Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 13577 | 09 Mar 2025
Klinis : tolong buatkan diagnosa terkait risiko infeksi pada anak dengan VSD diameter defect 3-4 mm berhubungan dengan apa
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan rincian yang diminta dengan nada akademis dan sebagai seorang perawat yang pakar di bidang ini.
Diagnosa Keperawatan SDKI:
Risiko Infeksi berhubungan dengan defek jantung bawaan (VSD diameter 3-4 mm)
Penjelasan:
Pasien anak dengan Defek Septum Ventrikel (VSD) berdiameter 3-4 mm memiliki risiko tinggi untuk mengalami infeksi. VSD adalah kelainan jantung bawaan yang menyebabkan aliran darah dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi pada sistem kardiovaskular. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko infeksi pada anak dengan VSD ini antara lain: penurunan fungsi imun, prosedur invasif (seperti kateterisasi jantung), serta paparan lingkungan yang tidak higienis.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Tidak ada tanda-tanda infeksi (suhu tubuh normal, tidak ada erythema, bengkak, nyeri, dll)
2. Tidak ada komplikasi akibat infeksi (sepsis, endokarditis, dll)
3. Pengetahuan keluarga yang baik tentang pencegahan infeksi
Penjelasan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan yang komprehensif, diharapkan pasien tidak mengalami tanda-tanda infeksi seperti demam, kemerahan, pembengkakan, atau nyeri. Selain itu, juga diharapkan tidak terjadi komplikasi yang lebih berat akibat infeksi, seperti sepsis atau endokarditis. Luaran lainnya adalah meningkatnya pengetahuan keluarga tentang cara-cara pencegahan infeksi pada anak dengan VSD, agar dapat menjaga kesehatan pasien di rumah.
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Identifikasi faktor risiko infeksi pada pasien
2. Pemantauan tanda-tanda vital dan tanda infeksi secara rutin
3. Edukasi kepada keluarga tentang cara mencegah infeksi
4. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk pemberian antibiotik profilaksis, jika diperlukan
5. Menjaga lingkungan pasien tetap bersih dan higienis
6. Monitoring hasil pemeriksaan laboratorium terkait infeksi
7. Pemberian perawatan luka/akses invasif secara aseptik
Penjelasan:
Intervensi keperawatan yang diperlukan untuk mencegah risiko infeksi pada pasien anak dengan VSD meliputi identifikasi faktor risiko, pemantauan tanda-tanda vital dan infeksi, edukasi keluarga, kolaborasi dengan tim medis, menjaga kebersihan lingkungan, serta pemberian perawatan luka dan akses invasif secara aseptik. Hal-hal tersebut penting dilakukan untuk mencapai luaran yang diharapkan, yaitu tidak adanya tanda-tanda infeksi, tidak terjadi komplikasi, serta meningkatnya pengetahuan keluarga dalam pencegahan infeksi. -
Article No. 13578 | 09 Mar 2025
Klinis : Pasien Ny R 48 tahun datang ke rumah sakit melalui IGD dengan keluhan keluhan utama nyeri hebat di perut kanan atas sejak 6 jam lalu. Nyeri bersifat tajam, hilang timbul, menjalar ke punggung dan bahu kanan, serta memburuk setelah makan makanan berlemak. Pasien juga mengeluhkan mual, muntah, perut kembung, dan demam ringan sejak kemarin. Keluhan lain: Nafsu makan menurun, sering bersendawa, feses tampak berwarna pucat, urin berwarna gelap seperti teh, tidak ada riwayat BAB berdarah atau muntah darah. Pasien juga mengalami sulit tidur kerena nyeri yang dirasakan.Riwayat Penyakit Dahulu: Diabetes Mellitus tipe 2 sejak 5 tahun lalu. Riwayat Penyakit Keluarga: Ibu pasien memiliki riwayat kolelitiasis. Kesadaran Tanda Vital Compos Mentis TD: 130/80 mmHg, N: 90 x/menit, RR: 22 x/menit, Suhu: 37,8°C Inspeksi Abdomen Distensi ringan, tidak ada benjolan Palpasi Abdomen Nyeri tekan di kuadran kanan atas, tanda Murphy (+) Auskultasi Abdomen Peristaltik usus normal (5-10x/menit) Sklera Mata Icteric (+) Kulit Laboratorium Darah Hemoglobin (Hb) Leukosit Trombosit Bilirubin Total Bilirubin Direct ALP Gamma-GT Amilase Lipase USG Abdomen Tidak ada spider angioma, tetapi tampak sedikit jaundice Pemeriksaan MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography) Hasil 13,2 g/Dl 14.000/mm³ 260.000/mm³ 3,2 mg/dL 2,5 mg/dL 280 U/L 150 U/L 80 U/L 60 U/L Batu empedu berukuran 1,5 cm di kandung empedu, dinding kandung empedu menebal 4 mm, tidak ada dilatasi saluran empedu Tidak ditemukan batu di ductus choledochus, hanya batu di kandung empedu
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang diberikan, diagnosis keperawatan yang sesuai untuk pasien Ny. R adalah:
1. Nyeri akut berhubungan dengan batu empedu (kolelitasis) ditandai dengan nyeri hebat di perut kanan atas, menjalar ke punggung dan bahu kanan, serta memburuk setelah makan makanan berlemak.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan nyeri perut yang dirasakan pasien, ditandai dengan penurunan nafsu makan, sulit tidur, dan peningkatan tanda-tanda vital.
3. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya batu empedu yang dapat menyebabkan infeksi saluran empedu, ditandai dengan demam ringan, bilirubin total dan direct yang meningkat, serta peningkatan enzim hati (ALP dan Gamma-GT).
Penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI:
1. SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia):
- Merupakan standar yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan pasien dan menetapkan diagnosis keperawatan.
- Diagnosa keperawatan yang sesuai untuk kasus ini adalah Nyeri akut, Intoleransi aktivitas, dan Risiko infeksi.
2. SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
- Merupakan standar yang digunakan untuk menetapkan luaran atau hasil yang diharapkan dari intervensi keperawatan.
- Untuk diagnosa Nyeri akut, luaran yang diharapkan adalah pengurangan nyeri dan peningkatan kemampuan pasien dalam mengelola nyeri.
- Untuk diagnosa Intoleransi aktivitas, luaran yang diharapkan adalah peningkatan kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
- Untuk diagnosa Risiko infeksi, luaran yang diharapkan adalah tidak terjadi infeksi.
3. SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
- Merupakan standar yang digunakan untuk menetapkan tindakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk mencapai luaran yang diharapkan.
- Untuk diagnosa Nyeri akut, intervensi yang dapat dilakukan antara lain manajemen nyeri, terapi komplementer, dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain.
- Untuk diagnosa Intoleransi aktivitas, intervensi yang dapat dilakukan antara lain manajemen aktivitas, peningkatan energi, dan dukungan keluarga.
- Untuk diagnosa Risiko infeksi, intervensi yang dapat dilakukan antara lain pencegahan infeksi, manajemen nutrisi, dan pemantauan tanda-tanda vital. -
Article No. 13579 | 09 Mar 2025
Klinis : Muntah darah 3x, mual
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, dengan senang hati saya akan memberikan Diagnosa Keperawatan dan penjelasan singkat mengenai SDKI, SLKI, dan SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) untuk kondisi Muntah darah 3x, mual.
Diagnosa Keperawatan:
Risiko Perdarahan Aktif
Penjelasan:
Risiko Perdarahan Aktif adalah diagnosa keperawatan yang menggambarkan adanya kondisi di mana individu berisiko mengalami perdarahan aktif yang dapat mengancam jiwa. Dalam kasus ini, pasien mengalami muntah darah sebanyak 3 kali, yang menunjukkan adanya perdarahan aktif dalam saluran pencernaan.
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Definisi: Keadaan di mana individu berisiko mengalami perdarahan yang dapat mengancam jiwa.
Karakteristik Definisi:
1. Adanya riwayat perdarahan
2. Adanya tanda-tanda perdarahan aktif
3. Faktor risiko perdarahan
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
1. Kontrol Perdarahan
2. Pemulihan Hemodinamik
3. Pemulihan Homeostasis
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
1. Pemantauan Tanda Vital
2. Manajemen Perdarahan
3. Terapi Cairan dan Elektrolit
4. Manajemen Nyeri
Dalam menangani kasus ini, perawat harus melakukan pemantauan yang ketat terhadap tanda-tanda vital pasien, memberikan intervensi untuk menghentikan perdarahan, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, serta mengelola rasa nyeri yang mungkin dialami pasien. -
Article No. 13580 | 09 Mar 2025
Klinis : Seorang wanita berusia 45 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sering merasa lemas, pusing, berkeringat dingin, dan gemetar, terutama saat terlambat makan. Keluhan ini telah berlangsung selama tiga bulan terakhir dan sering membaik setelah mengonsumsi makanan manis. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2 selama lima tahun dan rutin mengonsumsi glibenklamid, namun satu tahun terakhir ia juga mengalami kelelahan, konstipasi, serta kenaikan berat badan yang tidak jelas penyebabnya. Pemeriksaan fisik menunjukkan tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 64 kali per menit, dan terdapat sedikit pembengkakan pada wajah serta kaki. Hasil laboratorium menunjukkan kadar gula darah sewaktu (GDS) 58 mg/dL, HbA1c 6,2%, TSH 8,2 mIU/L (meningkat), serta FT4 0,6 ng/dL dan FT3 2,1 pg/mL yang lebih rendah dari normal, mengindikasikan adanya hipotiroidisme primer. Kondisi hipotiroidisme ini berkontribusi terhadap hipoglikemia, karena menurunkan glukoneogenesis dan sensitivitas insulin, sementara penggunaan glibenklamid semakin memperparah penurunan kadar gula darah. Pasien kemudian diberikan terapi hipoglikemia dengan pemberian glukosa oral, serta dianjurkan untuk menghentikan sementara penggunaan glibenklamid dan beralih ke terapi yang lebih sesuai. Selain itu, pasien diberikan levotiroksin untuk mengatasi hipotiroidisme, serta diedukasi mengenai pola makan seimbang dan pemantauan kadar gula darah secara berkala. Kasus ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan GDS dan evaluasi fungsi tiroid pada pasien dengan hipoglikemia berulang guna memastikan penyebab yang mendasarinya serta mencegah komplikasi lebih lanjut.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kasus yang Anda berikan.
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh
Faktor yang Berhubungan: Penurunan Intake Makanan
Karakteristik Definisi: Lemas, pusing, berkeringat dingin, gemetar, terutama saat terlambat makan
2. Risiko Ketidakseimbangan Kadar Glukosa Darah
Faktor yang Berhubungan: Penyakit Penyerta (Hipotiroidisme), Penggunaan Obat (Glibenklamid)
Karakteristik Definisi: Kadar gula darah sewaktu 58 mg/dL, hipoglikemia berulang
3. Kelelahan
Faktor yang Berhubungan: Penyakit Penyerta (Hipotiroidisme)
Karakteristik Definisi: Kelelahan, konstipasi, kenaikan berat badan
Penjelasan Singkat SDKI - SLKI - SIKI:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia) adalah standar yang berisi rumusan diagnosis keperawatan yang digunakan sebagai acuan untuk menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia) adalah standar yang berisi rumusan hasil yang diharapkan dapat dicapai setelah intervensi keperawatan dilakukan.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) adalah standar yang berisi rumusan tindakan keperawatan yang dapat dilakukan untuk mencapai luaran keperawatan yang diharapkan.
Ketiga standar ini disusun oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebagai panduan baku dalam praktik keperawatan di Indonesia. -
Article No. 13581 | 09 Mar 2025
Klinis : Seorang wanita berusia 45 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sering merasa lemas, pusing, berkeringat dingin, dan gemetar, terutama saat terlambat makan. Keluhan ini telah berlangsung selama tiga bulan terakhir dan sering membaik setelah mengonsumsi makanan manis. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2 selama lima tahun dan rutin mengonsumsi glibenklamid, namun satu tahun terakhir ia juga mengalami kelelahan, konstipasi, serta kenaikan berat badan yang tidak jelas penyebabnya. Pemeriksaan fisik menunjukkan tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 64 kali per menit, dan terdapat sedikit pembengkakan pada wajah serta kaki. Hasil laboratorium menunjukkan kadar gula darah sewaktu (GDS) 58 mg/dL, HbA1c 6,2%, TSH 8,2 mIU/L (meningkat), serta FT4 0,6 ng/dL dan FT3 2,1 pg/mL yang lebih rendah dari normal, mengindikasikan adanya hipotiroidisme primer. Kondisi hipotiroidisme ini berkontribusi terhadap hipoglikemia, karena menurunkan glukoneogenesis dan sensitivitas insulin, sementara penggunaan glibenklamid semakin memperparah penurunan kadar gula darah. Pasien kemudian diberikan terapi hipoglikemia dengan pemberian glukosa oral, serta dianjurkan untuk menghentikan sementara penggunaan glibenklamid dan beralih ke terapi yang lebih sesuai. Selain itu, pasien diberikan levotiroksin untuk mengatasi hipotiroidisme, serta diedukasi mengenai pola makan seimbang dan pemantauan kadar gula darah secara berkala. Kasus ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan GDS dan evaluasi fungsi tiroid pada pasien dengan hipoglikemia berulang guna memastikan penyebab yang mendasarinya serta mencegah komplikasi lebih lanjut.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, berdasarkan informasi yang diberikan, berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat terkait standar SDKI, SLKI, dan SIKI untuk kondisi pasien tersebut:
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah Berhubungan dengan Hipotiroidisme Primer
Penjelasan:
a. SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
- Domain: Nutrisi
- Kelas: Metabolisme
- Diagnosa Keperawatan: Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah
- Definisi: Rentan mengalami fluktuasi kadar glukosa darah di atas atau di bawah batas normal.
b. SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
- Luaran Keperawatan: Stabilitas Kadar Glukosa Darah
- Definisi: Kemampuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam rentang normal.
c. SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
- Intervensi Keperawatan: Pemantauan Glukosa Darah, Manajemen Hipoglikemia, Edukasi Diet Seimbang.
- Definisi: Kegiatan pemantauan, pengelolaan, dan pemberian informasi terkait kondisi gula darah pasien serta pola makan yang tepat.
Penjelasan singkat:
Pasien mengalami risiko ketidakstabilan kadar glukosa darah yang disebabkan oleh adanya hipotiroidisme primer. Kondisi hipotiroidisme ini dapat menurunkan glukoneogenesis dan sensitivitas insulin, sehingga menyebabkan penurunan kadar gula darah yang semakin diperparah oleh penggunaan glibenklamid. Intervensi keperawatan yang dibutuhkan meliputi pemantauan kadar glukosa darah secara berkala, manajemen hipoglikemia, serta edukasi kepada pasien mengenai pola makan seimbang untuk menjaga stabilitas kadar glukosa darah. -
Article No. 13582 | 09 Mar 2025
Klinis : Tentukan implementasi pada kasus Seorang wanita berusia 45 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sering merasa lemas, pusing, berkeringat dingin, dan gemetar, terutama saat terlambat makan. Keluhan ini telah berlangsung selama tiga bulan terakhir dan sering membaik setelah mengonsumsi makanan manis. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2 selama lima tahun dan rutin mengonsumsi glibenklamid, namun satu tahun terakhir ia juga mengalami kelelahan, konstipasi, serta kenaikan berat badan yang tidak jelas penyebabnya. Pemeriksaan fisik menunjukkan tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 64 kali per menit, dan terdapat sedikit pembengkakan pada wajah serta kaki. Hasil laboratorium menunjukkan kadar gula darah sewaktu (GDS) 58 mg/dL, HbA1c 6,2%, TSH 8,2 mIU/L (meningkat), serta FT4 0,6 ng/dL dan FT3 2,1 pg/mL yang lebih rendah dari normal, mengindikasikan adanya hipotiroidisme primer. Kondisi hipotiroidisme ini berkontribusi terhadap hipoglikemia, karena menurunkan glukoneogenesis dan sensitivitas insulin, sementara penggunaan glibenklamid semakin memperparah penurunan kadar gula darah. Pasien kemudian diberikan terapi hipoglikemia dengan pemberian glukosa oral, serta dianjurkan untuk menghentikan sementara penggunaan glibenklamid dan beralih ke terapi yang lebih sesuai. Selain itu, pasien diberikan levotiroksin untuk mengatasi hipotiroidisme, serta diedukasi mengenai pola makan seimbang dan pemantauan kadar gula darah secara berkala. Kasus ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan GDS dan evaluasi fungsi tiroid pada pasien dengan hipoglikemia berulang guna memastikan penyebab yang mendasarinya serta mencegah komplikasi lebih lanjut.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang diberikan, dapat disimpulkan bahwa kasus ini merupakan kondisi hipoglikemia yang disebabkan oleh hipotiroidisme primer pada seorang pasien diabetes melitus tipe 2. Berikut adalah diagnosa keperawatan, penjelasan singkat SDKI-SLKI-SIKI, serta implementasi keperawatan yang sesuai:
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Hipotermi berhubungan dengan perubahan metabolisme akibat hipotiroidisme.
2. Gangguan Keseimbangan Cairan berhubungan dengan perubahan metabolisme glukosa akibat hipoglikemia dan hipotiroidisme.
3. Ketidakefektifan Pengelolaan Regimen Terapeutik berhubungan dengan kurangnya pengetahuan pasien tentang penyakit dan tatalaksana yang sesuai.
Penjelasan singkat SDKI-SLKI-SIKI:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
- Diagnosa 1: Risiko Hipotermi
- Diagnosa 2: Gangguan Keseimbangan Cairan
- Diagnosa 3: Ketidakefektifan Pengelolaan Regimen Terapeutik
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
- Diagnosa 1: Stabilitas Suhu Tubuh
- Diagnosa 2: Keseimbangan Cairan
- Diagnosa 3: Manajemen Penyakit Kronis
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
- Diagnosa 1: Pemantauan Suhu Tubuh, Manajemen Hipotermi
- Diagnosa 2: Pemantauan Intake-Output, Terapi Cairan
- Diagnosa 3: Edukasi Kesehatan, Manajemen Penyakit Kronis
Implementasi Keperawatan:
1. Pemantauan suhu tubuh pasien secara berkala, dan lakukan intervensi untuk mencegah hipotermi jika diperlukan.
2. Lakukan pemantauan intake-output cairan, serta berikan terapi cairan jika dibutuhkan untuk mempertahankan keseimbangan cairan.
3. Edukasikan pasien mengenai penyakit hipotiroidisme, penatalaksanaan diabetes melitus, dan pentingnya kepatuhan pengobatan serta pemantauan gula darah secara rutin.
4. Berikan konseling gizi untuk membantu pasien menerapkan pola makan yang seimbang dan sesuai dengan kondisi kesehatannya.
5. Kolaborasi dengan dokter untuk penyesuaian terapi hipoglikemia dan pemberian levotiroksin untuk mengatasi hipotiroidisme.
6. Monitoring dan evaluasi terhadap respons pasien selama pemberian intervensi keperawatan dan pengobatan. -
Article No. 13583 | 09 Mar 2025
Klinis : MUAL MUNTAH MAKAN MINUM TIDAK MASUK
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan penjelasan yang rinci dan terperinci mengenai diagnosa keperawatan, luaran/output yang diharapkan, dan intervensi keperawatan yang sesuai untuk kondisi mual, muntah, dan tidak makan minum.
Diagnosa Keperawatan SDKI:
Diagnosa keperawatan yang sesuai untuk kondisi mual, muntah, dan tidak makan minum adalah "Intoleransi Makan" (SDKI Kode: 00002). Intoleransi Makan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mentolerir dan mempertahankan asupan nutrisi yang adekuat melalui saluran gastrointestinal. Karakteristik utama dari diagnosa ini adalah adanya mual, muntah, dan ketidakmampuan untuk mempertahankan asupan nutrisi dan cairan yang adekuat.
Luaran/Output yang diharapkan (SLKI):
1. Asupan Nutrisi: Pasien dapat mempertahankan asupan nutrisi dan cairan yang adekuat.
2. Kontrol Mual dan Muntah: Pasien dapat mengontrol atau mengurangi gejala mual dan muntah.
3. Status Hidrasi: Pasien dapat mempertahankan status hidrasi yang adekuat.
4. Berat Badan: Pasien dapat mempertahankan berat badan yang stabil atau mengalami peningkatan berat badan.
Intervensi Keperawatan (SIKI):
1. Manajemen Mual dan Muntah:
a. Identifikasi faktor penyebab mual dan muntah.
b. Berikan antiemetik sesuai dengan resep dokter.
c. Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi untuk mengurangi mual.
d. Batasi stimulasi sensori yang dapat memicu mual (misalnya, bau makanan).
e. Berikan makanan dan minuman yang dapat ditoleransi dengan baik.
2. Manajemen Intake Nutrisi:
a. Identifikasi kebutuhan nutrisi pasien.
b. Berikan makanan dan minuman dalam porsi kecil dan sering.
c. Berikan makanan dan minuman yang mudah dicerna dan tidak menimbulkan mual.
d. Pantau asupan nutrisi dan cairan pasien.
e. Berikan suplemen nutrisi sesuai dengan kebutuhan.
3. Manajemen Hidrasi:
a. Pantau tanda-tanda dehidrasi.
b. Berikan cairan intravena jika pasien tidak dapat memenuhi kebutuhan cairannya secara oral.
c. Ajarkan pasien untuk minum cairan sedikit demi sedikit secara sering.
d. Berikan cairan dengan rasa yang menyenangkan dan suhu yang nyaman.
4. Edukasi dan Dukungan:
a. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyebab, gejala, dan penatalaksanaan intoleransi makan.
b. Berikan dukungan emosional dan motivasi untuk mempertahankan asupan nutrisi dan cairan.
c. Libatkan keluarga dalam perawatan dan pengambilan keputusan.
Melalui implementasi intervensi keperawatan yang komprehensif, diharapkan dapat membantu pasien mencapai luaran yang diharapkan, yaitu mempertahankan asupan nutrisi dan cairan yang adekuat, mengontrol mual dan muntah, mempertahankan status hidrasi yang baik, serta mempertahankan atau meningkatkan berat badan. -
Article No. 13584 | 09 Mar 2025
Klinis : Pasien Ny R 48 tahun datang ke rumah sakit melalui IGD dengan keluhan keluhan utama nyeri hebat di perut kanan atas sejak 6 jam lalu. Nyeri bersifat tajam, hilang timbul, menjalar ke punggung dan bahu kanan, serta memburuk setelah makan makanan berlemak. Pasien juga mengeluhkan mual, muntah, perut kembung, dan demam ringan sejak kemarin. Keluhan lain: Nafsu makan menurun, sering bersendawa, feses tampak berwarna pucat, urin berwarna gelap seperti teh, tidak ada riwayat BAB berdarah atau muntah darah. Pasien juga mengalami sulit tidur kerena nyeri yang dirasakan.Riwayat Penyakit Dahulu: Diabetes Mellitus tipe 2 sejak 5 tahun lalu. Riwayat Penyakit Keluarga: Ibu pasien memiliki riwayat kolelitiasis. Kesadaran Compos Mentis Tanda Vital TD: 130/80 mmHg, N: 90 x/menit, RR: 22 x/menit, Suhu: 37,8°C Inspeksi Abdomen Distensi ringan, tidak ada benjolan Palpasi Abdomen Nyeri tekan di kuadran kanan atas, tanda Murphy (+) Auskultasi Abdomen Peristaltik usus normal (5-10x/menit) Sklera Mata Icteric (+) Kulit Tidak ada spider angioma, tetapi tampak sedikit jaundice Pemeriksaan Hasil Laboratorium Darah Hemoglobin (Hb) 13,2 g/Dl Leukosit 14.000/mm³ Trombosit 260.000/mm³ Bilirubin Total 3,2 mg/dL Bilirubin Direct 2,5 mg/dL ALP 280 U/L Gamma-GT 150 U/L Amilase 80 U/L Lipase 60 U/L USG Abdomen Batu empedu berukuran 1,5 cm di kandung empedu, dinding kandung empedu menebal 4 mm, tidak ada dilatasi saluran empedu MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography) Tidak ditemukan batu di ductus choledochus, hanya batu di kandung empedu
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kasus yang disampaikan, diagnosis keperawatan yang sesuai adalah:
1. Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi saluran empedu sekunder akibat batu empedu
Penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Nyeri akut adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan dalam istilah kerusakan tersebut.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
1. Tingkat nyeri menurun
2. Manajemen nyeri efektif
3. Istirahat/tidur terpelihara
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
1. Manajemen nyeri
2. Terapi relaksasi
3. Pemberian analgesik
4. Peningkatan kenyamanan
Penjelasan:
Pasien mengalami nyeri akut di perut kanan atas yang diduga disebabkan oleh obstruksi saluran empedu akibat batu empedu. Nyeri yang dirasakan pasien bersifat tajam, hilang timbul, menjalar ke punggung dan bahu kanan, serta memburuk setelah makan makanan berlemak. Intervensi keperawatan yang dapat diberikan adalah manajemen nyeri, terapi relaksasi, pemberian analgesik, dan peningkatan kenyamanan pasien. -
Article No. 13585 | 09 Mar 2025
Klinis : Tentukan implementasi pada kasus Seorang wanita berusia 45 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sering merasa lemas, pusing, berkeringat dingin, dan gemetar, terutama saat terlambat makan. Keluhan ini telah berlangsung selama tiga bulan terakhir dan sering membaik setelah mengonsumsi makanan manis. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2 selama lima tahun dan rutin mengonsumsi glibenklamid, namun satu tahun terakhir ia juga mengalami kelelahan, konstipasi, serta kenaikan berat badan yang tidak jelas penyebabnya. Pemeriksaan fisik menunjukkan tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 64 kali per menit, dan terdapat sedikit pembengkakan pada wajah serta kaki. Hasil laboratorium menunjukkan kadar gula darah sewaktu (GDS) 58 mg/dL, HbA1c 6,2%, TSH 8,2 mIU/L (meningkat), serta FT4 0,6 ng/dL dan FT3 2,1 pg/mL yang lebih rendah dari normal, mengindikasikan adanya hipotiroidisme primer. Kondisi hipotiroidisme ini berkontribusi terhadap hipoglikemia, karena menurunkan glukoneogenesis dan sensitivitas insulin, sementara penggunaan glibenklamid semakin memperparah penurunan kadar gula darah. Pasien kemudian diberikan terapi hipoglikemia dengan pemberian glukosa oral, serta dianjurkan untuk menghentikan sementara penggunaan glibenklamid dan beralih ke terapi yang lebih sesuai. Selain itu, pasien diberikan levotiroksin untuk mengatasi hipotiroidisme, serta diedukasi mengenai pola makan seimbang dan pemantauan kadar gula darah secara berkala. Kasus ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan GDS dan evaluasi fungsi tiroid pada pasien dengan hipoglikemia berulang guna memastikan penyebab yang mendasarinya serta mencegah komplikasi lebih lanjut.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat SDKI-SLKI-SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kasus yang Anda deskripsikan.
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Ketidakseimbangan Kadar Glukosa Darah Berhubungan dengan Hipotiroidisme Primer
Penjelasan Singkat:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Risiko Ketidakseimbangan Kadar Glukosa Darah: Keadaan di mana individu berisiko mengalami peningkatan atau penurunan kadar glukosa darah di luar rentang normal.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
Tujuan: Pasien menunjukkan kadar glukosa darah dalam rentang normal.
Kriteria Hasil: Pasien melaporkan tidak ada keluhan terkait hipoglikemia, kadar glukosa darah dalam batas normal, dan tidak ada tanda-tanda komplikasi akibat hipoglikemia.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
Intervensi Keperawatan:
1. Identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kadar glukosa darah, seperti asupan makanan, aktivitas fisik, dan penggunaan obat-obatan.
2. Pantau kadar glukosa darah secara berkala.
3. Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai pemantauan kadar glukosa darah, manajemen hipoglikemia, dan pentingnya pengobatan yang tepat.
4. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain (dokter, ahli gizi) dalam pengaturan terapi farmakologis dan non-farmakologis untuk mengoreksi hipotiroidisme dan mempertahankan kadar glukosa darah yang optimal.
Dengan pendekatan multidisipliner dan kolaborasi yang baik, diharapkan kondisi pasien dapat stabil dan terhindar dari komplikasi lebih lanjut akibat hipoglikemia dan hipotiroidisme. -
Article No. 13586 | 09 Mar 2025
Klinis : Tentukan implementasi dengan diagnosis Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah pada kasus Seorang wanita berusia 45 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sering merasa lemas, pusing, berkeringat dingin, dan gemetar, terutama saat terlambat makan. Keluhan ini telah berlangsung selama tiga bulan terakhir dan sering membaik setelah mengonsumsi makanan manis. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tipe 2 selama lima tahun dan rutin mengonsumsi glibenklamid, namun satu tahun terakhir ia juga mengalami kelelahan, konstipasi, serta kenaikan berat badan yang tidak jelas penyebabnya. Pemeriksaan fisik menunjukkan tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 64 kali per menit, dan terdapat sedikit pembengkakan pada wajah serta kaki. Hasil laboratorium menunjukkan kadar gula darah sewaktu (GDS) 58 mg/dL, HbA1c 6,2%, TSH 8,2 mIU/L (meningkat), serta FT4 0,6 ng/dL dan FT3 2,1 pg/mL yang lebih rendah dari normal, mengindikasikan adanya hipotiroidisme primer. Kondisi hipotiroidisme ini berkontribusi terhadap hipoglikemia, karena menurunkan glukoneogenesis dan sensitivitas insulin, sementara penggunaan glibenklamid semakin memperparah penurunan kadar gula darah. Pasien kemudian diberikan terapi hipoglikemia dengan pemberian glukosa oral, serta dianjurkan untuk menghentikan sementara penggunaan glibenklamid dan beralih ke terapi yang lebih sesuai. Selain itu, pasien diberikan levotiroksin untuk mengatasi hipotiroidisme, serta diedukasi mengenai pola makan seimbang dan pemantauan kadar gula darah secara berkala. Kasus ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan GDS dan evaluasi fungsi tiroid pada pasien dengan hipoglikemia berulang guna memastikan penyebab yang mendasarinya serta mencegah komplikasi lebih lanjut.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan: Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah
Penjelasan Singkat:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah didefinisikan sebagai kerentanan individu terhadap fluktuasi kadar glukosa darah yang dapat menimbulkan komplikasi.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
Luaran yang diharapkan dari penanganan Risiko Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah adalah stabilnya kadar glukosa darah pada rentang normal, tidak terjadi komplikasi akibat hipoglikemia maupun hiperglikemia, serta pasien mampu mengelola kondisinya dengan baik.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan meliputi:
1. Pemantauan kadar glukosa darah secara berkala
2. Pemberian terapi hipoglikemia (glukosa oral)
3. Edukasi mengenai pola makan seimbang dan pengelolaan diabetes
4. Evaluasi dan penyesuaian terapi farmakologis (glibenklamid) sesuai kondisi
5. Pemantauan dan penanganan tanda-tanda hipoglikemia
6. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain (endokrinolog) untuk mengatasi hipotiroidisme
Implementasi:
Berdasarkan kasus yang diberikan, implementasi keperawatan yang dapat dilakukan adalah:
1. Memantau kadar glukosa darah secara berkala, baik sewaktu maupun profil harian.
2. Memberikan terapi hipoglikemia berupa pemberian glukosa oral untuk mengatasi episode hipoglikemia.
3. Menghentikan sementara penggunaan glibenklamid dan menggantinya dengan terapi yang lebih sesuai, seperti metformin.
4. Memberikan edukasi kepada pasien mengenai pola makan seimbang, pentingnya pemantauan kadar glukosa darah, serta pengelolaan diabetes.
5. Melakukan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, seperti endokrinolog, untuk mengatasi kondisi hipotiroidisme yang berkontribusi terhadap hipoglikemia.
6. Memantau tanda-tanda hipoglikemia dan memberikan intervensi yang sesuai.
Dengan penanganan yang komprehensif, diharapkan dapat menstabilkan kadar glukosa darah pasien, mencegah komplikasi, serta meningkatkan kemampuan pasien dalam mengelola kondisinya.