kategori gizi buruk atau underweight tingkat berat. Kondisi ini secara langsung memenuhi kriteria gejala dan tanda mayor dari Defisit Nutrisi, yaitu "Berat badan menurun minimal 10% di bawah rentang ideal". Tanda-tanda fisik lain seperti postur yang tampak kurus dan lemah serta konjungtiva anemis juga merupakan manifestasi klinis dari kekurangan nutrisi jangka panjang. Kelemahan fisik terjadi akibat katabolisme protein otot untuk memenuhi kebutuhan energi, sementara konjungtiva anemis mengindikasikan anemia defisiensi besi, suatu kondisi yang umum terjadi pada individu dengan asupan nutrisi yang tidak adekuat. Gejala dan tanda minor yang mendukung diagnosis ini juga sangat jelas. Keluhan mual, muntah, dan nyeri tekan pada abdomen kuadran kiri atas merupakan bukti adanya disfungsi gastrointestinal. Bising usus 15 siklus per menit, meskipun berada dalam rentang normal, bisa menjadi indikasi awal iritasi atau peningkatan motilitas usus sebagai respons terhadap obat diet atau kondisi malnutrisi itu sendiri. Dampak dari defisit nutrisi yang tidak tertangani sangat berbahaya, terutama pada usia remaja yang masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Kekurangan makronutrien (karbohidrat, protein, lemak) dan mikronutrien (vitamin, mineral) dapat menyebabkan gangguan pada hampir seluruh


22261 | 2025-10-20 | 15:49:15

SDKI |
You said:
Pak Asep berusia 65 tahun diantar ke rumah sakit oleh istri dan Pengurus RT karena sesak.
Ners Anna melakukan pengkajian pada pasien. Istri pasien mengatakan bahwa Pak Asep
sebelum sesak memang sudah sering batuk kurang lebih 1 minggu, dahak kental dan warna
nya kuning. Pak Asep menolak ke klinik dan memilih membeli obat batuk di apotik. Tiga hari
sebelum dirawat, istrinya menyampaikan pak Asep sempat meriang-meriang dan keringat
dingin. Pak Asep mengeluh “batuk saya ga henti henti, dada saya jadinya sakit. Ini
tenggorokan saya rasanya kering sekali, juga lemes. Sesak Ners kalau saya tiduran terlentang”.
Istri mengatakan pasien masih aktif merokok ½ pack sehari.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan: frekuensi nadi 108x/menit, frekuensi napas 30 x/menit,
suhu 38,7ºC, tekanan darah 130/90 mmHg, SpO2 90%, mukosa mulut dan kulit kering. Pasien
tampak bernapas cepat dan dangkal.

DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.


22260 | 2025-10-20 | 14:48:17

SDKI | Seorang remaja bernama Sdr. A berusia 15 tahun siswa SMA dan tinggal bersama orang tua dan seorang adik perempuan di Bantul mengeluh nyeri di paha bagian kanan. Sdr. A sering mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sepak bola di sekolahnya. Sekitar tiga bulan yang lalu, Sdr. A mulai mengeluh nyeri di paha kanan setelah bermain bola. Nyeri tersebut tidak membaik dan semakin berat, terutama ketika malam hari. Sdr. A juga mulai merasakan bengkak di bagian tengah paha kanan yang terasa keras dan sedikit hangat saat disentuh. Rasa nyeri yang terus-menerus membuatnya sulit berjalan dan sering tertatih-tatih ketika bergerak.

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: Nyeri Kronis

Kode SDKI: D.0078

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Nyeri Kronis didefinisikan sebagai pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Berbeda dengan nyeri akut yang merupakan sinyal peringatan adanya cedera atau penyakit dan bersifat sementara, nyeri kronis adalah kondisi patologis yang kompleks di mana sinyal nyeri tetap aktif di sistem saraf selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Kondisi ini tidak lagi berfungsi sebagai mekanisme protektif, melainkan menjadi penyakit itu sendiri yang memengaruhi hampir setiap aspek kehidupan individu. Pada kasus Sdr. A, seorang remaja aktif berusia 15 tahun, keluhan nyeri di paha kanan yang telah berlangsung selama tiga bulan memenuhi kriteria durasi untuk diagnosis Nyeri Kronis. Awalnya, nyeri mungkin dianggap sebagai cedera olahraga akut terkait aktivitas sepak bola. Namun, kegagalan nyeri untuk membaik, disertai dengan progresivitas (semakin berat), dan munculnya gejala "red flag" seperti nyeri yang memburuk di malam hari dan adanya massa yang teraba keras dan hangat, menunjukkan adanya proses patologis yang mendasari dan berkelanjutan. Ini bukan lagi sekadar respons fisiologis terhadap cedera, melainkan sebuah sindrom nyeri yang persisten. Secara patofisiologis, nyeri kronis dapat melibatkan beberapa mekanisme. Pertama, sensitisasi sentral, di mana sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang) menjadi hipersensitif terhadap rangsangan. Neuron menjadi lebih mudah terpicu dan merespons secara berlebihan, bahkan terhadap rangsangan yang normalnya tidak menyakitkan (allodynia) atau menyebabkan respons nyeri yang jauh lebih hebat dari seharusnya (hiperalgesia). Nyeri malam hari yang dialami Sdr. A bisa jadi merupakan manifestasi dari ambang nyeri yang menurun akibat sensitisasi ini. Kedua, bisa terjadi perubahan neuroplastik, di mana struktur dan fungsi sistem saraf berubah secara permanen sebagai respons terhadap input nyeri yang terus-menerus, menciptakan "memori nyeri". Pengkajian keperawatan untuk nyeri kronis harus bersifat multidimensional, melampaui sekadar skala intensitas nyeri. Perawat perlu mengkaji secara komprehensif menggunakan pendekatan PQRST (Provocation/Palliation, Quality, Region/Radiation, Severity, Timing). Pada Sdr. A, provokasi nyeri adalah aktivitas berjalan, sementara pemicu awalnya adalah bermain bola. Kualitas nyeri perlu digali lebih dalam (apakah terasa tajam, tumpul, berdeny


22258 | 2025-10-20 | 13:45:14

SDKI | Tn. Markus 40 tahun, dibawa ke bangsal jiwa Bima. Klien sudah terlihat tenang saat dibawa ke ruangan. Saat di dalam ruangan rawat inap klien menunjukkan perilaku menyeringai sendiri, lambat dalam menjawab pertanyaan perawat, dan gerakan bola mata yang cepat. Dari rekam medis didapatkan bahwa diagnosis pasien Schizophrenia tak terinci. TD: 120/80 mm Hg, HR: 80x/menit, RR: 17x/menit, suhu 36,7°C.

DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.


22257 | 2025-10-20 | 13:44:22

ICD | Tn. Markus 40 tahun, dibawa ke bangsal jiwa Bima. Klien sudah terlihat tenang saat dibawa ke ruangan. Saat di dalam ruangan rawat inap klien menunjukkan perilaku menyeringai sendiri, lambat dalam menjawab pertanyaan perawat, dan gerakan bola mata yang cepat. Dari rekam medis didapatkan bahwa diagnosis pasien Schizophrenia tak terinci. TD: 120/80 mm Hg, HR: 80x/menit, RR: 17x/menit, suhu 36,7°C.

Kode ICD-10:

Kondisi: Schizophrenia, tak terinci

Kode ICD-10: F20.9

Deskripsi Singkat : Skizofrenia adalah gangguan mental berat yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Kondisi ini ditandai oleh gejala-gejala yang secara umum diklasifikasikan sebagai gejala positif (seperti halusinasi dan delusi), gejala negatif (seperti afek datar dan penarikan diri dari sosial), serta disorganisasi dalam pemikiran dan perilaku. Kode ICD-10 F20.9 digunakan untuk 'Skizofrenia, tak terinci'. Kode ini diterapkan ketika diagnosis skizofrenia telah ditegakkan, namun informasi yang tersedia dalam rekam medis tidak cukup untuk mengklasifikasikannya ke dalam salah satu subtipe yang lebih spesifik (misalnya


22255 | 2025-10-20 | 12:11:16

SDKI | Pasien pria, usia 35 tahun, datang dengan keluhan batuk berdahak selama 2 minggu, demam, sesak napas, dan kehilangan nafsu makan. Hasil pemeriksaan menunjukkan suara napas bronkial di paru kanan atas, hasil rontgen menunjukkan adanya lesi di paru. Diagnosis awal adalah tuberkulosis paru.

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif

Kode SDKI: D.0001

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Diagnosis keperawatan "Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif" dengan kode D.0001 didefinisikan sebagai ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten. Kondisi ini merupakan masalah sentral pada pasien dengan diagnosis awal tuberkulosis paru (TB), seperti yang digambarkan dalam kasus ini. Patofisiologi TB secara langsung menyebabkan gangguan pada mekanisme pembersihan jalan napas. Infeksi oleh *Mycobacterium tuberculosis* memicu respons inflamasi kronis di parenkim paru. Tubuh merespons dengan membentuk granuloma (tuberkel) untuk mengisolasi bakteri. Seiring perkembangan penyakit, bagian tengah granuloma ini dapat mengalami nekrosis kaseosa (perkejuan), yang kemudian dapat mencair dan


22254 | 2025-10-20 | 12:10:45

ICD | Pasien pria, usia 35 tahun, datang dengan keluhan batuk berdahak selama 2 minggu, demam, sesak napas, dan kehilangan nafsu makan. Hasil pemeriksaan menunjukkan suara napas bronkial di paru kanan atas, hasil rontgen menunjukkan adanya lesi di paru. Diagnosis awal adalah tuberkulosis paru.

Kode ICD-10: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.


22253 | 2025-10-20 | 11:44:21

ICD | resiko infeksi

Kode ICD-10:

Kondisi: Resiko Infeksi

Kode ICD-10: Z20.9

Deskripsi Singkat : 'Resiko Infeksi' adalah suatu kondisi klinis di mana seorang pasien memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk terkena penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen. Ini bukanlah diagnosis penyakit aktif, melainkan penilaian terhadap faktor-faktor yang membuat individu rentan, seperti sistem kekebalan tubuh yang lemah, adanya luka terbuka, prosedur medis invasif, atau paparan terhadap lingkungan yang terkontaminasi. Kode ICD-10 Z20.9, 'Kontak dengan dan (dugaan) pajanan terhadap penyakit menular yang tidak spesifik', digunakan untuk mendokumentasikan situasi ini. Kode ini termasuk dalam Bab XXI (Faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan dan kontak dengan pelayanan kesehatan). Penggunaan kode ini menunjukkan bahwa pasien telah terpapar atau berisiko terpapar agen infeksius, tetapi belum menunjukkan tanda atau gejala penyakit, dan jenis penyakit menularnya tidak ditentukan. Kode ini penting untuk justifikasi tindakan pencegahan (profilaksis), pemantauan pasien secara ketat, dan alokasi sumber daya keperawatan untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial atau infeksi lainnya.

***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti kodifikasi resmi oleh profesional medis.***


22252 | 2025-10-20 | 11:43:50

SDKI | resiko infeksi

DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.


22251 | 2025-10-20 | 11:39:32

SDKI | resiko defisit nutrisi

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: Resiko Defisit Nutrisi

Kode SDKI: D.0032

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Risiko Defisit Nutrisi, dengan kode D.0032 dalam Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), didefinisikan sebagai kondisi di mana seorang individu berisiko mengalami asupan nutrisi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuhnya. Penting untuk digarisbawahi bahwa ini adalah diagnosis "risiko", yang berarti masalah aktual defisit nutrisi belum terjadi, namun terdapat faktor-faktor risiko yang signifikan yang membuat individu tersebut sangat rentan untuk mengalaminya. Identifikasi dini dan intervensi proaktif menjadi kunci utama dalam manajemen keperawatan untuk diagnosis ini, guna mencegah transisi dari kondisi risiko menjadi masalah aktual yang dapat berdampak serius pada kesehatan pasien. Faktor risiko yang berkontribusi terhadap Risiko Defisit Nutrisi sangat beragam dan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori utama. Pertama, faktor fisiologis yang secara langsung memengaruhi kemampuan tubuh untuk mengonsumsi, mencerna, atau menyerap nutrien. Ini termasuk ketidakmampuan menelan (disfagia), yang sering dijumpai pada pasien pasca-stroke, penderita penyakit neurologis seperti Parkinson atau Multiple Sclerosis, atau adanya obstruksi mekanis pada esofagus. Ketidakmampuan mencerna makanan juga menjadi faktor risiko, misalnya pada kondisi insufisiensi pankreas atau penyakit Crohn, di mana enzim pencernaan tidak adekuat. Selanjutnya, ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien, seperti yang terjadi pada sindrom usus pendek (short bowel syndrome) atau penyakit celiac, menyebabkan nutrien yang sudah dicerna tidak dapat diserap secara efektif oleh usus. Kondisi lain yang meningkatkan kebutuhan metabolisme tubuh secara drastis, seperti pada pasien luka bakar luas, sepsis, kanker, atau pasca-operasi besar, juga menempatkan mereka pada risiko tinggi karena kebutuhan kalori dan protein mereka melonjak melampaui asupan normal. Kedua, faktor psikologis memainkan peran yang tidak kalah penting. Stres berat, kecemasan, dan depresi dapat secara signifikan menekan nafsu makan dan minat terhadap makanan. Kondisi kesehatan mental seperti anoreksia nervosa dan bulimia nervosa secara langsung menyebabkan asupan nutrisi yang sangat tidak adekuat. Keengganan untuk makan juga bisa muncul sebagai respons terhadap nyeri kronis, mual, atau efek samping pengobatan seperti kemoterapi yang mengubah persepsi rasa dan menyebabkan mukositis. Ketiga, faktor situasional dan ekonomi seringkali menjadi penghalang utama dalam pemenuhan nutrisi. Ketidakcukupan finansial dapat membatasi akses individu atau keluarga terhadap makanan yang bergizi. Kurangnya pengetahuan tentang nutrisi yang seimbang, pilihan makanan yang sehat, dan cara penyiapan makanan yang tepat juga berkontribusi terhadap risiko ini. Keterbatasan akses terhadap makanan, misalnya bagi lansia yang hidup sendiri dan memiliki mobilitas terbatas, atau individu yang tinggal di daerah terpencil, juga merupakan faktor risiko yang signifikan. Selain itu, efek samping dari pengobatan, seperti obat-obatan yang menyebabkan mulut kering (xerostomia


22250 | 2025-10-20 | 10:02:32

ICD | 🧍‍♂️ Kondisi Klinis Pasien Tn. R (45 tahun)

Identitas dan Riwayat Kesehatan:

Usia 45 tahun, dirawat di ruang penyakit dalam.

Baru didiagnosis hipertensi sejak 2 bulan lalu dengan tekanan darah awal 150/95 mmHg.

Riwayat keluarga:

Ayah meninggal karena stroke pada usia 60 tahun.

Ibu memiliki hipertensi dan riwayat infark miokard (serangan jantung).

Kebiasaan: Merokok 1 bungkus/hari selama 28 tahun.

Tidak patuh minum obat karena takut efek samping seperti impotensi dan gangguan ginjal.

Keluhan utama saat masuk rumah sakit:

Sakit kepala, gelisah, dan tidak nyaman di daerah dada.

Pemeriksaan Fisik:

TD: 170/110 mmHg (hipertensi derajat II)

Nadi: 84 x/menit, RR: 20 x/menit

Impuls apikal: teraba di ICS 4 lateral midklavikula

Irama jantung: reguler

Mild retinopati (kerusakan pembuluh darah retina akibat hipertensi)

Edema ekstremitas bawah +1

Pemeriksaan Penunjang:

EKG: Mild Left Ventricular Hypertrophy (penebalan otot ventrikel kiri akibat tekanan darah tinggi kronis)

Urinalisis: Proteinuria 30 mg/dL → tanda awal kerusakan ginjal

Serum kreatinin: 1.6 mg/dL → fungsi ginjal menurun ringan

Terapi yang diberikan:

Hidrochlorothiazide 25 mg/hari (diuretik tiazid untuk menurunkan tekanan darah)

Lisinopril 5 mg/hari (ACE inhibitor untuk mengontrol tekanan darah dan melindungi ginjal)

Diet DASH dan diet rendah garam

Interpretasi Klinis:
Pasien mengalami hipertensi tidak terkontrol dengan tanda-tanda kerusakan organ target awal, meliputi:

Jantung: hipertrofi ventrikel kiri

Ginjal: peningkatan kreatinin dan proteinuria

Mata: retinopati hipertensi
Faktor yang berkontribusi: riwayat genetik, merokok jangka panjang, stres, dan ketidakpatuhan obat.

Kode ICD-10:

Kondisi: Penyakit Jantung Hipertensif dan Penyakit Ginjal Kronis

Kode ICD-10: I13.10

Deskripsi Singkat : Kode ini digunakan untuk mendiagnosis kondisi di mana hipertensi (tekanan darah tinggi) yang berlangsung lama telah menyebabkan kerusakan pada jantung dan ginjal secara bersamaan. Pada kasus Tn. R, diagnosis ini ditegakkan berdasarkan bukti kerusakan organ target. Kerusakan jantung ditunjukkan oleh Hi


22249 | 2025-10-20 | 10:01:52

SDKI | 🧍‍♂️ Kondisi Klinis Pasien Tn. R (45 tahun)

Identitas dan Riwayat Kesehatan:

Usia 45 tahun, dirawat di ruang penyakit dalam.

Baru didiagnosis hipertensi sejak 2 bulan lalu dengan tekanan darah awal 150/95 mmHg.

Riwayat keluarga:

Ayah meninggal karena stroke pada usia 60 tahun.

Ibu memiliki hipertensi dan riwayat infark miokard (serangan jantung).

Kebiasaan: Merokok 1 bungkus/hari selama 28 tahun.

Tidak patuh minum obat karena takut efek samping seperti impotensi dan gangguan ginjal.

Keluhan utama saat masuk rumah sakit:

Sakit kepala, gelisah, dan tidak nyaman di daerah dada.

Pemeriksaan Fisik:

TD: 170/110 mmHg (hipertensi derajat II)

Nadi: 84 x/menit, RR: 20 x/menit

Impuls apikal: teraba di ICS 4 lateral midklavikula

Irama jantung: reguler

Mild retinopati (kerusakan pembuluh darah retina akibat hipertensi)

Edema ekstremitas bawah +1

Pemeriksaan Penunjang:

EKG: Mild Left Ventricular Hypertrophy (penebalan otot ventrikel kiri akibat tekanan darah tinggi kronis)

Urinalisis: Proteinuria 30 mg/dL → tanda awal kerusakan ginjal

Serum kreatinin: 1.6 mg/dL → fungsi ginjal menurun ringan

Terapi yang diberikan:

Hidrochlorothiazide 25 mg/hari (diuretik tiazid untuk menurunkan tekanan darah)

Lisinopril 5 mg/hari (ACE inhibitor untuk mengontrol tekanan darah dan melindungi ginjal)

Diet DASH dan diet rendah garam

Interpretasi Klinis:
Pasien mengalami hipertensi tidak terkontrol dengan tanda-tanda kerusakan organ target awal, meliputi:

Jantung: hipertrofi ventrikel kiri

Ginjal: peningkatan kreatinin dan proteinuria

Mata: retinopati hipertensi
Faktor yang berkontribusi: riwayat genetik, merokok jangka panjang, stres, dan ketidakpatuhan obat.

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: Ketidakefektifan Manajemen Kesehatan

Kode SDKI: D.0111

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Ketidakefektifan Manajemen Kesehatan, dengan kode D.0111 dalam Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), didefinisikan sebagai "Pola pengaturan dan pengintegrasian program terapi untuk pengobatan penyakit dan sekuelanya ke dalam kebiasaan sehari-hari tidak memuaskan untuk mencapai tujuan kesehatan yang spesifik." Diagnosis ini sangat relevan untuk kasus Tn. R, seorang pria berusia 45 tahun dengan hipertensi derajat II yang tidak terkontrol. Kondisi ini bukan sekadar ketidakpatuhan, melainkan sebuah kegagalan kompleks dalam mengelola penyakit kronis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk psikologis, pengetahuan, dan perilaku. Pada Tn. R, manifestasi utama dari ketidakefektifan manajemen kesehatan adalah keputusannya untuk tidak meminum obat antihipertensi secara teratur. Alasan yang mendasarinya adalah ketakutan terhadap efek samping, khususnya impotensi dan gangguan ginjal. Ketakutan ini mencerminkan adanya defisit pengetahuan atau miskonsepsi yang signifikan. Pasien lebih memprioritaskan penghindaran risiko efek samping yang ia persepsikan, daripada memahami risiko nyata dan jauh lebih berbahaya dari hipertensi yang tidak terkontrol, seperti stroke, infark miokard, dan gagal ginjal terminal. Riwayat keluarganya—ayah meninggal karena stroke dan ibu dengan riwayat hipertensi serta infark miokard—seharusnya menjadi faktor pendorong yang kuat untuk patuh, namun dalam kasus ini, ketakutan dan kurangnya pemahaman mengalahkan logika tersebut. Gejala dan tanda mayor yang mendukung diagnosis ini pada Tn. R sangat jelas. Secara subjektif, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai "kesulitan", tindakannya yang tidak patuh minum obat adalah bentuk non-verbal dari kesulitan dalam menjalankan program pengobatan. Secara objektif, ia gagal melakukan tindakan untuk mengurangi faktor risiko; tekanan darahnya melonjak hingga 170/110 mmHg, dan ia terus merokok satu bungkus per hari. Gejala dan tanda minor juga tampak, di mana aktivitas hidup sehari-harinya (merokok, tidak minum obat) tidak efektif untuk mencapai tujuan kesehatan (kontrol tekanan darah). Akibatnya, tanda-tanda penyakitnya bertambah buruk, yang dibuktikan dengan munculnya kerusakan organ target awal: hipertrofi ventrikel kiri (LVH) pada EKG, proteinuria dan peningkatan kreatinin yang menandakan kerusakan ginjal, serta retinopati hipertensi. Penyebab yang berkontribusi pada kondisi Tn. R bersifat multifaktorial. Pertama, adanya konflik pengambilan keputusan, di mana ia menimbang antara manfaat pengobatan dan ketakutan akan efek samping. Kedua, kurangnya paparan informasi yang akurat dan komprehensif mengenai manajemen hipertensi. Informasi yang ia miliki mungkin berasal dari sumber yang tidak dapat diandalkan, sehingga menimbulkan ketakutan yang tidak proporsional. Ketiga, ketidakadekuatan pemahaman tentang rasionalitas terapi; ia tidak mengerti mengapa obat tersebut penting dan bagaimana obat tersebut justru melindungi ginjalnya dalam jangka panjang (seperti Lisinopril), bukan merusaknya. Terakhir, keyakinan kesehatan yang negatif, yaitu anggapan bahwa pengobatan lebih berbahaya daripada penyakitnya itu sendiri. Peran perawat dalam mengatasi diagnosis ini adalah sebagai edukator, konselor, dan fasilitator. Intervensi tidak cukup hanya dengan menyuruh pasien minum obat. Perawat harus menggali lebih dalam akar masalahnya, yaitu ketakutan dan miskonsepsi Tn. R. Diperlukan pendekatan terapeutik untuk membangun kepercayaan, memberikan edukasi yang jelas dan mudah dipahami tentang mekanisme kerja obat, manfaatnya dalam mencegah komplikasi fatal (stroke, serangan jantung), serta manajemen efek samping yang mungkin timbul. Menjelaskan bahwa risiko komplikasi dari hipertensi tidak terkontrol jauh lebih besar dan lebih pasti dibandingkan potensi efek samping obat adalah kunci. Selain itu, perawat perlu memberdayakan pasien untuk terlibat aktif dalam perawatannya, misalnya dengan mengajarkan cara memantau tekanan darah di rumah dan mengenali tanda-t


22248 | 2025-10-20 | 09:59:45

SDKI | Tn. R, 45 tahun dirawat di ruang penyakit dalam. Saat ini, pasien baru didiagnosis hipertensi. Saat pemeriksaan di klinik 2 bulan yang lalu, didapatkan tekanan darahnya 150/95 mmHg dan diberikan hidrochlorothiazide 12,5 mg/hari. Ayah pasien meninggal karena stroke pada usia 60 tahun, ibu pasien memiliki hipertensi dan riwayat infark miokard (serangan jantung). Pasien merokok 1 bungkus per hari selama 28 tahun terakhir.
Pasien dibawa ke rumah sakit karena merasa sakit kepala, gelisah, dan tidak nyaman didaerah dada. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan: TD 170/110 mmHg, nadi 84x/menit RR 20x/menit, impuls apikal teraba di ICS 4 lateral midklavikula, irama jantung reguler, mild
retinopathy pemeriksaan oftalmoskopi, edema ekstrimitas bawah +1. Hasil pemeriksaan diagnostik didapatkan: EKG (mild left ventricular hypertrophy, penebalan otot ventrikel kiri jantung akibat kerja jantung yang meningkat), urinalisis (protein 30 mg/dL), serum kreatinin level (1.6 mg/dL).
Pasien mendapatkan terapi hidrochlorothiazide 25 mg/hari (peningkatan dosis) dan Lisinopril 1x5 mg, serta diet DASH dan rendah garam. Pasien mengatakan, pernah mendengar bahwa obat tekanan darah dapat “membuat impoten” dan merusak ginjal sehingga pasien tidak pernah meminum obatnya.

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: Ketidakpatuhan

Kode SDKI: D.0115

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Ketidakpatuhan, dalam konteks Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), didefinisikan sebagai perilaku individu dan/atau pemberi asuhan yang tidak mengikuti rencana kesehatan atau terapeutik yang telah disepakati. Kondisi ini merupakan salah satu tantangan terbesar dalam manajemen penyakit kronis, seperti hipertensi yang dialami oleh Tn. R. Ketidakpatuhan bukan sekadar penolakan sederhana terhadap pengobatan, melainkan sebuah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk keyakinan pasien, pengetahuan, pengalaman, serta interaksi dengan sistem pelayanan kesehatan. Pada kasus Tn. R, ketidakpatuhan secara eksplisit teridentifikasi dari pernyataannya bahwa ia tidak pernah meminum obat antihipertensi yang diresepkan karena kekhawatiran spesifik mengenai efek samping, yaitu impotensi dan kerusakan ginjal. Penyebab ketidakpatuhan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa domain. Pertama, faktor yang berhubungan dengan program terapi itu sendiri, seperti durasi pengobatan yang panjang (seumur hidup untuk hipertensi), kompleksitas regimen (jumlah dan frekuensi obat), serta efek samping yang dirasakan atau ditakutkan. Kekhawatiran Tn. R adalah contoh klasik dari persepsi negatif terhadap efek samping yang menghalangi kepatuhan. Kedua, faktor yang terkait dengan pasien, yang mencakup keyakinan kesehatan (health beliefs), motivasi, tingkat pengetahuan, dan hambatan personal. Tn. R menunjukkan defisit pengetahuan dan memegang keyakinan yang keliru, yang secara langsung menyebabkan perilakunya tidak patuh. Riwayat sosialnya sebagai perokok


22247 | 2025-10-20 | 09:52:21

SDKI | kejang

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: kejang

Kode SDKI: D.0136

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Risiko Cedera adalah diagnosis keperawatan yang didefinisikan sebagai kondisi di mana seorang individu berisiko mengalami bahaya atau kerusakan fisik yang menyebabkan ia tidak lagi sepenuhnya sehat atau dalam kondisi baik. Dalam konteks pasien yang mengalami 'kejang', diagnosis ini menjadi sangat relevan dan prioritas utama. Kejang merupakan manifestasi klinis dari aktivitas listrik yang abnormal, berlebihan, dan sinkron di otak, yang mengakibatkan perubahan mendadak dan sementara pada fungsi motorik, sensorik, otonom, atau kesadaran. Sifat kejang yang tidak terkendali dan sering kali tiba-tiba menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk berbagai jenis cedera fisik, mulai dari yang ringan hingga yang mengancam jiwa. Risiko cedera pada pasien kejang dapat dianalisis berdasarkan tiga fase utama kejang: pre-iktal (aura), iktal (saat kejang), dan post-iktal (setelah kejang). Pada fase pre-iktal, beberapa pasien mungkin mengalami aura, yaitu sensasi peringatan seperti mencium bau aneh, melihat kilatan cahaya, atau merasakan pusing. Fase ini merupakan jendela kritis bagi perawat untuk melakukan intervensi preventif, seperti membantu pasien berbaring di tempat yang aman, jauh dari benda-benda berbahaya. Namun, banyak kejang terjadi tanpa peringatan, sehingga risiko cedera tetap tinggi. Fase iktal adalah periode di mana risiko cedera paling akut. Selama kejang tonik-klonik (grand mal), pasien kehilangan kesadaran dan mengalami kontraksi otot yang kaku (fase tonik) diikuti oleh gerakan menyentak yang ritmis (fase klonik). Risiko utama pada fase ini meliputi: 1. **Trauma Kepala:** Kehilangan kesadaran yang tiba-tiba dapat menyebabkan pasien jatuh dan membenturkan kepalanya ke lantai atau benda keras di sekitarnya, yang berpotensi menyebabkan kontusio serebri, perdarahan intrakranial, atau fraktur tengkorak. 2. **Cedera Muskuloskeletal:** Kontraksi otot yang sangat kuat dan tidak terkoordinasi dapat menyebabkan dislokasi sendi (terutama bahu) atau bahkan fraktur tulang. 3. **Laserasi dan Memar:** Gerakan klonik yang tidak terkendali dapat membuat tubuh pasien membentur perabotan atau benda tajam di sekitarnya. Lidah atau bibir juga sering tergigit selama fase ini, menyebabkan perdarahan dan luka. 4. **Aspirasi:** Selama kejang, refleks menelan dan batuk terganggu. Peningkatan produksi saliva atau adanya muntahan dapat dengan mudah masuk ke saluran napas, menyebabkan pneumonia aspirasi atau obstruksi jalan napas akut. 5. **Hipoksia:** Kontraksi otot-otot pernapasan yang kaku selama fase tonik dapat mengganggu ventilasi, menyebabkan sianosis dan penurunan saturasi oksigen. Pada fase post-iktal, setelah aktivitas kejang berhenti, pasien sering mengalami kebingungan, disorientasi, agitasi, atau kelelahan ekstrem. Pada kondisi ini, pasien masih berisiko mengalami cedera akibat jatuh saat mencoba bangkit atau berjalan dalam keadaan kesadaran yang belum pulih sepenuhnya. Peran perawat dalam menegakkan diagnosis Risiko Cedera adalah melakukan pengkajian komprehensif terhadap faktor risiko internal dan eksternal. Faktor risiko internal meliputi riwayat jenis dan


22246 | 2025-10-20 | 09:52:06

ICD | kejang

Kode ICD-10:

Kondisi: Kejang (Konvulsi)

Kode ICD-10: R56.8

Deskripsi Singkat : Kejang adalah gangguan neurologis sementara akibat aktivitas listrik yang abnormal dan berlebihan di otak, menyebabkan perubahan kesadaran, gerakan, atau sensasi. Kode ICD-10 R56.8 digunakan untuk 'Konvulsi lain dan yang tidak terklasifikasi'. Kode ini tepat untuk mendokumentasikan kejang sebagai gejala ketika penyebab spesifiknya belum ditentukan atau tidak termasuk dalam kategori lain seperti kejang demam (R56.0). Ini mencakup istilah umum seperti 'convulsion NOS' (Not Otherwise Specified) dan 'seizure NOS', yang membedakannya dari diagnosis definitif seperti epilepsi (G40.-).

***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti kodifikasi resmi oleh profesional medis.***


22245 | 2025-10-20 | 07:45:31

SDKI | Evaluasi keperawatan untuk diagnosis Risiko ketidakseimbangan cairan dengan kasus Seorang wanita (45th) m tersiram air panas pada kaki dan sebagian perut (pkl : 09.00), luka bakar yang diderita derajat 2A dan 2B dengan luas 15 %. Dari hasil pengkajian (pkl : 12.00) didapatkan TD: 150/100 mmHg, N : 110x/menit, RR :25 x/ menit, S : 38 ° C, BB : 50kg, klien mengatakan sangat nyeri pada luka bakar dikakinya.

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: Risiko Ketidakseimbangan Cairan

Kode SDKI: D.0036

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Risiko ketidakseimbangan cairan didefinisikan sebagai kondisi berisiko mengalami penurunan, peningkatan, atau perpindahan cepat cairan dari satu bagian tubuh ke bagian lain (intravaskular, interstisial, atau intraselular). Dalam konteks pasien luka bakar, risiko ini menjadi salah satu diagnosis keperawatan prioritas tertinggi, terutama dalam 24-48 jam pertama pasca-cedera, yang dikenal sebagai fase syok atau fase resusitasi. Pada kasus ini, seorang wanita usia 45 tahun dengan luka bakar derajat 2A dan 2B seluas 15% TBSA (Total Body Surface Area) berada pada risiko sangat tinggi mengalami defisit volume cairan intravaskular yang dapat berujung pada syok hipovolemik (burn shock). Patofisiologi utama di balik risiko ini adalah respons inflamasi sistemik masif yang dipicu oleh kerusakan jaringan akibat panas. Cedera termal menyebabkan pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, dan sitokin ke dalam sirkulasi. Mediator-mediator ini secara dramatis meningkatkan permeabilitas kapiler di seluruh tubuh, tidak hanya di area yang terbakar. Peningkatan permeabilitas kapiler ini memungkinkan cairan, protein (terutama albumin), dan elektrolit untuk berpindah dari ruang intravaskular (dalam pembuluh darah) ke ruang interstisial (jaringan di sekitarnya), sebuah fenomena yang dikenal sebagai 'third-spacing'. Perpindahan masif ini menyebabkan dua masalah utama secara simultan: pertama, penurunan volume darah sirkulasi yang efektif (hipovolemia intravaskular), dan kedua, pembentukan edema masif, baik pada area luka maupun pada jaringan yang tidak mengalami luka bakar. Kehilangan cairan juga diperparah oleh evaporasi yang meningkat dari permukaan kulit yang rusak, yang tidak lagi memiliki fungsi barier yang utuh. Data pengkajian pada pukul 12.00 (tiga jam pasca-cedera) menunjukkan tanda-tanda kompensasi tubuh terhadap hipovolemia yang mulai terjadi. Nadi 110x/menit (takikardia) adalah respons jantung untuk mempertahankan curah jantung (cardiac output) dengan memompa lebih cepat saat volume sekuncup (stroke volume) menurun akibat kurangnya volume darah. Frekuensi napas 25x/menit (takipnea) dapat disebabkan oleh respons terhadap nyeri hebat, stres metabolik, dan upaya kompensasi asidosis metabolik ringan yang mungkin mulai berkembang. Suhu 38°C menunjukkan adanya respons inflamasi sistemik. Tekanan darah 150/100 mmHg pada fase awal ini bisa menyesatkan; ini kemungkinan besar merupakan respons hipertensi akibat pelepasan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) yang masif sebagai respons terhadap nyeri hebat dan stres fisiologis. Hipertensi ini bersifat sementara dan akan dengan cepat berubah menjadi hipotensi jika resusitasi cairan tidak segera dimulai, karena mekanisme kompensasi tubuh pada akhirnya akan gagal. Risiko ketidakseimbangan cairan pada pasien ini harus dikelola secara agresif untuk mencegah komplikasi yang mengancam jiwa, seperti syok hipovolemik, gagal ginjal akut (akibat perfusi ginjal yang tidak adekuat), dan kegagalan organ multipel. Oleh karena itu, diagnosis "Risiko Ketidakseimbangan


22244 | 2025-10-20 | 07:42:08

SDKI | Evaluasi keperawatan untuk diagnosis Risiko ketidakseimbangan cairan dengan kasus Seorang wanita (45th) m tersiram air panas pada kaki dan sebagian perut (pkl : 09.00), luka bakar yang diderita derajat 2A dan 2B dengan luas 15 %. Dari hasil pengkajian (pkl : 12.00) didapatkan TD: 150/100 mmHg, N : 110x/menit, RR :25 x/ menit, S : 38 ° C, BB : 50kg, klien mengatakan sangat nyeri pada luka bakar dikakinya.

DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.


22243 | 2025-10-20 | 07:39:36

SDKI | Implementasi keperawatan untuk diagnosis Risiko ketidakseimbangan cairan dengan kasus Seorang wanita (45th) m tersiram air panas pada kaki dan sebagian perut (pkl : 09.00), luka bakar yang diderita derajat 2A dan 2B dengan luas 15 %. Dari hasil pengkajian (pkl : 12.00) didapatkan TD: 150/100 mmHg, N : 110x/menit, RR :25 x/ menit, S : 38 ° C, BB : 50kg, klien mengatakan sangat nyeri pada luka bakar dikakinya.

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: Risiko Ketidakseimbangan Cairan

Kode SDKI: D.0036

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Risiko ketidakseimbangan cairan didefinisikan sebagai kondisi berisiko mengalami penurunan, peningkatan, atau percepatan perpindahan cairan dari intravaskular, interstisial, atau intraselular. Ini adalah diagnosis keperawatan yang bersifat antisipatif, artinya masalah belum terjadi namun pasien memiliki faktor risiko yang signifikan untuk mengalaminya. Dalam konteks kasus seorang wanita usia 45 tahun dengan luka bakar derajat 2A dan 2B seluas 15% Total Body Surface Area (TBSA), diagnosis ini menjadi prioritas utama, terutama dalam 24-48 jam pertama pasca-cedera, yang dikenal sebagai fase syok atau fase resusitasi. Patofisiologi ketidakseimbangan cairan pada pasien luka bakar sangat kompleks dan dramatis. Cedera termal menyebabkan kerusakan pada integritas kapiler darah, tidak hanya di area yang terbakar tetapi juga secara sistemik pada luka bakar yang luas (>15-20% TBSA). Kerusakan ini memicu pelepasan mediator inflamasi masif seperti histamin, bradikinin, prostaglandin, dan sitokin. Mediator-mediator ini secara drastis meningkatkan permeabilitas kapiler. Akibatnya, cairan, elektrolit, dan protein (terutama albumin) yang seharusnya berada di dalam pembuluh darah (ruang intravaskular) bocor keluar menuju ruang di antara sel-sel (ruang interstisial). Fenomena ini disebut "capillary leak syndrome" atau perpindahan cairan (fluid shift). Perpindahan cairan ini memiliki dua konsekuensi utama yang paradoks. Pertama, terjadi penumpukan cairan masif di ruang interstisial, yang bermanifestasi sebagai edema berat, baik pada area luka maupun area yang tidak terbakar (edema anasarka). Kedua, dan yang paling mengancam jiwa, adalah deplesi volume intravaskular yang parah. Kehilangan volume plasma ini menyebabkan hipovolemia, penurunan curah jantung (cardiac output), dan perfusi organ yang tidak adekuat. Jika tidak ditangani dengan cepat dan agresif melalui resusitasi cairan, kondisi ini akan berlanjut menjadi syok hipovolemik (burn shock), yang ditandai dengan hipotensi, takikardia berat, penurunan haluaran urin, dan kegagalan organ multipel. Pada kasus ini, pasien menunjukkan tanda-tanda respons kompensasi awal terhadap hipovolemia. Nadi 110x/menit (takikardia) dan RR 25x/menit (takipnea) adalah upaya tubuh untuk mempertahankan curah jantung dan oksigenasi di tengah volume sirkulasi yang menurun. Tekanan darah 150/100 mmHg yang tampak tinggi kemungkinan besar merupakan respons stres dan nyeri yang hebat, yang memicu pelepasan katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) dan menyebabkan vasokonstriksi perifer. Namun, tekanan darah ini bisa sangat menipu; seiring berlanjutnya kehilangan cairan dan kelelahan mekanisme kompensasi, tekanan darah dapat turun secara drastis dan tiba-tiba. Suhu 38°C menunjukkan adanya respons inflamasi sistemik. Faktor risiko lain yang memperburuk kehilangan cairan adalah evaporasi. Kulit yang rusak akibat luka bakar kehilangan fungsi barrier-nya, menyebabkan kehilangan air melalui penguapan (insensible water loss) yang bisa mencapai 5-10 kali lipat dari normal. Luas luka bakar 15% pada pasien dengan BB 50 kg sudah cukup signifikan untuk memicu respons sistemik ini dan memerlukan resusitasi cairan yang terhitung cermat, seringkali menggunakan formula seperti Parkland/Baxter (4 mL x %TBSA x BB kg) untuk menentukan jumlah cairan yang dibutuhkan dalam 24 jam pertama. Oleh karena itu, diagnosis Risiko Ketidakseimbangan Cairan pada pasien ini didasarkan pada faktor risiko utama yaitu luka bakar yang luas, yang secara langsung menyebabkan mekanisme patofisiologis berupa peningkatan permeabilitas kapiler dan kehilangan cairan melalui evaporasi. Intervensi keperawatan harus berfokus pada pemantauan hemodinamik yang ketat dan pemberian resusitasi cairan yang adekuat untuk mencegah terjadinya syok, mempertahankan perfusi organ vital, dan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit selama fase kritis ini.


Kode SLKI: L.03020

Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan Keseimbangan Cairan meningkat dengan kriteria hasil:

  • Asupan cairan meningkat (5)
  • Haluaran urin meningkat (5)
  • Kelembaban membran mukosa meningkat (5)
  • Edema menurun (5)
  • Dehidrasi menurun (5)
  • Tekanan darah membaik ke rentang normal (5)
  • Denyut nadi radial membaik ke rentang normal (5)
  • Turgor kulit membaik (5)
  • Suhu tubuh membaik ke rentang normal (5)
(Skala: 1 = Menurun, 2 = Cukup Menurun, 3 = Sedang, 4 = Cukup Meningkat, 5 = Meningkat)


Kode SIKI: I.03098

Intervensi Utama: Manajemen Cairan

Observasi

  1. Monitor status hidrasi (mis. frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler, kelembaban mukosa, turgor kulit, tekanan darah).
  2. Monitor berat badan harian.
  3. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium yang relevan (mis. hematokrit, elektrolit, osmolaritas plasma, kreatinin, BUN).
  4. Monitor status hemodinamik jika terpasang (mis. MAP, CVP, PAP).
Terapeutik
  1. Catat intake dan output cairan secara akurat, hitung balans cairan dalam 24 jam.
  2. Berikan asupan cairan oral, sesuai kebutuhan dan toleransi pasien.
  3. Berikan cairan intravena sesuai program kolaborasi (mis. resusitasi cairan menggunakan formula Parkland/Baxter untuk 24 jam pertama).
  4. Pasang kateter urin untuk pemantauan haluaran urin yang akurat per jam.
Edukasi
  1. Anjurkan untuk memperbanyak asupan cairan oral setelah fase akut terlewati dan pasien mampu minum.


22242 | 2025-10-20 | 07:25:15

SDKI | Implementasi keperawatan untuk diagnosis nyeri akut dengan kasus Seorang wanita (45th) m tersiram air panas pada kaki dan sebagian perut (pkl : 09.00), luka bakar yang diderita derajat 2A dan 2B dengan luas 15 %. Dari hasil pengkajian (pkl : 12.00) didapatkan TD: 150/100 mmHg, N : 110x/menit, RR :25 x/ menit, S : 38 ° C, BB : 50kg, klien mengatakan sangat nyeri pada luka bakar dikakinya.

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: Nyeri Akut

Kode SDKI: D.0077

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Nyeri akut didefinisikan sebagai pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. Pada kasus ini, seorang wanita berusia 45 tahun mengalami nyeri akut akibat agen pencedera fisik, yaitu luka bakar derajat 2A dan 2B seluas 15% akibat tersiram air panas. Kerusakan jaringan yang terjadi memicu respons inflamasi yang kompleks dan pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin, bradikinin, dan histamin. Mediator-mediator ini menstimulasi nosiseptor (reseptor nyeri) di area yang terbakar, yaitu kaki dan sebagian perut. Sinyal nyeri kemudian ditransmisikan melalui serabut saraf A-delta (untuk nyeri tajam dan terlokalisir) dan serabut C (untuk nyeri tumpul dan menyebar) ke kornu dorsalis medula spinalis, lalu ke talamus dan korteks somatosensorik di otak, di mana sinyal tersebut diinterpretasikan sebagai sensasi nyeri yang hebat. Intensitas nyeri yang dilaporkan klien sebagai "sangat nyeri" merupakan manifestasi subjektif utama dari diagnosis ini. Secara objektif, respons tubuh terhadap nyeri akut yang hebat sangat jelas terlihat pada data pengkajian. Peningkatan tekanan darah (TD: 150/100 mmHg), frekuensi nadi (N: 110x/menit), dan frekuensi pernapasan (RR: 25x/menit) adalah manifestasi dari aktivasi sistem saraf simpatis. Sebagai respons terhadap stresor fisik (nyeri dan cedera jaringan), tubuh melepaskan katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) yang menyebabkan vasokonstriksi perifer, peningkatan denyut jantung, dan laju pernapasan. Peningkatan suhu tubuh (S: 38°C) juga merupakan bagian dari respons inflamasi sistemik terhadap kerusakan jaringan yang luas. Gejala dan tanda mayor yang teridentifikasi pada klien ini meliputi keluhan nyeri (subjektif) serta sikap protektif, gelisah, frekuensi nadi meningkat (objektif). Tanda minor yang teridentifikasi adalah tekanan darah meningkat dan pola napas berubah. Nyeri pada luka bakar bersifat kompleks, terdiri dari nyeri nosiseptif (akibat kerusakan jaringan) dan seringkali disertai komponen nyeri neuropatik (akibat kerusakan serabut saraf). Nyeri ini tidak hanya dirasakan saat istirahat, tetapi akan meningkat secara signifikan saat pergerakan atau selama prosedur perawatan luka, yang menuntut manajemen nyeri yang proaktif dan komprehensif. Kegagalan dalam mengelola nyeri akut pada fase awal dapat menyebabkan konsekuensi fisiologis dan psikologis yang merugikan, termasuk peningkatan respons katabolik, risiko infeksi, gangguan tidur, kecemasan, hingga perkembangan nyeri kronis. Oleh karena itu, pengkajian nyeri yang berkelanjutan menggunakan skala yang valid dan intervensi yang tepat waktu adalah krusial dalam perawatan klien dengan luka bakar.


Kode SLKI: L.08066

Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan Tingkat Nyeri menurun dengan kriteria hasil:

  • Keluhan nyeri menurun dari skala berat ke ringan.
  • Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat.
  • Meringis menurun.
  • Sikap protektif menurun.
  • Gelisah menurun.
  • Frekuensi nadi membaik (60-100 x/menit).
  • Pola napas membaik (16-20 x/menit).
  • Tekanan darah membaik (Sistolik <140 mmHg, Diastolik <90 mmHg).


Kode SIKI: I.08238

Intervensi Utama: Manajemen Nyeri

Observasi

  1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan intensitas nyeri menggunakan skala nyeri yang sesuai (misal: Numeric Rating Scale).
  2. Identifikasi respons nyeri non-verbal (misal: meringis, gelisah, perubahan tanda vital).
  3. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
  4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik.
Terapeutik
  1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (misal: teknik relaksasi napas dalam, distraksi seperti mendengarkan musik atau menonton televisi).
  2. Kontrol lingkungan yang dapat memperberat rasa nyeri (misal: kurangi kebisingan, atur pencahayaan yang nyaman).
  3. Fasilitasi istirahat dan tidur yang cukup untuk membantu pemulihan dan modulasi nyeri.
  4. Atur posisi


22241 | 2025-10-20 | 07:24:40

ICD | Implementasi keperawatan untuk diagnosis nyeri akut dengan kasus Seorang wanita (45th) m tersiram air panas pada kaki dan sebagian perut (pkl : 09.00), luka bakar yang diderita derajat 2A dan 2B dengan luas 15 %. Dari hasil pengkajian (pkl : 12.00) didapatkan TD: 150/100 mmHg, N : 110x/menit, RR :25 x/ menit, S : 38 ° C, BB : 50kg, klien mengatakan sangat nyeri pada luka bakar dikakinya.

Kode ICD-10:

Kondisi: Luka Bakar Derajat Dua pada Tungkai dan Perut (15% TBSA)

Kode ICD-10: T24.2, T21.2, T31.1

Deskripsi Singkat : Kondisi ini merujuk pada cedera jaringan akibat kontak dengan air panas (luka bakar termal) yang mengenai area kaki dan sebagian perut. Luka bakar diklasifikasikan sebagai derajat dua (2A dan 2B), yang berarti kerusakan telah mencapai lapisan dermis kulit, ditandai dengan lepuhan, kemerahan hebat, dan nyeri yang signifikan. Luas luka bakar mencapai 15% dari total permukaan tubuh (Total Body Surface Area/TBSA). Kodifikasi ICD-10 menggunakan kombinasi kode untuk mendeskripsikan kondisi ini secara akurat:

  • T24.2:


22240 | 2025-10-20 | 05:33:56

SDKI | Bayi Ny. J, perempuan, lahir secara sectio caesaria dirawat di
Neonatal Intensif Care Unit (NICU). Sesaat setelah lahir, bayi Ny. J tidak
segera menangis dengan seluruh badan tampak kebiruan. Setelah dilakukan
resusitasi bayi menangis merintih, gerakan kurang aktif, badan kemerahan,
dan sianosis ekstremitas. Usia gestasi bayi yaitu 38 minggu (neonatus cukup
bulan sesuai masa kehamilan), BB lahir 3500 gram, dan nilai APGAR skor7.
Berdasarkan hasil pengkajian bayi Ny. J tampak lemah, sesak, RR 62
kali/menit, ada retraksi dinding dada, terdapat penggunaan otot bantu napas
muskulus intercostal, menangis lemah dan terpasang ventilator. Hasil
ekokardiografi menunjukkan bayi Ny. J memiliki masalah Patent Ductus
Arteriosus (PDA). Pasien terlihat sianosis di kuku, nadi teraba lemah, HR
140 kali/menit, CRT 2 detik.

DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.


22239 | 2025-10-20 | 05:33:22

ICD | Bayi Ny. J, perempuan, lahir secara sectio caesaria dirawat di
Neonatal Intensif Care Unit (NICU). Sesaat setelah lahir, bayi Ny. J tidak
segera menangis dengan seluruh badan tampak kebiruan. Setelah dilakukan
resusitasi bayi menangis merintih, gerakan kurang aktif, badan kemerahan,
dan sianosis ekstremitas. Usia gestasi bayi yaitu 38 minggu (neonatus cukup
bulan sesuai masa kehamilan), BB lahir 3500 gram, dan nilai APGAR skor7.
Berdasarkan hasil pengkajian bayi Ny. J tampak lemah, sesak, RR 62
kali/menit, ada retraksi dinding dada, terdapat penggunaan otot bantu napas
muskulus intercostal, menangis lemah dan terpasang ventilator. Hasil
ekokardiografi menunjukkan bayi Ny. J memiliki masalah Patent Ductus
Arteriosus (PDA). Pasien terlihat sianosis di kuku, nadi teraba lemah, HR
140 kali/menit, CRT 2 detik.

Kode ICD-10:

Kondisi: Patent Ductus Arteriosus (PDA)

Kode ICD-10: Q25.0

Deskripsi Singkat : Patent Ductus Arteriosus (PDA) adalah kelainan jantung bawaan di mana duktus arteriosus, sebuah pembuluh darah yang menghubungkan aorta dengan arteri pulmonalis pada janin, gagal menutup secara normal setelah kelahiran. Pada kasus ini, kegagalan penutupan menyebabkan aliran darah berlebihan ke paru-paru, yang mengakibatkan gejala seperti sesak napas (RR 62 kali/menit), retraksi dinding dada, penggunaan otot bantu napas, dan sianosis (kebiruan) seperti yang dialami bayi Ny. J. Kondisi ini memerlukan perawatan intensif di NICU dan dukungan ventilator. Kode ICD-10 Q25.0 secara spesifik mengidentifikasi diagnosis ini, yang termasuk dalam kategori malformasi kongenital pada arteri besar dalam sistem sirkulasi.

***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti kodifikasi resmi oleh profesional medis.***


22238 | 2025-10-20 | 05:32:58

SDKI | Bayi Ny. J, perempuan, lahir secara sectio caesaria dirawat di
Neonatal Intensif Care Unit (NICU). Sesaat setelah lahir, bayi Ny. J tidak
segera menangis dengan seluruh badan tampak kebiruan. Setelah dilakukan
resusitasi bayi menangis merintih, gerakan kurang aktif, badan kemerahan,
dan sianosis ekstremitas. Usia gestasi bayi yaitu 38 minggu (neonatus cukup
bulan sesuai masa kehamilan), BB lahir 3500 gram, dan nilai APGAR skor7.
Berdasarkan hasil pengkajian bayi Ny. J tampak lemah, sesak, RR 62
kali/menit, ada retraksi dinding dada, terdapat penggunaan otot bantu napas
muskulus intercostal, menangis lemah dan terpasang ventilator. Hasil
ekokardiografi menunjukkan bayi Ny. J memiliki masalah Patent Ductus
Arteriosus (PDA). Pasien terlihat sianosis di kuku, nadi teraba lemah, HR
140 kali/menit, CRT 2 detik.

DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.


22237 | 2025-10-20 | 05:31:16

SDKI | Tn.”M” berumur 51 tahun masuk rumah sakit Pelamonia Makassar pada tanggal 1 Juni 2022 dengan diagnosa medis saat masuk adalah Benigna Prostat Hyperplasia (BPH). Pada tanggal 2 Juni 2022 setelah dilakukan tindakan Transurethral Resection Of The Prostate (TURP) dilakukan pengkajian dan didapatkan data, pasien mengeluh nyeri seperti tertusuk-tusuk pada abdomen bagian bawah, dengan skala nyeri 8 (nyeri berat) dirasakan menetap 5 sampai 10 menit. Tanda gejala lain yang didapatkan pada pasien adalah keadaan umum lemah, pasien tampak meringis dan gelisah pasien mengatakan masih belum merasakan jika ingin BAK. Observasi tanda-tanda vital TD: 140/90 mmHg, N: 84x/mnt, S: 36.7 ͦ C, P: 20x/mnt. Pasien terpasang infus RL 500 cc 20 tetes/menit, cairan Nacl 200cc (spooling) dan pasien terpasang kateter three way. Pada hasil pemeriksaan laboratorium WBC 11.00 10ˆ3/uL (nilai normal 3.80-10.6010ˆ3/uL), PDW7.6 Fl (nilai normal 9.0-13.0fl), MPV 7.9 fL (nilai normal 13.0-43.0 fL), P-LCR 8.6 % (nilai normal 0.17-0.35%), LED 90 mm (0-20 Mm/h). Pemeriksaan USG abdomen di dapatkan kesan hipertropi prostat 65,57 ml (nilai normal 15-25 ml). Pemeriksaan Imunologi PSA 3.90 ng/ml (nilai normal 0.27-3.42 ng/ml).

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: Nyeri Akut

Kode SDKI: D.0077

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Nyeri akut didefinisikan sebagai pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. Kondisi ini merupakan respons fisiologis tubuh terhadap suatu cedera atau stimulus noksius. Pada kasus Tn. "M", diagnosis keperawatan Nyeri Akut ditegakkan berdasarkan data subjektif dan objektif yang sangat signifikan pasca-tindakan Transurethral Resection of the Prostate (TURP). Penyebab utama nyeri pada pasien ini adalah agen pencedera fisiologis, yaitu prosedur pembedahan itu sendiri. Tindakan TURP melibatkan pengangkatan jaringan prostat yang membesar melalui uretra, yang secara inheren menyebabkan trauma pada jaringan, inflamasi, dan iritasi pada area kandung kemih dan uretra. Gejala dan tanda mayor yang ditunjukkan oleh Tn. "M" sangat sesuai dengan kriteria diagnostik Nyeri Akut. Secara subjektif, pasien mengeluh nyeri dengan karakteristik "seperti tertusuk-tusuk" pada abdomen bagian bawah. Penggunaan deskriptor spesifik ini membantu dalam memahami sifat nyeri yang kemungkinan besar berkaitan dengan spasme kandung kemih (bladder spasm) atau iritasi dari kateter three-way yang terpasang. Intensitas nyeri yang dilaporkan pada skala 8 dari 10 menunjukkan tingkat nyeri yang berat, yang memerlukan intervensi segera dan efektif. Durasi nyeri yang menetap selama 5 hingga 10 menit juga khas untuk nyeri pasca-operasi, terutama yang melibatkan organ visceral seperti kandung kemih. Secara objektif, manifestasi nyeri terlihat jelas dari keadaan umum pasien yang lemah, ekspresi wajah yang meringis, dan perilaku gelisah. Respons fisiologis tubuh terhadap nyeri berat juga tercermin pada peningkatan tekanan darah (140/90 mmHg), yang merupakan mekanisme kompensasi simpatis terhadap stresor nyeri. Analisis data penunjang lebih lanjut memperkuat diagnosis ini. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan Laju Endap Darah (LED) hingga 90 mm/jam (nilai normal 0-20 mm/jam) dan sedikit peningkatan jumlah sel darah putih (WBC) menjadi 11.00 10^3/uL. Kedua temuan ini adalah indikator kuat adanya proses inflamasi sistemik yang signifikan, yang merupakan respons alami tubuh terhadap trauma bedah. Inflamasi ini melepaskan mediator kimia seperti prostaglandin dan bradikinin, yang menstimulasi reseptor nyeri (nosiseptor) di area operasi, sehingga memperkuat persepsi nyeri. Konteks klinis pasca-TURP memberikan pemahaman yang lebih dalam. Nyeri pada pasien ini dapat bersumber dari beberapa faktor. Pertama, nyeri insisi atau trauma jaringan pada area prostat dan leher kandung kemih. Kedua, nyeri akibat iritasi dari kateter three-way yang berukuran besar, yang diperlukan untuk irigasi kandung kemih berkelanjutan (spooling/CBI) guna mencegah pembentukan bekuan darah. Ketiga, dan yang paling mungkin menjadi penyebab nyeri hebat seperti tertusuk-tusuk, adalah spasme kandung kemih.


22236 | 2025-10-20 | 02:55:50

SDKI | resiko penurunan curah jantung

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: resiko penurunan curah jantung

Kode SDKI: D.0011

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Risiko Penurunan Curah Jantung adalah kondisi di mana seorang individu berisiko mengalami ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup guna memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Ini bukan diagnosis aktual, melainkan sebuah peringatan bahwa terdapat faktor-faktor signifikan yang dapat mengarah pada penurunan curah jantung jika tidak diintervensi. Curah jantung (Cardiac Output/CO) adalah volume darah yang dipompa oleh ventrikel kiri ke aorta setiap menitnya, dan merupakan indikator kunci dari fungsi kardiovaskular. Nilai ini ditentukan oleh dua faktor utama: denyut jantung (Heart Rate/HR) dan volume sekuncup (Stroke Volume/SV), dengan rumus CO = HR x SV. Volume sekuncup sendiri dipengaruhi oleh tiga komponen: preload (beban awal), afterload (beban akhir), dan kontraktilitas (kekuatan kontraksi otot jantung). Gangguan pada salah satu atau lebih dari komponen-komponen ini dapat menempatkan pasien pada risiko penurunan curah jantung. Faktor risiko utama yang dapat menyebabkan kondisi ini sangat beragam dan dapat dikategorikan berdasarkan pengaruhnya terhadap komponen curah jantung. Pertama, perubahan pada irama dan frekuensi jantung. Aritmia, seperti fibrilasi atrium, takikardia ventrikel, atau blok jantung, dapat mengganggu sinkronisasi kontraksi jantung, sehingga pengisian ventrikel menjadi tidak efisien dan volume sekuncup menurun. Bradikardia (denyut jantung terlalu lambat) secara langsung mengurangi curah jantung karena jumlah siklus pompa per menit berkurang, sementara takikardia (denyut jantung terlalu cepat) mempersingkat waktu pengisian diastolik, yang juga mengurangi volume sekuncup dan pada akhirnya menurunkan curah jantung. Kedua, perubahan pada preload. Preload adalah derajat regangan serabut otot jantung pada akhir diastol, yang sangat dipengaruhi oleh volume darah yang kembali ke jantung (venous return). Kondisi seperti hipovolemia akibat dehidrasi, perdarahan, atau penggunaan diuretik berlebihan akan menurunkan preload, sehingga volume darah yang dipompa keluar juga berkurang. Sebaliknya, hipervolemia atau kelebihan cairan, seperti pada gagal ginjal atau gagal jantung kongestif, dapat meregangkan otot jantung secara berlebihan (overstretching), yang menurut hukum Frank-Starling, pada titik tertentu justru akan menurunkan kekuatan kontraksi dan curah jantung. Ketiga, perubahan pada afterload. Afterload adalah resistensi atau tahanan yang harus dilawan oleh ventrikel untuk memompa darah keluar dari jantung. Peningkatan afterload, seperti yang terjadi pada hipertensi sistemik atau stenosis katup aorta, memaksa jantung bekerja lebih keras untuk memompa volume darah yang sama. Jika kondisi ini berlangsung lama, otot jantung dapat mengalami hipertrofi dan kelelahan, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan curah jantung. Sebaliknya, penurunan


22235 | 2025-10-20 | 00:18:33

SDKI | klien mengatakan BAB 5x dalam sehari dengan konsistensi cair dan berlendir, klien mengatakan tinja berwarna coklat
Td : 105/47 mmhg
nadi 72x/mnt
mukosa bibir kering
klien tampak lemah
mulut tampak pucat
crt lebih dari 2 detik
turgor menurun

DIAGNOSE SDKI:

Kondisi: Hipovolemia

Kode SDKI: D.0023

Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Hipovolemia, atau defisit volume cairan, adalah suatu kondisi klinis yang didefinisikan sebagai penurunan volume cairan intravaskular, interstisial, dan/atau intraselular. Kondisi ini terjadi ketika kehilangan cairan tubuh melebihi asupannya, menyebabkan ketidakseimbangan homeostasis cairan dan elektrolit yang krusial bagi fungsi fisiologis normal. Hipovolemia bukan sekadar dehidrasi (kehilangan air murni), melainkan kehilangan air dan elektrolit (terutama natrium) secara bersamaan, yang secara langsung berdampak pada volume sirkulasi darah. Penyebab hipovolemia sangat beragam, namun secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama: kehilangan cairan eksternal dan perpindahan cairan internal (third-spacing). Dalam kasus yang disajikan, penyebab utamanya adalah kehilangan cairan aktif melalui saluran gastrointestinal akibat diare. Diare, yang ditandai dengan buang air besar cair lebih dari tiga kali sehari, menyebabkan kehilangan air, natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat dalam jumlah besar. Ketika frekuensi BAB mencapai 5 kali sehari dengan konsistensi cair, volume cairan yang hilang bisa sangat signifikan dan cepat menguras cadangan cairan tubuh. Secara patofisiologis, penurunan volume intravaskular (volume darah dalam pembuluh) memicu serangkaian respons kompensasi yang dimediasi oleh sistem saraf otonom dan sistem endokrin. Tubuh berusaha mempertahankan perfusi ke organ-organ vital seperti otak, jantung, dan ginjal. Baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotis mendeteksi penurunan tekanan darah


22234 | 2025-10-20 | 00:17:36

ICD | klien mengatakan BAB 5x dalam sehari dengan konsistensi cair dan berlendir, klien mengatakan tinja berwarna coklat
Td : 105/47 mmhg
nadi 72x/mnt
mukosa bibir kering
klien tampak lemah
mulut tampak pucat
crt lebih dari 2 detik
turgor menurun

Kode ICD-10:

Kondisi: Gastroenteritis Akut (Diare) dengan Dehidrasi

Kode ICD-10: A09.9

Deskripsi Singkat : Gastroenteritis adalah peradangan pada saluran pencernaan yang melibatkan lambung dan usus, umumnya disebabkan oleh infeksi. Kondisi ini menyebabkan diare, yaitu buang air besar dengan frekuensi sering dan konsistensi cair. Berdasarkan deskripsi, klien mengalami diare cair dan berlendir 5 kali sehari, yang merupakan gejala utama. Tanda-tanda klinis seperti mukosa bibir kering, turgor kulit menurun, CRT memanjang (>2 detik), tampak lemah, dan tekanan darah rendah (hipotensi) secara kolektif menunjukkan adanya dehidrasi sedang hingga berat akibat kehilangan cairan yang signifikan. Kode ICD-10 A09.9 (Gastroenteritis and colitis of unspecified origin) digunakan untuk mendiagnosis diare atau gastroenteritis ketika penyebab spesifik infeksinya (virus atau bakteri) tidak diidentifikasi.

***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti kodifikasi resmi oleh profesional medis.***


22233 | 2025-10-20 | 00:15:53

SDKI | klien mengatakan BAB 5x dalam sehari dengan konsistensi cair dan berlendir, klien mengatakan tinja berwarna coklat
Td : 105/47 mmhg
nadi 72x/mnt
mukosa bibir kering
klien tampak lemah
mulut tampak pucat
crt lebih dari 2 detik
turgor menurun

DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.


22232 | 2025-10-20 | 00:13:31

SDKI | klien mengatakan BAB 5x dalam sehari dengan konsistensi cair dan berlendir, klien mengatakan tinja berwarna coklat
Td : 105/47 mmhg
nadi 72x/mnt
mukosa bibir kering
klien tampak lemah
mulut tampak pucat
crt lebih dari 2 detik
turgor menurun

DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.

MODEL AI :

AI yang di pakai untuk Halaman ini adalah https://www.anthropic.com/ - Claude 3 Haiku

Claude 3 Haiku unggul dalam tugas berbasis teks dengan akurasi dan efisiensi tinggi. Dirancang untuk keluaran yang cepat dan terfokus serta berkinerja baik dalam lingkungan yang mengutamakan kecepatan.

Claude 3 Sonnet menyeimbangkan kinerja dan kompleksitas, sehingga cocok untuk berbagai aplikasi. Meningkatkan daya ingat dan penalaran, serta mampu memahami dan menghasilkan teks yang lebih kompleks.

Claude 3 Opus menonjol karena hasil mutakhirnya pada evaluasi pembandingan seperti GPQA, MMLU, dan MMMU. Ia dibuat untuk pertanyaan dan tugas kognitif yang lebih menantang, menunjukkan peningkatan dua kali lipat dalam berbagai skenario yang menantang.

Apabila memerlukan Fitur yang lebih canggih maka dapat memesan fitur Model Sonnet, atau yang legih bagus Opus; untuk implementasi di Klinik, atau RS masing-masing hubungi kami di jokoblitar@gmail.com