Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 21694 | 15 Sep 2025
Klinis : Seorang perempuan, usia 19 tahun mengalami ruam di batang hidung hingga di kedua pipinya berbentuk seperti kupu-kupu serta di pergelangan tangan. Dari hari ke hari, ruam semakin parah, pasien semakin merasa keletihan dan merasakan nyeri sendi jika terkena sinar matahari langsung. Hasil pengkajian didapatkan bengkak pada pergelangan kaki, sariawan di mulut, rambut rontok, TD 120/80 mmHg, frekuensi nadi 130 x/ menit, frekuensi nafas 30 x/menit, suhu 390C. Hasil foto thoraks didapatkan gambaran akumulasi cairan dan peradangan. Hasil test antinuclear antibody > 60 unit. Pasien mendapatkan terapi farmakologi hydroxychloroquine.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
**DIAGNOSIS KEPERAWATAN DAN INTERVENSI BERDASARKAN PPNI**
**Untuk Pasien dengan Susapan Systemic Lupus Erythematosus (SLE)**
\line
\line
**I. DATA UTAMA PENGKAJIAN**
Berdasarkan data yang disampaikan, pasien perempuan usia 19 tahun menunjukkan manifestasi klinis yang konsisten dengan **Systemic Lupus Erythematosus (SLE)**, antara lain:
1. Ruam malar (butterfly rash) pada hidung dan pipi.
2. Fotosensitivitas (nyeri sendi akibat paparan sinar matahari).
3. Ulkus oral (sariawan).
4. Artritis (pembengkakan pergelangan kaki).
5. Alopecia (rambut rontok).
6. Demam (suhu 39°C).
7. Pleuritis/perikarditis (gambaran akumulasi cairan dan peradangan pada foto thoraks).
8. Hasil laboratorium: ANA > 60 unit (positif tinggi).
9. Gejala sistemik: keletihan, takikardia (nadi 130x/menit), takipnea (30x/menit).
\line
**II. DIAGNOSIS KEPERAWATAN UTAMA**
Berdasarkan **Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI)** edisi IV, diagnosis keperawatan yang utama adalah:
**Kode SDKI: B.3 **
**Nyeri Akut **
**Penjelasan:**
Nyeri akut pada pasien ini disebabkan oleh inflamasi sistemik akibat SLE, yang dimanifestasikan melalui nyeri sendi (arthralgia), ruam kulit, dan pleuritis. Nyeri diperburuk oleh paparan sinar matahari (fotosensitivitas) dan aktivitas inflamasi yang aktif.
\line
**III. INTERVENSI KEPERAWATAN**
**A. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI)**
**Kode SLKI: B.3.2**
**Luaran:** Nyeri Terkontrol
**Kriteria Evaluasi:**
1. Skala nyeri menurun (dari skala berat ke ringan atau hilang).
2. Ekspresi wajah rileks.
3. Pasien mampu beristirahat dengan adequate.
4. Tanda vital dalam rentang normal (nadi <100x/menit, frekuensi napas 16-20x/menit).
**B. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)**
**Kode SIKI: B.3.2.1**
**Manajemen Nyeri**
**Tindakan Keperawatan:**
1. **Kaji karakteristik nyeri:** skala, lokasi, durasi, dan faktor pemicu (termasuk paparan sinar matahari).
2. **Kolaborasi pemberian farmakologi:**
- Memastikan terapi hydroxychloroquine diberikan sesuai protokol (untuk mengontrol penyakit secara keseluruhan).
- Kolaborasi pemberian analgesik dan anti-inflamasi sesuai resep.
3. **Intervensi non-farmakologi:**
- Anjurkan istirahat yang adequate untuk mengurangi keletihan.
- Hindari paparan sinar matahari langsung (gunakan pelindung).
- Kompres dingin pada sendi yang bengkak.
4. **Edukasi pasien:**
- Penyebab nyeri pada SLE dan pentingnya terapi maintenance.
- Teknik relaksasi untuk mengurangi persepsi nyeri.
\line
**IV. DIAGNOSIS KEPERAWATAN SEKUNDER**
**Kode SDKI: A.3**
**Intoleransi Aktivitas**
**Penjelasan:**
Disebabkan oleh keletihan, demam, takikardia, dan takipnea yang terkait dengan aktivitas penyakit SLE.
**Intervensi (SIKI: A.3.2.1 - Manajemen Energi):**
1. Anjurkan aktivitas bertahap dan istirahat adequate.
2. Monitor tanda vital sebelum dan setelah aktivitas.
3. Kolaborasi manajemen anemia jika terdapat penyerta.
\line
**V. CATATAN KHUSUS**
1. Pemantauan ketat terhadap efek samping hydroxychloroquine (misalnya, gangguan ocular) diperlukan dalam jangka panjang.
2. Pasien memerlukan pendekatan holistik dan interdisipliner mengingat SLE adalah penyakit multisistem.
3. Edukasi mengenai pentingnya kepatuhan terapi dan kontrol rutin untuk mencegah flare-up.
\line
**\b TTD,**
**\b Perawat Klinis**
**\b [Nama Perawat]**
**\b Ners., M.Kep.** -
Article No. 21695 | 15 Sep 2025
Klinis : Seorang laki-laki, usia 48 tahun di rawat di rumah sakit dengan keluhan nyeri di area bola mata, sakit kepala berat, penglihatan kabur serta mata memerah. Hasil pemeriksaan diagnostic tonometri tekanan intraokuler 25 mmHg, pemeriksaan gonioskopi didapatkan hasil trabecular meshwork (saluran pengalir aqueous humour) tersumbat sebagian. Riwayat Kesehatan pasien mengalami miopi sejak usia 10 tahun. Saat ini lapang pandang pasien menyempit seperti membentuk terowongan dan pasien menyapaikan bahwa seperti melihat bayangan di sekeliling cahaya.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: \b\fs28 Diagnosa Keperawatan dan Penjelasan SDKI - SLKI - SIKI\b0\fs24
\par
\par
\b Kondisi Pasien:\b0 Laki-laki, usia 48 tahun, dengan keluhan nyeri pada bola mata, sakit kepala berat, penglihatan kabur, mata memerah, tekanan intraokuler 25 mmHg, penyempitan lapang pandang (visus tubular), fotopsia (melihat bayangan di sekeliling cahaya), riwayat miopia, dan hasil gonioskopi menunjukkan obstruksi parsial pada trabecular meshwork.
\par
\par
\b Diagnosa Keperawatan Utama:\b0
\par \b Nyeri Akut\b0 (SDKI: 1.1)
\par
\par
\b Penjelasan Singkat SDKI - SLKI - SIKI:\b0
\par
\par
\b 1. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI) - Kode: 1.1 (Nyeri Akut)\b0
\par \b Definisi:\b0 Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat cedera jaringan aktual atau potensial, atau digambarkan dalam istilah kerusakan tersebut; onset mendadak atau lambat dengan intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan durasi kurang dari 3 bulan.
\par \b Karakteristik Utama pada Pasien:\b0 Laporan nyeri pada bola mata dan sakit kepala berat (karakteristik subjektif), perilaku berhati-hati, gelisah, serta perubahan tanda-tanda vital (dapat diasumsikan seperti takikardia atau hipertensi) sebagai respons terhadap nyeri.
\par
\par
\b 2. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) - Kode: 1.1 (Kontrol Nyeri)\b0
\par \b Definisi:\b0 Tindakan pribadi untuk mengontrol nyeri.
\par \b Indikator Luaran yang Relevan (Skala 1-5):\b0
\par - Tingkat nyeri (5: Nyeri terkontrol dengan baik)
\par - Perilaku mengatasi nyeri (5: Selalu menggunakan perilaku mengatasi nyeri)
\par - Toleransi terhadap nyeri (5: Toleran terhadap nyeri)
\par \b Tujuan:\b0 Meningkatkan skala luaran untuk mengurangi intensitas nyeri yang dilaporkan pasien.
\par
\par
\b 3. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) - Kode: 1.1 (Manajemen Nyeri)\b0
\par \b Definisi:\b0 Memberikan perawatan yang mendukung dan memfasilitasi penghilangan nyeri atau ketidaknyamanan.
\par \b Aktivitas Intervensi yang Relevan:\b0
\par - Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokalitas, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi).
\par - Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (contoh: relaksasi, distraksi, kompres).
\par - Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi dan resep dokter (misal, analgetik oral atau topical untuk mengurangi nyeri dan inflamasi).
\par - Monitor efektivitas manajemen nyeri dan efek samping intervensi farmakologis.
\par
\par
\b Catatan Akademis:\b0 Berdasarkan data klinis (tekanan intraokuler 25 mmHg, visus tubular, fotopsia, dan obstruksi trabecular meshwork), kondisi pasien mengindikasikan \b Glaukoma Sudut Terbuka\b0 yang memerlukan penanganan segera. Nyeri akut menjadi diagnosa keperawatan prioritas karena dampaknya terhadap kenyamanan, kualitas hidup, dan potensi peningkatan tekanan intraokuler lebih lanjut. Intervensi keperawatan harus berfokus pada manajemen nyeri serta kolaborasi dengan tim medis untuk terapi penurunan tekanan intraokuler (seperti pemberian obat golongan beta-blocker atau prostaglandin analog). Pemantauan ketat terhadap respons terapi dan edukasi pasien mengenai kondisi dan pengobatannya sangat esensial.
\par
\par
\b Referensi:\b0 PPNI. (2017). \i Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Edisi 1-6.\i0 PPNI. Jakarta.
\par PPNI. (2018). \i Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Edisi 1-6.\i0 PPNI. Jakarta.
\par PPNI. (2019). \i Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Edisi 1-6.\i0 PPNI. Jakarta.
\par
} -
Article No. 21696 | 15 Sep 2025
Klinis : Tn. D adalah seorang pegawai kantor berusia 35 tahun yang datang ke poliklinik rawat jalan dengan keluhan keluarnya cairan dari telinga kiri yang berlangsung terus-menerus sejak 2 minggu terakhir. la juga mengeluhkan penurunan pendengaran ringan, nyeri telinga sesekali, dan rasa penuh di telinga. Kadang-kadang ia mengalami pusing, terutama saat berdiri terlalu cepat. la mengakui bahwa sejak kecil sering mengalami infeksi telinga berulang tetapi tidak pernah mendapatkan pengobatan yang tepat. Belakangan ini ia sering membersihkan telinganya dengan cotton bud. la juga sering mengalami infeksi saluran pernapasan atas akibat kebiasaan merokok dan paparan ruangan ber-AC di tempat kerja. Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan otoskop menunjukkan adanya perforasi pada membran timpani dengan cairan purulen di telinga kiri. Dokter menegakkan. diagnosis Otitis Media Supuratif Kronik (CSOM). Tn. D tampak cemas, menanyakan apakah kondisi ini dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen dan apakah ia perlu menjalani operasi, la juga menyampaikan bahwa keluarnya cairan telinga dan gangguan pendengaran memengaruhi konsentrasinya saat bekerja serta membuatnya. merasa malu dalam pergaulan sosial. Apa saja 3 diagnosa keperawatan utama dari kasus utama
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: \b\fs28 \cf0 Berdasarkan analisis kasus Tn. D dengan kondisi Otitis Media Supuratif Kronik (CSOM), berikut adalah tiga diagnosa keperawatan utama yang ditetapkan sesuai dengan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), dan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI):
\par
\b\fs24 \cf0 1. \b\fs24 \cf0 \b\fs24 \cf0 \ul\b\fs24 \cf0 Gangguan Persepsi Sensori: Pendengaran\ulnone\b\fs24 \cf0 (SDKI: 4.5)
\par
\b\fs22 \cf0 \b\fs22 \cf0 \ul\b\fs22 \cf0 Penjelasan:\ulnone\b\fs22 \cf0 Diagnosa ini terkait dengan penurunan pendengaran ringan yang dialami Tn. D akibat perforasi membran timpani dan akumulasi cairan purulen, yang mengganggu transmisi suara. Kondisi ini diperburuk oleh riwayat infeksi telinga berulang dan kebiasaan membersihkan telinga dengan cotton bud, yang dapat menyebabkan trauma atau infeksi tambahan.
\par
\b\fs22 \cf0 \b\fs22 \cf0 \ul\b\fs22 \cf0 SLKI:\ulnone\b\fs22 \cf0 Luaran yang diharapkan termasuk peningkatan persepsi pendengaran dan pemulihan fungsi pendengaran (SLKI terkait: 4.5.1 - Kemampuan mendeteksi suara meningkat).
\par
\b\fs22 \cf0 \b\fs22 \cf0 \ul\b\fs22 \cf0 SIKI:\ulnone\b\fs22 \cf0 Intervensi keperawatan meliputi pemantauan fungsi pendengaran, edukasi tentang teknik komunikasi efektif, dan kolaborasi untuk terapi medis (SIKI terkait: 4.5.1 - Manajemen gangguan pendengaran).
\par
\b\fs24 \cf0 2. \b\fs24 \cf0 \b\fs24 \cf0 \ul\b\fs24 \cf0 Nyeri Akut\ulnone\b\fs24 \cf0 (SDKI: 1.1)
\par
\b\fs22 \cf0 \b\fs22 \cf0 \ul\b\fs22 \cf0 Penjelasan:\ulnone\b\fs22 \cf0 Tn. D melaporkan nyeri telinga sesekali, yang disebabkan oleh inflamasi dan infeksi pada telinga tengah akibat CSOM. Nyeri ini dapat memengaruhi kenyamanan dan aktivitas sehari-hari, serta diperparah oleh faktor seperti perubahan tekanan atau iritasi dari cairan purulen.
\par
\b\fs22 \cf0 \b\fs22 \cf0 \ul\b\fs22 \cf0 SLKI:\ulnone\b\fs22 \cf0 Luaran mencakup pengurangan nyeri hingga tingkat yang dapat ditoleransi dan peningkatan kenyamanan (SLKI terkait: 1.1.4 - Tingkat nyeri menurun).
\par
\b\fs22 \cf0 \b\fs22 \cf0 \ul\b\fs22 \cf0 SIKI:\ulnone\b\fs22 \cf0 Intervensi meliputi assessmen nyeri, pemberian analgesik sesuai kolaborasi, dan teknik non-farmakologis seperti kompres hangat (SIKI terkait: 1.1.1 - Manajemen nyeri).
\par
\b\fs24 \cf0 3. \b\fs24 \cf0 \b\fs24 \cf0 \ul\b\fs24 \cf0 Ansietas\ulnone\b\fs24 \cf0 (SDKI: 3.1)
\par
\b\fs22 \cf0 \b\fs22 \cf0 \ul\b\fs22 \cf0 Penjelasan:\ulnone\b\fs22 \cf0 Tn. D menunjukkan kecemasan terkait kekhawatiran akan gangguan pendengaran permanen, kebutuhan operasi, serta dampak sosial seperti rasa malu dan gangguan konsentrasi kerja. Ansietas ini dipicu oleh ketidakpastian prognosis dan pengalaman gejala yang berkepanjangan.
\par
\b\fs22 \cf0 \b\fs22 \cf0 \ul\b\fs22 \cf0 SLKI:\ulnone\b\fs22 \cf0 Luaran yang diharapkan adalah penurunan tingkat ansietas dan peningkatan koping yang adaptif (SLKI terkait: 3.1.3 - Tingkat ansietas menurun).
\par
\b\fs22 \cf0 \b\fs22 \cf0 \ul\b\fs22 \cf0 SIKI:\ulnone\b\fs22 \cf0 Intervensi termasuk memberikan edukasi tentang kondisi dan penatalaksanaannya, teknik relaksasi, dan dukungan emosional (SIKI terkait: 3.1.1 - Manajemen ansietas).
\par
\b\fs22 \cf0 \b\fs22 \cf0 Diagnosa-diagnosa ini diprioritaskan berdasarkan keluhan utama dan dampaknya terhadap kualitas hidup Tn. D. Pendekatan holistik dengan kolaborasi multidisiplin direkomendasikan untuk mencapai luaran yang optimal.
} -
Article No. 21697 | 15 Sep 2025
Klinis : Seorang laki-laki, usia 48 tahun di rawat di rumah sakit dengan keluhan nyeri di area bola mata, sakit kepala berat, penglihatan kabur serta mata memerah. Hasil pemeriksaan diagnostic tonometri tekanan intraokuler 25 mmHg, pemeriksaan gonioskopi didapatkan hasil trabecular meshwork (saluran pengalir aqueous humour) tersumbat sebagian. Riwayat Kesehatan pasien mengalami miopi sejak usia 10 tahun. Saat ini lapang pandang pasien menyempit seperti membentuk terowongan dan pasien menyapaikan bahwa seperti melihat bayangan di sekeliling cahaya.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: \rtf1\ansi\ansicpg1252\deff0\nouicompat{\fonttbl{\f0\fnil\fcharset0 Calibri;}}
{\colortbl;\red0\green0\blue0;\red0\green0\blue255;}
{\*\generator Riched20 10.0.22621}\viewkind4\uc1
\pard\sa200\sl276\slmult1\f0\fs22\lang1057 Berdasarkan data klinis yang disajikan, pasien laki-laki usia 48 tahun menunjukkan manifestasi klinis yang mengarah pada \b Glaukoma Sudut Terbuka\b0 . Berikut adalah analisis diagnostik keperawatan sesuai standar PPNI:\par
\par
\b DIAGNOSIS KEPERAWATAN:\b0\par
\cf2\ul\b Nyeri Akut\cf0\ulnone\b0 (Kode: 00132)\par
\b\i Definisi:\i0\b0 Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial, dengan onset mendadak atau lambat, intensitas ringan hingga berat, dan perkiraan waktu akhir.\par
\b\i Faktor Terkait:\i0\b0 Peningkatan tekanan intraokuler (25 mmHg) yang menyebabkan distensi dan iskemia jaringan okuler.\par
\b\i Manifestasi:\i0\b0 Nyeri pada bola mata, sakit kepala berat, mata memerah.\par
\par
\cf2\ul\b Gangguan Persepsi Sensori: Penglihatan\cf0\ulnone\b0 (Kode: 00122)\par
\b\i Definisi:\i0\b0 Perubahan dalam jumlah atau pola stimulasi yang datang disertai dengan respons yang melemah, berlebih, terganggu, atau terhambat.\par
\b\i Faktor Terkait:\i0\b0 Kerusakan saraf optik akibat hipertensi okuler dan obstruksi parsial trabecular meshwork.\par
\b\i Manifestasi:\i0\b0 Penglihatan kabur, penyempitan lapang pandang (visi tubular), melihat halo di sekitar cahaya (photopsia).\par
\par
\b STANDAR LUARAN KEPERAWATAN INDONESIA (SLKI):\b0\par
Untuk diagnosis \i Nyeri Akut\i0 (00132):\par
\- SLKI 2101: Tingkat nyeri terkontrol\par
\- SLKI 2103: Perilaku mengatasi nyeri\par
\- SLKI 2104: Fungsi fisik selama nyeri\par
\par
Untuk diagnosis \i Gangguan Persepsi Sensori: Penglihatan\i0 (00122):\b\par
\b0\- SLKI 1302: Pemahaman tentang gangguan sensori\par
\- SLKI 1303: Adaptasi terhadap gangguan sensori\par
\- SLKI 1304: Fungsi sensori\par
\par
\b STANDAR INTERVENSI KEPERAWATAN INDONESIA (SIKI):\b0\par
Untuk diagnosis \i Nyeri Akut\i0 (00132):\par
\- SIKI 5610: \i Manajemen Nyeri\i0\par
\tab - Aktivitas: Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi\par
\tab - Kolaborasi pemberian analgetik dan agen anti-glaukoma (seperti beta-blocker topikal)\par
\par
\- SIKI 6680: \i Perawatan Okuler\i0\par
\tab - Monitor tekanan intraokuler dan karakteristik nyeri\par
\tab - Lindungi mata dari iritan dan cahaya terang\par
\par
Untuk diagnosis \i Gangguan Persepsi Sensori: Penglihatan\i0 (00122):\par
\- SIKI 5610: \i Manajemen Nyeri\i0 (untuk mengurangi faktor yang memperberat gangguan penglihatan)\par
\- SIKI 6540: \i Peningkatan Proses Sensori\i0\par
\tab - Orientasi pada lingkungan untuk mencegah cedera\par
\tab - Fasilitasi penggunaan alat bantu visual jika diperlukan\par
\tab - Edukasi tentang adaptasi terhadap perubahan lapang pandang\par
\par
\b Catatan Klinis:\b0 Riwayat miopi sejak usia dini merupakan faktor risiko signifikan untuk perkembangan glaukoma. Tekanan intraokuler 25 mmHg (diatas normal 10-21 mmHg) mengonfirmasi hipertensi okuler, sementara penyempitan lapang pandang dan visual halo menunjukkan gangguan fungsi saraf optik yang memerlukan intervensi segera.\par
} -
Article No. 21698 | 15 Sep 2025
Klinis : pasien datng dengan keluhan susah tidur
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: \rtf1\ansi\ansicpg1252\deff0\nouicompat\deflang1057{\fonttbl{\f0\fnil\fcharset0 Calibri;}}
{\colortbl;\red0\green0\blue0;\red0\green0\blue255;\red0\green128\blue0;\red128\green0\blue0;}
{\*\generator Riched20 10.0.22621}\viewkind4\uc1
\pard\nowidctlpar\sa200\sl276\slmult1\f0\fs22\lang1057 Berdasarkan keluhan pasien yaitu \i susah tidur\i0 , berikut adalah diagnosa keperawatan beserta penjelasan singkat SDKI, SLKI, dan SIKI sesuai standar Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI):\par
\par
\b DIAGNOSA KEPERAWATAN:\b0\par
\cf2\ul Gangguan Pola Tidur\cf1\ulnone (Kode: 00095)\par
\par
\b\i Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI):\i0\b0\par
Pengalaman individu yang tidak adekuat dalam kuantitas atau kualitas tidur. \cf3\ul Faktor yang Berhubungan\cf1\ulnone : ansietas, nyeri, ketidaknyamanan lingkungan, atau perubahan rutinitas harian.\par
\par
\b\i Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI):\i0\b0\par
\cf3\ul Tidur\cf1\ulnone (Kode: 0901)\par
\cf4\ul Kriteria Luaran:\cf1\ulnone\par
- Kualitas tidur membaik (skor 1-5)\par
- Durasi tidur adekuat (skor 1-5)\par
- Mengungkapkan perasaan segar setelah bangun tidur (skor 1-5)\par
\par
\b\i Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI):\i0\b0\par
\cf3\ul Peningkatan Tidur\cf1\ulnone (Kode: 1850)\par
\cf4\ul Aktivitas Keperawatan:\cf1\ulnone\par
- Kaji pola dan kebiasaan tidur pasien\par
- Identifikasi faktor penyebab gangguan tidur\par
- Ciptakan lingkungan yang nyaman dan kondusif untuk tidur\par
- Ajarkan teknik relaksasi sebelum tidur\par
- Kolaborasi pemberian terapi farmakologi jika diperlukan\par
- Anjurkan untuk membatasi konsumsi kafein di malam hari\par
\par
\b Catatan:\b0 Diagnosa ini memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk menegakkan faktor penyebab secara spesifik dan menyesuaikan intervensi sesuai dengan kondisi individu pasien.\par
} -
Article No. 21700 | 15 Sep 2025
Klinis : Defisit nutrisi b.d keengganan untuk makan d.d penurunan berat badan badan lebih dari 10 % dari rentang normal (D.0019)
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: \b\fs28 Diagnosa Keperawatan: Defisit Nutrisi b.d Keengganan untuk Makan d.d Penurunan Berat Badan Lebih dari 10% dari Rentang Normal (D.0019)
\b\fs24 \par
\b\fs20 \ul SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):\ul0
\b0\fs20 \tab Kode: D.0019\line
\tab \b Definisi:\b0 Keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalami asupan nutrisi yang tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik.\line
\tab \b Karakteristik Utama (d.d):\b0 Penurunan berat badan lebih dari 10% dari rentang normal.\line
\tab \b Faktor yang Berhubungan (b.d):\b0 Keengganan untuk makan.\par
\b\fs20 \ul SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):\ul0
\b0\fs20 \tab Kode: L.04018 - Status Nutrisi\line
\tab \b Definisi Luaran:\b0 Keparahan dari tanda dan gejala malnutrisi.\line
\tab \b Indikator dan Skala Luaran yang Relevan:\b0 \line
\tab\tab \b L.0401801 - Asupan makanan dan cairan:\b0 (1) Tidak adekuat -> (5) Sangat adekuat\line
\tab\tab \b L.0401803 - Berat badan:\b0 (1) Sangat tidak sesuai -> (5) Sangat sesuai dengan tinggi badan dan usia\line
\tab\tab \b L.0401804 - Keinginan untuk makan:\b0 (1) Tidak ada -> (5) Sangat kuat\line
\tab \b Tujuan:\b0 Meningkatkan skor pada indikator-indikator tersebut, menuju tingkat yang optimal (4 atau 5).\par
\b\fs20 \ul SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):\ul0
\b0\fs20 \tab Kode: I.11260 - Manajemen Nutrisi\line
\tab \b Definisi:\b0 Pemberian dukungan nutrisi melalui pola makan yang seimbang.\line
\tab \b Aktivitas Intervensi yang Relevan:\b0 \line
\tab\tab \b I.1126001:\b0 Kaji faktor penyebab keengganan untuk makan (misalnya, psikologis, fisiologis, atau lingkungan).\line
\tab\tab \b I.1126004:\b0 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan kebutuhan kalori dan jenis nutrisi yang sesuai.\line
\tab\tab \b I.1126010:\b0 Berikan makanan dalam porsi kecil namun sering.\line
\tab\tab \b I.1126013:\b0 Ciptakan lingkungan makan yang nyaman dan bebas distraksi.\line
\tab\tab \b I.1126020:\b0 Monitor asupan dan output nutrisi serta perubahan berat badan secara berkala.\line
\tab\tab \b I.1126024:\b0 Berikan pendidikan kesehatan tentang pentingnya nutrisi dan konsekuensi defisit nutrisi.\par
\b\fs20 \ul Penjelasan Singkat:\ul0
\b0\fs20 Diagnosa keperawatan ini menetapkan bahwa klien mengalami \b defisit nutrisi\b0 yang secara langsung \b berhubungan dengan (b.d)\b0 faktor psikologis atau perilaku, yaitu \b keengganan untuk makan\b0. Hal ini \b dibuktikan dengan (d.d)\b0 data objektif yang terukur, yaitu \b penurunan berat badan lebih dari 10% dari rentang normal\b0, yang merupakan indikator klinis signifikan dari malnutrisi. Pendekatan asuhan keperawatan difokuskan untuk mengatasi penyebab keengganan, meningkatkan asupan nutrisi, dan memulihkan status gizi klien melalui intervensi yang terstandarisasi.
\par
} -
Article No. 21685 | 14 Sep 2025
Klinis : DS: Pasien murung/diam dan tampak gelisah/tegang saat dikaji (dari pengkajian psikososial) Pasien mengalami risiko stres psikologis tinggi karena isolasi, demam tinggi, sakit kepala hebat, dan keterbatasan interaksi sosial Pasien tampak belum sepenuhnya memahami kondisinya, sehingga merasa tidak aman berada di rumah sakit DO: Menarik diri: pasien tampak lebih diam, murung, dan tidak banyak berinteraksi Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan lingkungan: pasien dalam kondisi isolasi, terbatas interaksi sosial Ekspresi afek: murung, tegang (indikator objektif SDKI ? afek datar/sedih).
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: \b\fs28 Diagnosa Keperawatan: Risiko Stres Berlebih (SDKI 00181)
\b\fs24 Penjelasan SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
\b0\fs24 Risiko Stres Berlebih didefinisikan sebagai kerentanan terhadap ketidakmampuan dalam mempertahankan homeostasis psikologis akibat respons adaptif yang tidak adekuat terhadap berbagai stimulus internal maupun eksternal, yang dapat mengganggu fungsi integratif dan kesejahteraan individu. Kondisi pasien yang murung, gelisah, tegang, serta adanya faktor risiko seperti isolasi, demam tinggi, sakit kepala hebat, dan keterbatasan interaksi sosial menjadi dasar klinis diagnosis ini.
\b\fs24 SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia) yang Relevan:
\b0\fs24
\tab SLKI 1401: \i Tingkat Stres\i0 - Pasien menunjukkan penurunan tanda-tanda distress psikologis dan fisiologis
\tab SLKI 1402: \i Koping\i0 - Pasien mampu mengidentifikasi dan menggunakan strategi koping adaptif
\tab SLKI 2001: \i Partisipasi dalam Interaksi Sosial\i0 - Pasien mulai menunjukkan minat dan kemampuan berinteraksi secara bertahap
\b\fs24 SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) yang Direkomendasikan:
\b0\fs24
\tab SIKI 4210: \i Manajemen Kecemasan\i0 - Meningkatkan kesadaran akan kecemasan dan mengajarkan teknik relaksasi
\tab SIKI 5270: \i Peningkatan Koping\i0 - Membantu mengidentifikasi kekuatan pribadi dan mendorong penggunaan mekanisme koping adaptif
\tab SIKI 7120: \i Dukungan Emosional\i0 - Memberikan empati, kehadiran, dan validasi terhadap perasaan pasien
\tab SIKI 7140: \i Pendidikan Kesehatan\i0 - Memberikan informasi yang jelas tentang kondisi kesehatan dan prosedur perawatan
\b\fs24 Catatan Klinis:
\b0\fs24 Kondisi isolasi dan keterbatasan pemahaman tentang penyakit memperberat risiko stres psikologis pada pasien. Pendekatan holistik yang memadukan dukungan emosional, edukasi kesehatan, dan strategi koping diperlukan untuk mencegah eskalsi distress dan meningkatkan kenyamanan psikologis pasien selama perawatan. -
Article No. 21686 | 14 Sep 2025
Klinis : DS: Pasien murung/diam dan tampak gelisah/tegang saat dikaji (dari pengkajian psikososial) Pasien mengalami risiko stres psikologis tinggi karena isolasi, demam tinggi, sakit kepala hebat, dan keterbatasan interaksi sosial Pasien tampak belum sepenuhnya memahami kondisinya, sehingga merasa tidak aman berada di rumah sakit DO: Menarik diri: pasien tampak lebih diam, murung, dan tidak banyak berinteraksi Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan lingkungan: pasien dalam kondisi isolasi, terbatas interaksi sosial Ekspresi afek: murung, tegang (indikator objektif SDKI ? afek datar/sedih).
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: \b
\fs24 \b DIAGNOSA KEPERAWATAN\b0 : Risiko Ketidakberdayaan (SDKI 2.3)
\b Definisi\b0 : Konderia di mana individu mengalami atau berisiko mengalami persepsi kurang kontrol terhadap situasi atau kejadian yang mempengaruhi hidupnya.
\b \line
\b SDKI (SLKI 2.3) - Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia\b0 - \i Risiko Ketidakberdayaan\i0
\b Kode\b0 : 2.3
\b \line
\b SLKI (SLKI 2.3) - Standar Luaran Keperawatan Indonesia\b0
\b Kode\b0 : 2.3
\b Luaran\b0 : Perilaku adaptif terhadap ketidakberdayaan
\b \b0 Indikator Luaran (NOC):
1. Mengekspresikan perasaan memiliki kendali atas situasi
2. Berpartisipasi dalam perawatan diri
3. Melaporkan penurunan perasaan tak berdaya
4. Mengidentifikasi pilihan yang tersedia
5. Menunjukkan kepatuhan terhadap regimen terapeutik
\b \line
\b SIKI (SIKI 2.3) - Standar Intervensi Keperawatan Indonesia\b0
\b Kode\b0 : 2.3
\b Intervensi\b0 : Pemberdayaan
\b \b0 Tindakan Keperawatan (NIC):
1. \b Bantu dalam mengidentifikasi area yang dapat dikendalikan\b0 : Diskusikan aspek-aspek perawatan dan situasi yang masih dapat dipengaruhi atau diputuskan oleh pasien.
2. \b Fasilitasi pengambilan keputusan\b0 : Libatkan pasien dalam menetapkan tujuan dan membuat keputusan tentang perawatannya.
3. \b Berikan informasi tentang penyakit, prognosis, dan perawatan\b0 : Jelaskan kondisi kesehatan, prosedur isolasi, dan rencana perawatan dengan bahasa yang mudah dipahami untuk mengurangi kecemasan akibat ketidaktahuan.
4. \b Ajarkan strategi koping yang adaptif\b0 : Anjurkan teknik relaksasi sederhana (contoh: napas dalam) untuk mengelola perasaan tegang dan gelisah.
5. \b Kolaborasi untuk manajemen gejala\b0 : Kolaborasi dengan tim medis untuk pengelolaan demam tinggi dan sakit kepala hebat, yang merupakan sumber stres fisik dan psikologis.
6. \b Fasilitasi komunikasi untuk mengurangi isolasi sosial\b0 : Manfaatkan teknologi (jika memungkinkan dan sesuai protokol) untuk mempertahankan interaksi dengan keluarga, mengurangi dampak isolasi fisik.
\b \line
\b Penjelasan Singkat\b0 : Data subjektif dan objektif (murung, tegang, menarik diri, dan ketidaktahuan tentang kondisinya) menunjukkan bahwa pasien berada dalam situasi yang dirasakan di luar kendalinya. Faktor-faktor seperti isolasi, gejala fisik yang tidak nyaman (demam, sakit kepala), dan keterbatasan interaksi sosial secara signifikan meningkatkan risiko pasien untuk mengalami ketidakberdayaan, yaitu perasaan tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian yang mempengaruhi dirinya. Fokus intervensi adalah pada pemberian informasi, pengambilan keputusan bersama, dan manajemen gejala untuk mengembalikan rasa kontrol dan keamanan pada pasien.
\par
} -
Article No. 21676 | 13 Sep 2025
Klinis : pasien mengatakan mendengar bisikan, jarang mandi, ada riawng lainat memukul ora
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: \rtf1\ansi\ansicpg1252\deff0\nouicompat\deflang1033{\fonttbl{\f0\fnil\fcharset0 Calibri;}}
{\colortbl ;\red0\green0\blue0;}
{\*\generator Riched20 10.0.22621}\viewkind4\uc1
\pard\nowidctlpar\sa200\sl276\slmult1\cf1\f0\fs22\lang1057 Berdasarkan data klinis yang disampaikan, berikut adalah diagnosa keperawatan beserta penjelasan singkat SDKI, SLKI, dan SIKI sesuai standar Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI):\par
\b DIAGNOSA KEPERAWATAN:\b0 \par
\b Risiko Cedera\b0 berhubungan dengan persepsi sensorik halusinasi pendengaran dan riwayat perilaku kekerasan (Kode: 0021)\par
\b SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia):\b0 \par
Definisi: Respon individu yang mengalami atau berisiko mengalami cedera fisik akibat interaksi dengan sumber energi (termasuk lingkungan) yang melebihi kapasitas adaptifnya.\par
Karakteristik Mayor: Perilaku berisiko (riwayat memukul orang lain), gangguan persepsi sensorik (mendengar bisikan/halusinasi pendengaran).\par
\b SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):\b0 \par
Kode: 1901 - \i Safety Status: Physical Injury\i0 \par
Indikator:\par
190101 - Tidak menunjukkan perilaku kekerasan\par
190103 - Mengontrol impuls\par
190106 - Menggunakan strategi koping adaptif\par
190108 - Lingkungan fisik aman\par
\b SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):\b0 \par
Kode: 6460 - \i Manajemen Halusinasi\i0 \par
Aktivitas:\par
- Monitor frekuensi, intensitas, dan respons terhadap halusinasi\par
- Bantu klien mengidentifikasi pemicu halusinasi\par
- Ajarkan teknik distraksi (misal: mendengarkan musik)\par
- Kolaborasi pemberian terapi farmakologi sesuai resep\par
Kode: 6480 - \i Manajemen Kekerasan\i0 \par
Aktivitas:\par
- Identifikasi faktor pemicu perilaku kekerasan\par
- Pertahankan lingkungan yang aman dan tenang\par
- Ajarkan teknik kontrol impuls\par
- Kolaborasi dalam terapi perilaku jika diperlukan\par
Kode: 1610 - \i Promosi Kemandirian Perawatan Diri\i0 \par
Aktivitas:\par
- Bantu klien mengidentifikasi hambatan mandi\par
- Buat jadwal rutin aktivitas mandi\par
- Berikan reinforcement positif untuk kemandirian\par
\par
\i Catatan: Asesmen lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi faktor penyebab dan menentukan intervensi yang tepat sesuai kondisi spesifik pasien.\i0\par
} -
Article No. 21677 | 13 Sep 2025
Klinis : pasien tn. A mengalami halusinasi pendengaran, sering malamun dan mondar mandir. paien ada riwayat memukul orangg lain dan bicara sendiri
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: \b\fs28 DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN\b0\fs24
\par
\b 1. Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran (Kode: 0049)\b0
\par
\b Penjelasan SDKI:\b0 Gangguan dalam persepsi sensori yang ditandai dengan respons terhadap stimulus yang tidak ada (halusinasi pendengaran), perilaku mondar-mandir, serta bicara sendiri yang mengindikasikan ketidakmampuan membedakan rangsangan internal dan eksternal.
\par
\b SLKI:\b0
\par - Klien dapat mengidentifikasi stimulus halusinasi (Kode: 4601)
\par - Klien dapat mengontrol halusinasi (Kode: 4602)
\par - Klien berpartisipasi dalam aktivitas terapeutik (Kode: 4604)
\par
\b SIKI:\b0
\par - Observasi perilaku halusinasi (Kode: 6601)
\par - Kolaborasi pemberian terapi farmakologi (Kode: 6602)
\par - Latihan kontrol halusinasi (Kode: 6603)
\par - Terapi aktivitas kelompok (Kode: 6605)
\par
\b 2. Perilaku Kekerasan (Kode: 0014)\b0
\par
\b Penjelasan SDKI:\b0 Perilaku menyakiti diri sendiri atau orang lain yang ditandai dengan riwayat memukul orang lain, bicara sendiri dengan afek tidak sesuai, serta potensi agresivitas yang meningkat.
\par
\b SLKI:\b0
\par - Klien dapat mengidentifikasi pemicu perilaku kekerasan (Kode: 1402)
\par - Klien dapat mengontrol perilaku impulsif (Kode: 1403)
\par - Klien menggunakan strategi koping adaptif (Kode: 1404)
\par
\b SIKI:\b0
\par - Observasi tanda-tanda agresivitas (Kode: 6402)
\par - Latihan pengendalian amarah (Kode: 6403)
\par - Manajemen lingkungan yang aman (Kode: 6404)
\par - Kolaborasi restriksi fisik (Kode: 6405)
\par
\b 3. Isolasi Sosial (Kode: 0004)\b0
\par
\b Penjelasan SDKI:\b0 Penarikan diri dari interaksi sosial yang ditandai dengan sering murung (malamun), mondar-mandir tanpa tujuan, serta ketidakmampuan berkomunikasi secara adaptif dengan lingkungan.
\par
\b SLKI:\b0
\par - Klien berpartisipasi dalam interaksi sosial (Kode: 0402)
\par - Klien meningkatkan kontak mata dalam berkomunikasi (Kode: 0403)
\par - Klien mengungkapkan perasaan dalam interaksi (Kode: 0404)
\par
\b SIKI:\b0
\par - Latihan keterampilan sosial (Kode: 6002)
\par - Terapi aktivitas kelompok terstruktur (Kode: 6003)
\par - Fasilitasi komunikasi terapeutik (Kode: 6004)
\par
\par
\b Catatan:\b0 Diagnosa keperawatan disusun berdasarkan data fokus dan memerlukan validasi lebih lanjut melalui pengkajian komprehensif sesuai standar asuhan keperawatan jiwa. Intervensi keperawatan harus disesuaikan dengan kondisi spesifik pasien dan selalu mempertimbangkan keselamatan pasien serta lingkungan.
\par
\par
\b Referensi:\b0 PPNI (2017). \i Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik\i0 . Jakarta: Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
\par
PPNI (2018). \i Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Aktivitas Keperawatan\i0 . Jakarta: Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
\par
PPNI (2019). \i Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil\i0 . Jakarta: Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
}