Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 21918 | 03 Oct 2025
Klinis : pasien mengeluh sesak nafas sejak 2 hari' riwayat efusi post pungsi 2 minggu lalu
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10:
Kondisi: Efusi Pleura
Kode ICD-10: J90
Deskripsi Singkat : Efusi pleura adalah kondisi medis yang ditandai dengan penumpukan cairan berlebih di dalam rongga pleura, yaitu ruang tipis di antara paru-paru dan dinding dada. Akumulasi cairan ini menekan paru-paru, sehingga membatasi kemampuannya untuk mengembang sepenuhnya saat bernapas dan menyebabkan gejala utama berupa sesak napas (dispnea). Riwayat "post pungsi" menunjukkan bahwa efusi ini kemungkinan merupakan komplikasi dari prosedur medis sebelumnya. Kode ICD-10 **J90** digunakan untuk mengklasifikasikan "Efusi pleura, tidak diklasifikasikan di tempat lain". Kode ini tepat digunakan ketika efusi pleura diidentifikasi sebagai diagnosis utama dan tidak disebabkan oleh kondisi lain yang lebih spesifik (seperti tuberkulosis atau keganasan) yang memiliki kode tersendiri.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti kodifikasi resmi oleh profesional medis.***
-
Article No. 21919 | 03 Oct 2025
Klinis : pasien mengeluh sesak nafas sejak 2 hari' riwayat efusi post pungsi 2 minggu lalu
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.
-
Article No. 21920 | 03 Oct 2025
Klinis : pasien mengeluh sesak nafas sejak 2 hari' riwayat efusi post pungsi 2 minggu lalu
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Pola Napas Tidak Efektif
Kode SDKI: D.0005
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Pola Napas Tidak Efektif didefinisikan sebagai proses inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi yang adekuat bagi tubuh. Kondisi ini merupakan salah satu diagnosis keperawatan yang paling fundamental dalam kategori respirasi, karena pernapasan adalah fungsi vital yang menopang kehidupan. Kegagalan dalam mempertahankan pola napas yang efektif dapat secara cepat menyebabkan komplikasi serius seperti hipoksemia (kadar oksigen darah rendah), hiperkapnia (kadar karbon dioksida darah tinggi), dan asidosis respiratorik, yang pada akhirnya dapat mengancam jiwa. Diagnosis ini tidak berfokus pada penyakit yang mendasarinya,
Article No. 21879 | 02 Oct 2025
Klinis : Ds : Keluarga pasien mengatakan rutin HD senin kamis Do : Hipertensi (TD?) Leukosit : 11.2 Hemoglobin : 10.1 Trombosit : 241 Kreatinin : 3.73 Ureum : 61.0 Natrium (Na) : 134 Kalium (K) : 3.7
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10:
Kondisi: Penyakit Ginjal Tahap Akhir (End-Stage Renal Disease)
Kode ICD-10: N18.6
Deskripsi Singkat : Penyakit Ginjal Tahap Akhir atau End-Stage Renal Disease (ESRD) adalah tahap paling parah dari penyakit ginjal kronis, di mana fungsi ginjal telah menurun ke titik di mana ginjal tidak lagi dapat bekerja secara efektif untuk menopang kehidupan. Kondisi ini ditandai dengan ketidakmampuan ginjal menyaring limbah dan kelebihan cairan dari darah. Keterangan pasien yang menjalani hemodialisis (HD) rutin adalah indikator utama perlunya terapi pengganti ginjal, yang merupakan standar penanganan untuk ESRD. Hasil laboratorium mendukung diagnosis ini, dengan kadar kreatinin (3.73 mg/dL) dan ureum (61.0 mg/dL) yang sangat tinggi, menunjukkan penumpukan produk limbah dalam darah. Kadar hemoglobin yang rendah (10.1 g/dL) juga menunjukkan anemia, komplikasi umum dari gagal ginjal kronis. Kode ICD-10 N18.6 secara spesifik digunakan untuk mengklasifikasikan Penyakit Ginjal Tahap Akhir.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti kodifikasi resmi oleh profesional medis.***
Article No. 21880 | 02 Oct 2025
Klinis : Ds : Keluarga pasien mengatakan rutin HD senin kamis Do : Hipertensi (TD?) Leukosit : 11.2 Hemoglobin : 10.1 Trombosit : 241 Kreatinin : 3.73 Ureum : 61.0 Natrium (Na) : 134 Kalium (K) : 3.7
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Hipervolemia
Kode SDKI: D.0022
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Hipervolemia, atau kelebihan volume cairan, adalah suatu kondisi klinis yang ditandai dengan peningkatan volume cairan intravaskular, interstisial, dan/atau intraselular. Kondisi ini sering kali merupakan manifestasi dari gangguan mekanisme regulasi cairan tubuh, terutama yang melibatkan ginjal, jantung, dan sistem hormonal. Pada pasien dengan riwayat penyakit ginjal kronis (PGK) yang menjalani hemodialisis (HD) rutin, hipervolemia adalah masalah yang sangat umum dan menjadi fokus utama dalam manajemen keperawatan. Ginjal yang sehat memainkan peran krusial dalam menyaring produk sisa metabolisme seperti ureum dan kreatinin dari darah, serta mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dengan memproduksi urin. Ketika fungsi ginjal menurun secara progresif seperti pada PGK, kemampuan tubuh untuk mengeluarkan kelebihan cairan dan zat terlarut menjadi sangat terganggu. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan dan produk sisa metabolik dalam tubuh, yang dikenal sebagai uremia.
Data yang disajikan menunjukkan gambaran klasik pasien PGK stadium akhir. Nilai kreatinin (3.73 mg/dL) dan ureum (61.0 mg/dL) yang tinggi secara signifikan mengkonfirmasi adanya penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang parah, yang merupakan ciri khas gagal ginjal. Tubuh tidak lagi mampu menyaring produk limbah ini secara efektif, sehingga kadarnya meningkat dalam darah. Kebutuhan akan hemodialisis rutin (Senin dan Kamis) adalah bukti lebih lanjut bahwa fungsi ginjal endogen pasien sudah tidak memadai untuk menopang kehidupan, sehingga diperlukan terapi pengganti ginjal untuk membersihkan darah dan mengeluarkan kelebihan cairan.
Hipertensi adalah temuan yang sangat umum pada pasien PGK dan sering kali berhubungan langsung dengan hipervolemia. Akumulasi cairan meningkatkan volume darah total (volume intravaskular), yang pada gilirannya meningkatkan beban kerja jantung dan menaikkan tekanan darah. Ini adalah lingkaran setan, karena hipertensi yang tidak terkontrol juga dapat mempercepat kerusakan ginjal lebih lanjut. Oleh karena itu, mengelola volume cairan adalah kunci untuk mengontrol tekanan darah pada populasi pasien ini.
Nilai hemoglobin yang rendah (10.1 g/dL) menunjukkan adanya anemia, yang juga merupakan komplikasi umum dari PGK. Ginjal yang rusak gagal memproduksi eritropoietin (EPO) dalam jumlah yang cukup, yaitu hormon yang merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Anemia ini dapat memperburuk gejala seperti kelelahan dan intoleransi aktivitas. Sementara itu, nilai natrium yang sedikit rendah (134 mEq/L) bisa jadi merupakan 'hiponatremia dilusional', di mana konsentrasi natrium tampak rendah karena diencerkan oleh volume air yang berlebihan dalam tubuh, bukan karena kekurangan natrium absolut.
Secara klinis, perawat harus waspada terhadap tanda dan gejala hipervolemia pada pasien HD, terutama pada periode antar-dialisis. Tanda-tanda ini meliputi peningkatan berat badan yang signifikan antara sesi HD, edema perifer (pembengkakan pada kaki, pergelangan kaki, dan tangan), distensi vena jugularis (JVP meningkat), dan pada kasus yang parah, dapat terjadi edema paru yang ditandai dengan sesak napas (dispnea), ortopnea (sesak saat berbaring), dan terdengarnya suara napas tambahan (ronkhi basah). Manajemen keperawatan untuk hipervolemia pada pasien ini berpusat pada pemantauan ketat terhadap status cairan, edukasi pasien mengenai pembatasan asupan cairan dan natrium, serta memastikan kepatuhan terhadap jadwal hemodialisis yang telah ditentukan untuk mengeluarkan akumulasi cairan secara efektif.Kode SLKI: L.03020
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan Keseimbangan Cairan meningkat dengan kriteria hasil:
- Edema perifer menurun.
- Tekanan darah membaik ke rentang normal.
- Berat badan stabil (tidak ada penambahan berat badan signifikan antar sesi dialisis).
- Asupan dan haluaran cairan seimbang (dengan memperhitungkan haluaran melalui HD).
- Tidak ada tanda-tanda kongesti paru (misalnya, suara napas bersih, tidak ada dispnea).
- Kadar natrium serum membaik.
Kode SIKI: I.03114
Intervensi Utama: Manajemen Hipervolemia
Observasi:
- Periksa tanda dan gejala hipervolemia (mis., edema perifer, edema anasarka, peningkatan JVP, suara napas tambahan, dispnea).
- Monitor intake dan output cairan secara cermat setiap hari.
- Monitor berat badan harian pada waktu yang sama dan dengan pakaian yang sama untuk mendeteksi penambahan cairan.
- Monitor hasil laboratorium yang relevan dengan retensi cairan (mis., kadar ureum, kreatinin, natrium, dan hematokrit).
- Monitor status hemodinamik, terutama tekanan darah sebelum dan sesudah sesi hemodialisis.
Terapeutik:
- Batasi asupan cairan sesuai dengan program terapi (biasanya disesuaikan dengan haluaran urin residu ditambah 500-800 mL untuk insensible water loss).
- Batasi asupan garam untuk mengurangi rasa haus dan retensi cairan.
- Posisikan kepala tempat tidur lebih tinggi (semi-Fowler) untuk membantu mengurangi sesak napas jika ada.
Edukasi:
- Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya pembatasan cairan dan diet rendah garam.
- Ajarkan cara mengukur asupan cairan harian, termasuk cairan dari makanan (seperti sup, es, buah berair).
- Anjurkan untuk segera melapor jika terjadi peningkatan berat badan lebih dari 1-1.5 kg per hari atau jika mengalami sesak napas yang memburuk.
Kolaborasi:
- Kolaborasi dengan tim medis dan unit hemodialisis dalam menentukan target berat badan kering (dry weight) dan jumlah cairan yang akan ditarik (ultrafiltrasi) selama sesi hemodialisis.
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk merencanakan diet rendah garam dan fosfor yang sesuai dengan kondisi pasien.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti diagnosis atau kodifikasi resmi.***
-
Article No. 21881 | 02 Oct 2025
Klinis : Ds : Keluarga pasien mengatakan rutin HD senin kamis Do : Hipertensi (TD?) Leukosit : 11.2 Hemoglobin : 10.1 Trombosit : 241 Kreatinin : 3.73 Ureum : 61.0 Natrium (Na) : 134 Kalium (K) : 3.7 Risiko Perfusi Renal Tidak Efektif
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Risiko Perfusi Renal Tidak Efektif
Kode SDKI: D.0016
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Risiko Perfusi Renal Tidak Efektif didefinisikan sebagai kondisi berisiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke ginjal yang dapat mengganggu fungsi organ tersebut. Ginjal merupakan organ vital yang berfungsi menyaring produk sisa metabolisme dari darah, meregulasi keseimbangan cairan dan elektrolit, mengontrol tekanan darah, serta memproduksi hormon penting seperti eritropoietin. Untuk menjalankan fungsi-fungsi ini, ginjal memerlukan aliran darah (perfusi) yang adekuat dan konstan, yaitu sekitar 20-25% dari total curah jantung. Penurunan perfusi, baik secara akut maupun kronis, dapat menyebabkan kerusakan sel-sel ginjal (nefron) dan berujung pada gagal ginjal.
Kondisi pasien yang menjalani hemodialisis (HD) rutin dua kali seminggu, seperti yang disebutkan dalam data, merupakan indikasi kuat adanya Penyakit Ginjal Kronis (PGK) stadium akhir (End-Stage Renal Disease/ESRD). Pada tahap ini, ginjal telah kehilangan sebagian besar atau seluruh fungsinya secara permanen. Risiko perfusi renal tidak efektif pada pasien ini bersifat kronis dan menjadi penyebab utama mengapa terapi pengganti ginjal seperti HD diperlukan. Faktor risiko utama yang berkontribusi pada kondisi ini adalah hipertensi. Hipertensi yang tidak terkontrol menyebabkan tekanan tinggi pada arteri renalis dan glomerulus. Seiring waktu, tekanan ini merusak pembuluh darah kecil di dalam ginjal, menyebabkan sklerosis (pengerasan) dan penyempitan, yang secara langsung mengurangi aliran darah ke nefron. Proses ini bersifat progresif; kerusakan ginjal akan memperburuk hipertensi (karena ginjal tidak mampu meregulasi volume cairan dan tekanan darah secara efektif), dan hipertensi yang memburuk akan semakin merusak ginjal, menciptakan sebuah siklus yang merusak.
Data laboratorium yang disajikan semakin memperkuat diagnosis dan menggambarkan dampak dari perfusi renal yang tidak efektif secara kronis. Kadar kreatinin (3.73 mg/dL) dan ureum (61.0 mg/dL) yang tinggi adalah penanda klasik penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Kreatinin adalah produk sisa dari metabolisme otot, sementara ureum adalah produk akhir dari metabolisme protein. Dalam kondisi normal, ginjal yang sehat akan menyaring dan membuang zat-zat ini dari darah. Ketika perfusi renal menurun, kemampuan filtrasi ginjal juga menurun, sehingga kreatinin dan ureum terakumulasi dalam darah, menyebabkan kondisi yang disebut uremia. Gejala uremia dapat mencakup mual, kelelahan, dan kebingungan.
Kadar hemoglobin yang rendah (10.1 g/dL) menunjukkan adanya anemia, yang merupakan komplikasi umum pada pasien PGK. Anemia ini terutama disebabkan oleh produksi hormon eritropoietin (EPO) yang tidak memadai oleh ginjal yang rusak. EPO berfungsi merangsang sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Tanpa EPO yang cukup, produksi sel darah merah menurun, menyebabkan anemia. Anemia ini selanjutnya dapat memperburuk kondisi umum pasien, menyebabkan kelemahan, sesak napas, dan penurunan toleransi aktivitas.
Kadar leukosit yang sedikit meningkat (11.2 x 10^3/μL) bisa mengindikasikan adanya proses inflamasi kronis tingkat rendah yang sering terjadi pada pasien PGK dan uremia, atau bisa juga menjadi tanda adanya infeksi yang harus diwaspadai, terutama pada pasien dengan akses vaskular untuk HD. Kadar natrium yang sedikit rendah (134 mEq/L) atau hiponatremia dilusional dapat terjadi akibat ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan air secara efektif, yang menyebabkan retensi cairan dan pengenceran natrium dalam darah.
Secara keseluruhan, diagnosis Risiko Perfusi Renal Tidak Efektif pada pasien ini mencerminkan proses patofisiologis yang mendasari penyakit ginjal kronisnya. Meskipun hemodialisis berfungsi untuk menggantikan fungsi filtrasi ginjal yang hilang, risiko terhadap sisa fungsi ginjal (jika masih ada) dan komplikasi sistemik akibat perfusi yang buruk tetap ada. Intervensi keperawatan harus berfokus pada pengelolaan faktor-faktor yang dapat memperburuk kondisi, seperti mengontrol tekanan darah, mengelola keseimbangan cairan dan elektrolit secara cermat di antara sesi dialisis, memantau tanda-tanda kelebihan atau kekurangan cairan, serta memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya kepatuhan terhadap diet, pembatasan cairan, dan jadwal pengobatan serta dialisis.Kode SLKI: L.02012
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan Perfusi Renal dapat dipertahankan secara optimal.
Kriteria Hasil:
- Keseimbangan cairan meningkat
- Tekanan darah sistolik membaik
- Tekanan darah diastolik membaik
- Kadar kreatinin serum membaik
- Kadar ureum serum membaik
- Kadar hemoglobin membaik
- Kadar leukosit membaik
- Edema perifer menurun
- Kelelahan menurun
Kode SIKI: I.03119
Intervensi Utama: Manajemen Cairan (I.03119)
Observasi
- Monitor status hidrasi (mis. frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral, turgor kulit, tekanan darah).
- Monitor berat badan harian sebelum dan sesudah hemodialisis.
- Monitor hasil pemeriksaan laboratorium untuk memantau perubahan kadar elektrolit, ureum, dan kreatinin.
- Monitor tanda dan gejala hipervolemia (mis. edema, distensi vena jugularis, sesak napas) dan hipovolemia (mis. hipotensi ortostatik, takikardia, turgor kulit menurun).
Terapeutik
- Catat asupan (intake) dan keluaran (output) cairan secara akurat.
- Batasi asupan cairan sesuai dengan anjuran medis, terutama pada periode antar-dialisis.
Edukasi
- Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya pembatasan cairan untuk mencegah komplikasi seperti edema paru dan hipertensi berat.
- Anjurkan cara mengelola rasa haus (mis. mengisap es batu, permen asam, berkumur dengan air dingin).
- Anjurkan untuk menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama dan dengan pakaian yang sama untuk memantau status cairan.
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi (mis. antihipertensi, diuretik jika masih ada sisa fungsi ginjal).
- Kolaborasi dengan tim hemodialisis untuk menentukan target berat badan kering (dry weight) dan jumlah cairan yang akan ditarik selama prosedur dialisis.
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk merencanakan diet rendah garam, rendah kalium, dan rendah fosfor sesuai kondisi pasien.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti diagnosis atau kodifikasi resmi.***
-
Article No. 21882 | 02 Oct 2025
Klinis : Ds : Keluarga pasien mengatakan rutin HD senin kamis Do : Hipertensi (TD?) Leukosit : 11.2 Hemoglobin : 10.1 Trombosit : 241 Kreatinin : 3.73 Ureum : 61.0 Natrium (Na) : 134 Kalium (K) : 3.7 Risiko Perfusi Renal Tidak Efektif bagaimana jika SIKI nya pencegahan syok dan manajemen asam basa: asidosis metabolik
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Risiko Perfusi Renal Tidak Efektif
Kode SDKI: D.0016
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Risiko Perfusi Renal Tidak Efektif adalah diagnosis keperawatan yang didefinisikan sebagai kondisi berisiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke ginjal. Kondisi ini bukan merupakan penyakit itu sendiri, melainkan sebuah kerentanan yang dapat memicu atau memperburuk kerusakan ginjal akibat aliran darah yang tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik organ tersebut. Ginjal merupakan organ vital yang sangat bergantung pada perfusi yang cukup untuk menjalankan fungsi-fungsi krusialnya, termasuk filtrasi darah untuk membuang produk sisa metabolisme (seperti ureum dan kreatinin), menyeimbangkan cairan dan elektrolit, mengatur tekanan darah melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron, serta memproduksi hormon penting seperti eritropoietin untuk pembentukan sel darah merah. Penurunan perfusi, bahkan dalam jangka pendek, dapat menyebabkan cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury/AKI), sementara penurunan perfusi kronis akan mengakselerasi progresivitas penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease/CKD) menuju tahap akhir (End-Stage Renal Disease/ESRD).
Berdasarkan data yang disajikan, pasien ini memiliki beberapa faktor risiko signifikan yang mendukung penegakan diagnosis ini. Pertama, riwayat hemodialisis (HD) rutin menunjukkan bahwa pasien telah menderita gagal ginjal tahap akhir. Pada kondisi ini, fungsi ginjal sudah sangat minimal atau bahkan tidak ada sama sekali, dan struktur vaskular ginjal sering kali sudah mengalami kerusakan (nefrosklerosis). Hal ini membuat sisa jaringan ginjal yang mungkin masih berfungsi menjadi sangat rentan terhadap perubahan hemodinamik sekecil apa pun. Kedua, adanya hipertensi merupakan faktor risiko utama. Hipertensi yang tidak terkontrol dalam jangka panjang menyebabkan kerusakan pada arteriol aferen dan eferen di glomerulus, mengakibatkan penebalan dinding pembuluh darah dan penurunan aliran darah. Ini menciptakan siklus yang merusak: kerusakan ginjal menyebabkan hipertensi, dan hipertensi memperburuk kerusakan ginjal, yang pada akhirnya semakin mengganggu perfusi renal.
Analisis data laboratorium lebih lanjut memperkuat risiko ini. Kadar kreatinin (3.73 mg/dL) dan ureum (61.0 mg/dL) yang tinggi adalah indikator langsung dari penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), yang merupakan konsekuensi dari kerusakan ginjal dan perfusi yang buruk. Kadar hemoglobin yang rendah (10.1 g/dL) atau anemia merupakan kondisi umum pada pasien CKD karena ginjal yang rusak tidak mampu memproduksi eritropoietin dalam jumlah yang cukup. Anemia mengurangi kapasitas angkut oksigen dalam darah, yang berarti meskipun volume aliran darah ke ginjal mungkin ada, jumlah oksigen yang dihantarkan ke jaringan ginjal tetap tidak mencukupi, sehingga memperparah kondisi hipoksia renal. Selain itu, leukositosis (11.200/µL) dapat mengindikasikan adanya proses inflamasi atau infeksi sistemik. Kondisi seperti sepsis dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik, penurunan tekanan darah (hipotensi), dan pelepasan mediator inflamasi yang dapat secara langsung merusak sel-sel ginjal dan secara drastis mengurangi perfusi renal, memicu episode AKI di atas CKD (acute-on-chronic).
Keseimbangan cairan dan elektrolit juga memainkan peran penting. Meskipun kadar natrium (134 mEq/L) dan kalium (3.7 mEq/L) saat ini tampak relatif terkontrol (kemungkinan karena efek HD), pasien CKD sangat rentan terhadap pergeseran cairan dan elektrolit yang cepat. Dehidrasi akibat asupan yang tidak adekuat atau kehilangan cairan berlebih dapat menyebabkan hipovolemia dan penurunan perfusi renal. Sebaliknya, kelebihan cairan (hipervolemia) dapat menyebabkan edema dan peningkatan beban kerja jantung, yang jika mengarah pada gagal jantung, juga akan menurunkan curah jantung dan perfusi ke organ-organ vital, termasuk ginjal. Oleh karena itu, peran perawat dalam mengelola risiko ini sangat krusial, mencakup pemantauan ketat terhadap status hemodinamik (tekanan darah, frekuensi nadi), keseimbangan cairan (intake, output, berat badan harian), tanda-tanda infeksi, serta hasil laboratorium. Intervensi yang tepat waktu untuk mengelola tekanan darah, mengoreksi anemia, mengatasi infeksi, dan menjaga keseimbangan cairan adalah kunci untuk mencegah penurunan perfusi renal lebih lanjut dan mempertahankan sisa fungsi ginjal selama mungkin.Kode SLKI: L.02012
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan Perfusi Renal meningkat dengan kriteria hasil:
- Tekanan darah sistolik dalam rentang target individu (misal: <140 mmHg).
- Tekanan darah diastolik dalam rentang target individu (misal: <90 mmHg).
- Keseimbangan intake dan output cairan dalam 24 jam.
- Kadar kreatinin serum tidak memburuk atau stabil.
- Kadar ureum serum tidak memburuk atau stabil.
- Edema perifer dan anasarka menurun atau tidak ada.
- Tidak ada tanda-tanda syok (misal: akral dingin, pucat, penurunan kesadaran).Kode SIKI: I.02028 dan I.03019
Intervensi Utama: 1. Pencegahan Syok (I.02028)
Observasi:
- Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi, frekuensi napas, tekanan darah, MAP).
- Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, analisis gas darah).
- Monitor tingkat kesadaran dan respons pupil.
- Monitor intake dan output cairan, serta berat badan harian.
- Periksa riwayat alergi.
Terapeutik:
- Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >94%.
- Pasang jalur IV untuk kesiapan akses vaskular.
- Berikan posisi syok (modified Trendelenburg) jika terjadi hipotensi.
Edukasi:
- Jelaskan penyebab/faktor risiko syok kepada pasien dan keluarga.
- Jelaskan tanda dan gejala awal syok (misal: lemas, pusing, pucat, keringat dingin).
- Anjurkan untuk segera melapor jika mengalami tanda dan gejala awal syok.
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian cairan intravena (misal: kristaloid) jika terjadi hipovolemia.
- Kolaborasi pemberian obat-obatan untuk menstabilkan hemodinamik (misal: vasopresor, inotropik).
- Kolaborasi pemberian transfusi darah jika diindikasikan (misal: perdarahan aktif, anemia berat).
2. Manajemen Asam Basa: Asidosis Metabolik (I.03019)
Observasi:
- Identifikasi penyebab asidosis metabolik (dalam kasus ini: gagal ginjal).
- Monitor hasil gas darah arteri dan kadar elektrolit.
- Monitor frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan (waspadai pernapasan Kussmaul).
- Monitor tanda dan gejala penurunan pH (misal: disorientasi, kelemahan otot, mual, muntah).
Terapeutik:
- Pertahankan kepatenan jalan napas.
- Berikan posisi semi-Fowler atau Fowler untuk memaksimalkan ekspansi paru.
Edukasi:
- Anjurkan pasien dan keluarga untuk mematuhi jadwal hemodialisis yang telah ditentukan.
- Jelaskan pentingnya diet rendah protein dan fosfat sesuai anjuran ahli gizi.
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian natrium bikarbonat intravena sesuai indikasi.
- Kolaborasi dengan tim medis untuk penatalaksanaan penyebab utama, yaitu melalui hemodialisis yang adekuat untuk mengoreksi asidosis.***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti diagnosis atau kodifikasi resmi.***
-
Article No. 21883 | 02 Oct 2025
Klinis : pasien berumur 4 tahun terpasang capd, tangan kaki bengkak, pasien dibawa ke rs karena demam dan batuk, akan tetapi saat pengkajian demam dan batuk sudah mulai sembuh
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Hipervolemia
Kode SDKI: D.0022
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Hipervolemia, atau kelebihan volume cairan, adalah suatu kondisi klinis yang didefinisikan sebagai peningkatan volume cairan intravaskular, interstisial, dan/atau intraselular. Kondisi ini terjadi ketika mekanisme regulasi tubuh gagal mempertahankan homeostasis cairan, menyebabkan retensi abnormal air dan natrium. Pada pasien anak berusia 4 tahun yang menjalani Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), hipervolemia merupakan komplikasi yang sering terjadi dan menjadi fokus utama dalam manajemen keperawatan. Ketergantungan pada dialisis menandakan adanya kegagalan fungsi ginjal yang signifikan (penyakit ginjal kronis stadium akhir), di mana ginjal tidak lagi mampu menyaring produk sisa metabolisme dan menyeimbangkan volume cairan serta elektrolit secara efektif.
Patofisiologi:
Mekanisme utama terjadinya hipervolemia pada pasien gagal ginjal adalah ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan natrium dan air. Dalam kondisi normal, ginjal akan menyesuaikan jumlah ekskresi urin untuk menjaga volume cairan tubuh tetap stabil. Ketika fungsi ginjal menurun drastis, laju filtrasi glomerulus (LFG) akan turun, menyebabkan penumpukan natrium. Retensi natrium ini akan menarik air, sehingga volume cairan ekstraseluler (baik di dalam pembuluh darah maupun di ruang interstisial) meningkat. Peningkatan volume intravaskular akan menaikkan tekanan hidrostatik kapiler. Ketika tekanan ini melebihi tekanan onkotik plasma, cairan akan berpindah dari pembuluh darah ke jaringan interstisial, yang secara klinis terlihat sebagai edema. Pada kasus ini, manifestasi "tangan kaki bengkak" adalah tanda klasik dari edema perifer akibat pergeseran cairan tersebut. Selain itu, kelebihan volume cairan dapat membebani sistem kardiovaskular, meningkatkan preload jantung, dan berisiko menyebabkan hipertensi, edema paru, hingga gagal jantung kongestif. CAPD bertujuan untuk menggantikan fungsi ginjal ini dengan membuang kelebihan cairan dan zat sisa melalui membran peritoneum, namun ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan, kesalahan dalam resep dialisis, atau kondisi komorbid seperti infeksi (demam dan batuk) dapat mengganggu keseimbangan ini dan memicu episode hipervolemia akut.
Penyebab dan Faktor Risiko:
Penyebab utama pada pasien ini adalah gangguan mekanisme regulasi akibat gagal ginjal kronis. Faktor-faktor lain yang dapat memperburuk kondisi ini meliputi:
- Kelebihan Asupan Cairan: Anak-anak mungkin sulit untuk mematuhi pembatasan cairan yang ketat. Asupan cairan yang melebihi kemampuan pengeluaran melalui dialisis akan menyebabkan akumulasi cairan.
- Kelebihan Asupan Natrium: Konsumsi makanan tinggi garam akan meningkatkan rasa haus dan menyebabkan retensi air lebih lanjut.
- Gangguan pada Proses Dialisis: Masalah pada kateter CAPD, peritonitis, atau resep dialisat yang tidak adekuat dapat mengurangi efektivitas pengeluaran cairan (ultrafiltrasi).
- Kondisi Komorbid: Penyakit seperti gagal jantung atau sirosis hati juga dapat menyebabkan hipervolemia, meskipun pada kasus ini penyebab utamanya adalah ginjal.
Gejala dan Tanda Klinis:
Diagnosis keperawatan hipervolemia ditegakkan berdasarkan pengkajian data subjektif dan objektif.
- Gejala dan Tanda Mayor:
- Subjektif: Ortopnea (sesak saat berbaring), dispnea (sesak napas), Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND, sesak napas tiba-tiba saat tidur). Pada anak usia 4 tahun, ini mungkin terlihat sebagai rewel, napas cepat, atau menolak untuk tidur berbaring.
- Objektif: Edema anasarka dan/atau edema perifer (bengkak pada tangan dan kaki, seperti yang dilaporkan), peningkatan berat badan dalam waktu singkat, peningkatan Jugular Venous Pressure (JVP) atau distensi vena jugularis, dan refleks hepatojugular positif.
- Gejala dan Tanda Minor:
- Objektif: Suara napas tambahan (seperti ronkhi basah atau crackles yang menandakan adanya cairan di paru-aru), hepatomegali (pembesaran hati), penurunan kadar hemoglobin/hematokrit akibat hemodilusi (pengenceran darah), oliguria atau anuria (jika masih ada sisa fungsi ginjal), dan balans cairan positif (asupan lebih besar dari keluaran).
Pada pasien ini, data kunci adalah edema perifer ("tangan kaki bengkak"). Perawat perlu melakukan pengkajian lebih lanjut untuk mengidentifikasi tanda-tanda lain, seperti menimbang berat badan harian (indikator paling sensitif untuk perubahan status cairan akut), memantau tekanan darah, mengauskultasi suara paru, dan menghitung balans cairan secara cermat, termasuk volume masuk dan keluar dari siklus CAPD. Meskipun demam dan batuk dilaporkan sudah membaik, kondisi ini bisa menjadi pemicu yang mengganggu keseimbangan cairan pasien, sehingga status pernapasan tetap harus dipantau ketat.Kode SLKI: L.03020
Luaran yang Diharapkan: Keseimbangan Cairan. Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan keseimbangan cairan pasien meningkat dengan kriteria hasil:
- Edema perifer menurun (dari skala 3 [sedang] menjadi 1 [tidak ada]).
- Berat badan kembali ke rentang normal/baseline (membaik ke skala 5).
- Asupan dan haluaran cairan seimbang (membaik ke skala 5).
- Tekanan darah dalam rentang normal sesuai usia (membaik ke skala 5).
- Distensi vena jugularis menurun (dari skala 3 [sedang] menjadi 1 [tidak ada]).
- Suara napas tambahan tidak terdengar (membaik ke skala 5).
- Turgor kulit membaik (membaik ke skala 5).
Kode SIKI: I.03114
Intervensi Utama: Manajemen Hipervolemia.
Observasi:
- Periksa tanda dan gejala hipervolemia (misal: edema, distensi vena jugularis, suara napas tambahan, sesak napas).
- Identifikasi penyebab hipervolemia (misal: kepatuhan diet, efektivitas dialisis).
- Monitor status hemodinamik (misal: frekuensi jantung, tekanan darah, MAP).
- Monitor intake dan output cairan secara ketat, termasuk volume drainase dan instillasi CAPD untuk menghitung ultrafiltrasi.
- Monitor tanda-tanda hemokonsentrasi (misal: penurunan turgor kulit, peningkatan hematokrit) dan hemodilusi (misal: penurunan hematokrit, peningkatan berat badan).
- Monitor hasil laboratorium yang relevan (misal: elektrolit, BUN, kreatinin, hematokrit).
Terapeutik:
- Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama dan dengan kondisi yang sama (misal: setelah drainase CAPD di pagi hari).
- Batasi asupan cairan dan garam sesuai dengan anjuran medis.
- Tinggikan kepala tempat tidur 30-45 derajat jika pasien mengalami sesak napas.
- Posisikan ekstremitas yang edema lebih tinggi untuk membantu mengurangi pembengkakan.
Edukasi:
- Jelaskan kepada orang tua mengenai tujuan dan prosedur pemantauan cairan.
- Ajarkan orang tua cara mengukur dan mencatat asupan serta haluaran cairan di rumah.
- Jelaskan pentingnya pembatasan cairan dan diet rendah garam dengan cara yang mudah dipahami oleh keluarga.
- Anjurkan orang tua untuk segera melapor jika terdapat peningkatan berat badan yang signifikan, penambahan bengkak, atau kesulitan bernapas.
Kolaborasi:
- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian diuretik, jika diindikasikan.
- Kolaborasi dengan tim medis (nefrolog) untuk menyesuaikan resep dialisis (misal: konsentrasi dekstrosa pada cairan dialisat) untuk meningkatkan ultrafiltrasi (penarikan cairan).
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk merencanakan diet yang sesuai dengan pembatasan natrium dan cairan.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti diagnosis atau kodifikasi resmi.***
-
Article No. 21884 | 02 Oct 2025
Klinis : - O.s mengatakan nyeri seperti ditekan di perut kanan bawah sejak 4 hari lalu dan mengeluh perutnya tidak nyaman - Awalnya hanya di kanan bawah lalu menjalar ke ulu hati - Pasien mengalami mual dan ingin muntah di hari kemarin Do: - Pasien tampak lemas & meringis kesakitan TTV • Tekanan Darah: 131/94 mmHg • Nadi: 81 x/menit • Pernapasan: 20 x/menit • Suhu: 36,5 ‘c • SpO₂: 96 % Skala nyeri P : ditekan Q : perih R : satu tempat S : 8 (nyeri berat) T : terus menerus
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10:
Kondisi: Nyeri Perut Kanan Bawah
Kode ICD-10: R10.31
Deskripsi Singkat : Nyeri perut kanan bawah adalah rasa sakit atau ketidaknyamanan yang terlokalisasi secara spesifik di area perut sebelah kanan bagian bawah. Area ini merupakan lokasi bagi beberapa organ penting, termasuk apendiks (usus buntu), bagian dari usus besar, dan pada wanita, ovarium kanan serta tuba falopi. Kode ICD-10 R10.31 digunakan untuk mengklasifikasikan keluhan nyeri yang lokasinya spesifik di kuadran kanan bawah perut. Kode ini termasuk dalam kategori 'R10 - Abdominal and pelvic pain' dan bersifat simtomatik, artinya kode ini mendeskripsikan gejala yang dilaporkan pasien, bukan diagnosis definitif. Berdasarkan deskripsi, keluhan utama pasien adalah nyeri hebat yang terlokalisasi di perut kanan bawah, diperparah dengan tekanan, dan disertai mual. Penggunaan kode R10.31 sangat tepat pada tahap awal ini untuk mencatat keluhan utama sebelum diagnosis pasti seperti apendisitis atau kondisi lainnya ditegakkan melalui pemeriksaan lebih lanjut.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti kodifikasi resmi oleh profesional medis.***
-
Article No. 21885 | 02 Oct 2025
Klinis : - O.s mengatakan nyeri seperti ditekan di perut kanan bawah sejak 4 hari lalu dan mengeluh perutnya tidak nyaman - Awalnya hanya di kanan bawah lalu menjalar ke ulu hati - Pasien mengalami mual dan ingin muntah di hari kemarin Do: - Pasien tampak lemas & meringis kesakitan TTV • Tekanan Darah: 131/94 mmHg • Nadi: 81 x/menit • Pernapasan: 20 x/menit • Suhu: 36,5 ‘c • SpO₂: 96 % Skala nyeri P : ditekan Q : perih R : satu tempat S : 8 (nyeri berat) T : terus menerus
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Nyeri Akut
Kode SDKI: D.0077
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Nyeri akut didefinisikan sebagai pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan. Nyeri merupakan alasan paling umum seseorang mencari pertolongan medis dan menjadi fokus utama dalam asuhan keperawatan. Berdasarkan kasus yang disajikan, pasien mengeluhkan nyeri di perut kanan bawah dengan skala 8 dari 10, yang dikategorikan sebagai nyeri berat. Keluhan ini disertai dengan data objektif berupa pasien tampak meringis kesakitan dan tekanan darah yang sedikit meningkat (131/94 mmHg), yang merupakan respons fisiologis umum terhadap nyeri hebat.
Nyeri akut berfungsi sebagai mekanisme protektif yang memberi sinyal kepada tubuh bahwa telah terjadi cedera atau kerusakan. Sinyal ini dipicu oleh stimulasi nosiseptor (reseptor nyeri) akibat adanya agen pencedera, baik fisiologis (misalnya, inflamasi, iskemia, neoplasma), kimiawi (misalnya, luka bakar, paparan zat iritan), maupun fisik (misalnya, abses, trauma, prosedur bedah). Pada kasus ini, nyeri yang dirasakan seperti ditekan dan perih di perut kanan bawah, yang kemudian menjalar ke ulu hati, serta disertai mual, dapat mengindikasikan adanya proses inflamasi pada organ intra-abdomen.
Pengkajian nyeri yang komprehensif adalah langkah krusial dalam menentukan diagnosis keperawatan yang tepat. Metode PQRST yang digunakan pada pasien ini memberikan gambaran yang jelas mengenai karakteristik nyeri:
- **P (Provokes/Palliates):** Nyeri diprovokasi oleh tekanan, menunjukkan adanya iritasi atau peradangan pada area tersebut.
- **Q (Quality):** Kualitas nyeri digambarkan sebagai "perih", yang sering dikaitkan dengan kerusakan jaringan atau peradangan.
- **R (Region/Radiation):** Lokasi nyeri spesifik di perut kanan bawah, meskipun ada riwayat penjalaran ke ulu hati, yang penting untuk dipertimbangkan dalam diagnosis banding medis.
- **S (Severity):** Skala 8 menunjukkan intensitas nyeri yang sangat berat dan mengganggu, yang divalidasi oleh observasi pasien tampak meringis dan lemas.
- **T (Timing):** Nyeri bersifat "terus menerus", menandakan stimulus pemicu nyeri yang konstan dan tidak hilang timbul.
Gejala dan tanda mayor untuk diagnosis Nyeri Akut yang teridentifikasi pada pasien ini adalah keluhan nyeri (subjektif) serta pasien tampak meringis dan bersikap protektif (objektif). Selain itu, terdapat gejala minor berupa peningkatan tekanan darah. Respons lain seperti mual dan lemas juga merupakan manifestasi sistemik dari pengalaman nyeri yang hebat dan stres fisiologis yang menyertainya. Nyeri yang tidak tertangani secara efektif dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti gangguan mobilitas, penurunan nafsu makan (seperti yang diindikasikan oleh mual), gangguan pola tidur, kecemasan, dan respons stres fisiologis yang berkepanjangan (peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan laju pernapasan) yang dapat menghambat proses penyembuhan. Oleh karena itu, penegakan diagnosis keperawatan Nyeri Akut menjadi prioritas untuk segera memberikan intervensi yang tepat guna meredakan penderitaan pasien, mencegah komplikasi, dan memfasilitasi pemulihan.Kode SLKI: L.08066
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan Tingkat Nyeri menurun dengan kriteria hasil sebagai berikut:
- Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat
- Keluhan nyeri menurun (dari skala 8 menjadi skala yang lebih dapat ditoleransi, misal < 4)
- Meringis menurun
- Sikap protektif menurun
- Gelisah menurun
- Frekuensi nadi membaik (dalam rentang normal 60-100 x/menit)
- Pola napas membaik (dalam rentang normal 16-20 x/menit)
- Tekanan darah membaik (dalam rentang normal, misal sistolik < 130 mmHg dan diastolik < 90 mmHg)
- Mual membaik atau hilang
Kode SIKI: I.08238
Intervensi Utama: Manajemen Nyeri
Observasi:
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan intensitas nyeri menggunakan skala yang valid dan sesuai (misal, Skala Numerik).
- Identifikasi respons nyeri non-verbal (misal, ekspresi wajah meringis, gelisah).
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
- Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, pernapasan) sebelum dan sesudah pemberian intervensi.
- Monitor efektivitas analgesik dan waspadai efek sampingnya.
Terapeutik:
- Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri, seperti teknik relaksasi napas dalam, distraksi (misal, mendengarkan musik, menonton TV), atau imajinasi terbimbing.
- Kontrol lingkungan yang dapat memperberat rasa nyeri (misal, kurangi kebisingan, atur pencahayaan yang nyaman).
- Fasilitasi istirahat dan tidur yang cukup untuk membantu proses pemulihan dan meningkatkan ambang nyeri.
- Atur posisi pasien senyaman mungkin untuk mengurangi tekanan pada area yang nyeri.
Edukasi:
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri kepada pasien dengan bahasa yang mudah dipahami.
- Jelaskan strategi untuk meredakan nyeri yang dapat dilakukan secara mandiri.
- Anjurkan pasien untuk segera melaporkan jika nyeri bertambah berat atau tidak berkurang setelah intervensi.
- Ajarkan teknik nonfarmakologis yang telah dipilih untuk digunakan saat nyeri muncul.
Kolaborasi:
- Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik sesuai indikasi (misalnya, anti-inflamasi nonsteroid atau opioid) untuk mengelola nyeri berat.
- Kolaborasi untuk pemeriksaan diagnostik lebih lanjut (misal, tes darah, USG abdomen) guna mengidentifikasi penyebab pasti dari nyeri perut.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti diagnosis atau kodifikasi resmi.***