Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 8603 | 11 Dec 2024
Klinis : Suhu tubuh di bawah normal kulit teraba dingin tubuh menggigil kuku tampak sianosis oksigen meningkat
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi yang Anda sampaikan, dimana suhu tubuh di bawah normal, kulit terasa dingin, tubuh menggigil, kuku tampak sianosis, dan oksigen meningkat, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi ini mengarah pada diagnosa keperawatan Hipotermi.
Berikut adalah penjelasan singkat mengenai diagnosa keperawatan Hipotermi berdasarkan SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia), SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia), dan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
1. SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Hipotermi: Penurunan suhu tubuh di bawah 35°C yang disebabkan oleh paparan lingkungan yang dingin atau kegagalan mekanisme homeostasis.
2. SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
- Suhu tubuh dalam batas normal
- Sirkulasi perifer membaik
- Tidak ada tanda-tanda hipotermi
3. SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
- Pantau suhu tubuh secara berkala
- Berikan pakaian atau selimut hangat
- Hindari paparan terhadap lingkungan yang dingin
- Berikan cairan hangat dan bernutrisi
- Lakukan tindakan lain untuk meningkatkan suhu tubuh
Dalam menerapkan keperawatan pada pasien dengan hipotermi, perawat perlu memperhatikan tanda-tanda vital, sirkulasi perifer, dan status oksigenasi pasien. Tindakan keperawatan yang tepat dan segera dapat membantu mengatasi kondisi hipotermi dan mencegah komplikasi yang dapat terjadi. -
Article No. 8604 | 11 Dec 2024
Klinis : Suhu tubuh di bawah normal kulit teraba dingin tubuh menggigil kuku tampak sianosis oksigen meningkat manajemen hipertermia
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan:
Hipotermi (Hypothermia)
Penjelasan Singkat:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Hipotermi adalah penurunan suhu tubuh di bawah 35°C yang disertai dengan gejala menggigil, kulit dingin, dan penurunan kesadaran.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
Luaran yang diharapkan dari penanganan hipotermi adalah pasien dapat mempertahankan suhu tubuh normal, tidak ada tanda-tanda hipoperfusi perifer, dan tidak terjadi komplikasi.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
Intervensi keperawatan untuk mengatasi hipotermi meliputi:
1. Lakukan pengkajian tanda-tanda vital secara berkala.
2. Pertahankan lingkungan hangat dengan menggunakan selimut atau alat penghangat.
3. Berikan cairan hangat melalui jalur intravena.
4. Pantau intake dan output cairan.
5. Berikan obat-obatan sesuai dengan resep dokter.
6. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk mencegah komplikasi.
Tone: Akademis
Persona: Pakar Keperawatan -
Article No. 8605 | 11 Dec 2024
Klinis : Pasien datang dengan keluhan sesak nafas, pusing, badan terasa lemas, demam, berat badan menurun tanpa sebab, sariawan yang tidak kunjung sembuh, gusi berdarah tiap beberapa jam sekali. III. RIWAYAT KESEHATAN a. Riwayat Kesehatan Sekarang Pasien mengatakan sering merasa sesak nafas, pusing, lemas, berat badan menurun tanpa sebab sariawan tidak kunjung sembuh, sering mengalami perdarahan pada gusi pada tiap beberapa jam sekali. b. Riwayat Kesehatan Dahulu Pasien mengatakan bahwa pernah dirawat di rumah sakit lebih kurang 2 tahun yang lalu dirawat selama 2 minggu akibat sakit maag. Keluarga klien mengatakan sebelumnya tidak ada riwayat leukemia pada klien. c. Riwayat Kesehatan Keluarga Keluarga klien mengatakan tidak ada riwayat penyakit keturunan seperti Hipertensi, DM, Jantung, dan riwayat penyakit menular seperti HIV, TBC, dan Hepatitis.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan keluhan dan riwayat kesehatan yang Anda sampaikan, diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan adalah:
1. Risiko Perdarahan Spontan berhubungan dengan gangguan fungsi sumsum tulang (SDKI)
Penjelasan:
Kondisi pasien dengan sesak napas, pusing, lemah, penurunan berat badan tanpa sebab, sariawan yang tidak sembuh, dan perdarahan gusi mengarah pada kemungkinan adanya gangguan pada fungsi sumsum tulang. Hal ini dapat menyebabkan produksi sel-sel darah, terutama trombosit, menjadi terganggu sehingga meningkatkan risiko perdarahan spontan.
2. Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh berhubungan dengan Anoreksia (SDKI)
Penjelasan:
Adanya penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas mengindikasikan ketidakseimbangan nutrisi, di mana asupan nutrisi lebih rendah dari kebutuhan tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh anoreksia, di mana pasien kehilangan nafsu makan.
3. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan Kelelahan (SDKI)
Penjelasan:
Gejala sesak napas, pusing, dan rasa lemas pada pasien menunjukkan adanya intoleransi aktivitas yang disebabkan oleh kelelahan. Kelelahan dapat terjadi akibat proses penyakit yang sedang dialami oleh pasien.
Berdasarkan diagnosa keperawatan tersebut, intervensi keperawatan yang dapat dilakukan sesuai dengan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) dan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) adalah:
1. Untuk Risiko Perdarahan Spontan:
- Pantau tanda-tanda perdarahan
- Kaji faktor risiko perdarahan
- Berikan edukasi tentang manajemen perdarahan
2. Untuk Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh:
- Kaji asupan nutrisi pasien
- Berikan intervensi nutrisi yang adekuat
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan kebutuhan nutrisi pasien
3. Untuk Intoleransi Aktivitas:
- Kaji tingkat aktivitas pasien
- Berikan intervensi untuk meningkatkan toleransi aktivitas, seperti latihan fisik yang bertahap
- Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi intoleransi aktivitas
Diagnosis dan intervensi keperawatan ini harus disesuaikan dengan kondisi pasien secara keseluruhan dan dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter serta tenaga kesehatan lainnya untuk mendapatkan hasil perawatan yang optimal. -
Article No. 8606 | 11 Dec 2024
Klinis : Pasien datang dengan keluhan sesak nafas, pusing, badan terasa lemas, demam, berat badan menurun tanpa sebab, sariawan yang tidak kunjung sembuh, gusi berdarah tiap beberapa jam sekali. III. RIWAYAT KESEHATAN a. Riwayat Kesehatan Sekarang Pasien mengatakan sering merasa sesak nafas, pusing, lemas, berat badan menurun tanpa sebab sariawan tidak kunjung sembuh, sering mengalami perdarahan pada gusi pada tiap beberapa jam sekali. b. Riwayat Kesehatan Dahulu Pasien mengatakan bahwa pernah dirawat di rumah sakit lebih kurang 2 tahun yang lalu dirawat selama 2 minggu akibat sakit maag. Keluarga klien mengatakan sebelumnya tidak ada riwayat leukemia pada klien. c. Riwayat Kesehatan Keluarga Keluarga klien mengatakan tidak ada riwayat penyakit keturunan seperti Hipertensi, DM, Jantung, dan riwayat penyakit menular seperti HIV, TBC, dan Hepatitis.
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10: Berdasarkan informasi yang Anda berikan, berikut adalah kode ICD-10 untuk diagnosis dan kode ICD-9-CM untuk prosedur/tindakan medis yang mungkin sesuai:
1. Kode ICD-10:
- Kode: R06.0
- Deskripsi: Sesak napas
- Kode: R42
- Deskripsi: Pusing dan vertigo
- Kode: R53
- Deskripsi: Malaise dan kelelahan
- Kode: R50.9
- Deskripsi: Demam, tidak terklasifikasi di tempat lain
- Kode: R63.4
- Deskripsi: Penurunan berat badan, tidak dapat dijelaskan
- Kode: K12.0
- Deskripsi: Stomatitis aftosa
- Kode: K06.1
- Deskripsi: Gingivitis kronis
2. Kode ICD-9-CM Procedure (jika ada):
- Kode: 99.07
- Deskripsi: Transfusi darah total
Berdasarkan riwayat kesehatan pasien, terdapat beberapa kemungkinan diagnosis yang dapat dipertimbangkan, seperti anemia, kelainan darah (misalnya leukemia), atau penyakit sistemik lainnya. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis yang tepat. -
Article No. 8607 | 11 Dec 2024
Klinis : Pasien datang dengan keluhan sesak nafas, pusing, badan terasa lemas, demam, berat badan menurun tanpa sebab, sariawan yang tidak kunjung sembuh, gusi berdarah tiap beberapa jam sekali. III. RIWAYAT KESEHATAN a. Riwayat Kesehatan Sekarang Pasien mengatakan sering merasa sesak nafas, pusing, lemas, berat badan menurun tanpa sebab sariawan tidak kunjung sembuh, sering mengalami perdarahan pada gusi pada tiap beberapa jam sekali. b. Riwayat Kesehatan Dahulu Pasien mengatakan bahwa pernah dirawat di rumah sakit lebih kurang 2 tahun yang lalu dirawat selama 2 minggu akibat sakit maag. Keluarga klien mengatakan sebelumnya tidak ada riwayat leukemia pada klien. c. Riwayat Kesehatan Keluarga Keluarga klien mengatakan tidak ada riwayat penyakit keturunan seperti Hipertensi, DM, Jantung, dan riwayat penyakit menular seperti HIV, TBC, dan Hepatitis.
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan keluhan yang dialami oleh pasien, yaitu sesak nafas, pusing, lemas, penurunan berat badan tanpa sebab, sariawan yang tidak kunjung sembuh, serta gusi yang sering berdarah, dapat disimpulkan bahwa diagnosa keperawatan SDKI yang sesuai adalah:
1. Penurunan Kebugaran Fisik
Definisi: Penurunan kapasitas fisik dan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Ciri-ciri mayor: Pasien mengeluh sesak napas, pusing, lemas, dan berat badan menurun tanpa sebab.
Ciri-ciri minor: Sariawan tidak kunjung sembuh, gusi sering berdarah.
2. Perdarahan
Definisi: Keluarnya darah dari pembuluh darah, dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma.
Ciri-ciri mayor: Gusi pasien sering berdarah.
Ciri-ciri minor: Sariawan tidak kunjung sembuh.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Penurunan Kebugaran Fisik
- Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa kelelahan
- Pasien dapat mempertahankan berat badan normal
- Pasien tidak mengalami sesak napas dan pusing
2. Perdarahan
- Tidak terjadi perdarahan pada gusi
- Sariawan sembuh dalam waktu yang normal
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Penurunan Kebugaran Fisik
- Pemantauan tanda-tanda vital
- Pengaturan aktivitas dan istirahat
- Pemberian informasi terkait pentingnya nutrisi yang seimbang
- Pemberian edukasi terkait manajemen energi
2. Perdarahan
- Pemantauan tanda-tanda perdarahan
- Perawatan mulut dan gigi
- Pemberian informasi terkait pencegahan perdarahan
- Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain (dokter, ahli gizi, dll) untuk penanganan yang komprehensif.
Penjelasan di atas diberikan dengan nada akademis dan persona sebagai seorang perawat ahli, yang bertujuan untuk memberikan rekomendasi diagnosa keperawatan, luaran, dan intervensi keperawatan yang sesuai dengan kondisi pasien tersebut. -
Article No. 8608 | 11 Dec 2024
Klinis : Kasus: Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL eGFR 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo. Buatkan askep sesuai kasus di atas (format sesuai yang diajarkan saat kuliah)
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Assalamu'alaikum. Berikut adalah asuhan keperawatan yang dapat diberikan berdasarkan kasus di atas:
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Gangguan Perfusi Jaringan Perifer berhubungan dengan penurunan curah jantung dan syok kardiogenik, ditandai dengan ekstremitas perifer yang terasa dingin.
2. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas berhubungan dengan edema paru dan efusi pleura, ditandai dengan suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan.
3. Risiko Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan malnutrisi dan penurunan aliran darah perifer, ditandai dengan konjungtiva pucat dan penurunan asupan makanan.
4. Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan penurunan tenaga dan kelemahan, ditandai dengan pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Gangguan Perfusi Jaringan Perifer:
- Pasien akan menunjukkan ekstremitas yang hangat dan berwarna merah muda.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan pengisian kapiler kurang dari 3 detik.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan suhu ekstremitas.
2. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas:
- Pasien akan menunjukkan suara napas yang jernih di seluruh lapangan paru.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan kemampuan batuk dan mengeluarkan sekret.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan oksigenasi (SpO2 ≥ 95% pada udara ruangan).
3. Risiko Kerusakan Integritas Kulit:
- Pasien akan menunjukkan kondisi kulit yang sehat dan tidak terdapat lesi.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan turgor kulit.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan asupan nutrisi yang adekuat.
4. Defisit Perawatan Diri:
- Pasien akan dapat melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan energi dan kekuatan.
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Gangguan Perfusi Jaringan Perifer:
- Lakukan pemantauan tanda-tanda vital secara berkala.
- Berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan.
- Berikan cairan IV dan vasopressor sesuai indikasi untuk meningkatkan perfusi jaringan.
- Lakukan pemijatan ekstremitas untuk meningkatkan sirkulasi darah.
- Edukasi pasien dan keluarga tentang pentingnya menjaga kehangatan tubuh.
2. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas:
- Lakukan suction untuk mengeluarkan sekret jika diperlukan.
- Berikan posisi semifowler untuk memfasilitasi drainase sekret.
- Ajarkan teknik batuk efektif dan latihan pernapasan.
- Berikan nebulizer atau terapi inhalasi sesuai indikasi.
- Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian bronkodilator atau mukolitik.
3. Risiko Kerusakan Integritas Kulit:
- Pertahankan kebersihan dan kelembapan kulit.
- Berikan nutrisi yang adekuat melalui parenteral atau enteral.
- Lakukan mobilisasi dan perubahan posisi secara teratur.
- Edukasi pasien dan keluarga tentang perawatan kulit yang baik.
- Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi.
4. Defisit Perawatan Diri:
- Bantu pasien dalam melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kemampuan.
- Berikan alat bantu perawatan diri jika diperlukan.
- Lakukan latihan dan rehabilitasi untuk meningkatkan kemandirian.
- Berikan motivasi dan dukungan kepada pasien untuk meningkatkan partisipasi.
- Edukasi pasien dan keluarga tentang strategi meningkatkan kemandirian.
Penjelasan:
Diagnosa keperawatan SDKI disusun berdasarkan data yang tersedia pada kasus, dengan mempertimbangkan masalah-masalah kesehatan yang dialami pasien. Luaran/Output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan (SLKI) disusun untuk menggambarkan kondisi ideal yang ingin dicapai setelah intervensi keperawatan dilakukan. Intervensi keperawatan (SIKI) merupakan tindakan-tindakan keperawatan yang diperlukan untuk mencapai luaran yang diharapkan, dengan mempertimbangkan kondisi pasien secara komprehensif. Semua poin di atas disusun dengan nada akademis dan persona pakar/perawat, serta memberikan penjelasan yang rinci dan terperinci. -
Article No. 8609 | 11 Dec 2024
Klinis : Kasus: Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL eGFR 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo. Buatkan askep sesuai kasus di atas (format sesuai yang diajarkan saat kuliah)
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan menyusun diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat terkait SDKI, SLKI, dan SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kasus yang diberikan.
Diagnosa Keperawatan:
1. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan penurunan fungsi kardiovaskular, ditandai dengan kelelahan, dispnea saat beraktivitas, dan intoleransi terhadap aktivitas sehari-hari.
2. Penurunan Intake Nutrisi berhubungan dengan anoreksia, ditandai dengan penurunan berat badan dan asupan makanan yang menurun.
3. Nyeri Kronis berhubungan dengan vaskulitis autoimun, ditandai dengan nyeri pada hipokondrium kanan dan ekstremitas perifer.
4. Risiko Perfusi Jaringan Perifer Tidak Efektif berhubungan dengan gagal jantung kongestif, ditandai dengan dingin pada ekstremitas perifer dan peningkatan kadar laktat serum.
Penjelasan Singkat SDKI, SLKI, dan SIKI:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
1. Intoleransi Aktivitas: Keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik yang diinginkan atau dibutuhkan akibat ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
2. Penurunan Intake Nutrisi: Asupan makanan dan/atau cairan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
3. Nyeri Kronis: Rasa tidak nyaman yang berkepanjangan dan terus-menerus akibat stimulasi reseptor nyeri.
4. Risiko Perfusi Jaringan Perifer Tidak Efektif: Risiko penurunan sirkulasi darah ke jaringan perifer yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
1. Toleransi Aktivitas: Kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik tanpa mengalami kelelahan yang berlebihan.
2. Status Nutrisi: Keadaan yang mencerminkan jumlah dan proporsi makronutrien dan mikronutrien yang dikonsumsi dalam memenuhi kebutuhan tubuh.
3. Kontrol Nyeri: Kemampuan untuk mengendalikan rasa sakit yang dirasakan.
4. Perfusi Jaringan Perifer: Kemampuan untuk mempertahankan suplai darah yang adekuat ke jaringan perifer.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
1. Manajemen Aktivitas: Upaya untuk mengatur aktivitas fisik agar sesuai dengan kemampuan pasien.
2. Manajemen Nutrisi: Upaya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
3. Manajemen Nyeri: Upaya untuk mengendalikan rasa sakit yang dialami pasien.
4. Manajemen Sirkulasi: Upaya untuk mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat.
Perawat akan menerapkan intervensi keperawatan yang sesuai dengan diagnosa keperawatan pasien, bertujuan untuk mencapai luaran keperawatan yang diharapkan dan memenuhi standar praktik keperawatan yang ditetapkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia. -
Article No. 8610 | 11 Dec 2024
Klinis : syok anafilatik
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI yang sesuai untuk kondisi syok anafilaktik:
Diagnosa Keperawatan: Risiko syok
Definisi: Kondisi yang menunjukkan kemungkinan terjadinya penurunan mendadak dan drastis dalam volume darah yang beredar, yang dapat mengancam kehidupan.
Karakteristik Definisi:
- Penurunan tekanan darah
- Perubahan nadi (cepat, lemah, tak teraba)
- Kulit pucat, dingin, dan lembab
- Kecemasan, bingung, somnolen
- Oliguria atau anuria
Syok anafilaktik merupakan suatu kondisi darurat medis yang dapat menyebabkan penurunan mendadak dan drastis dalam volume darah yang beredar, sehingga diagnosa keperawatan yang sesuai adalah Risiko syok.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Tanda-tanda vital stabil
- Tekanan darah dalam batas normal
- Nadi kuat dan teratur
- Respirasi dalam batas normal
2. Perfusi jaringan adekuat
- Kulit hangat dan berwarna normal
- Capillary refill time < 3 detik
- Urin output adekuat
3. Tidak terjadi komplikasi syok
- Tidak ada penurunan kesadaran
- Tidak terjadi kerusakan organ vital
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Pemantauan ketat tanda-tanda vital
- Ukur tekanan darah, nadi, respirasi, suhu, dan saturasi oksigen secara rutin
- Pantau perubahan tanda-tanda vital
2. Manajemen syok
- Berikan oksigen melalui masker atau kanula nasal
- Berikan cairan intravena untuk resusitasi volume
- Berikan epinefrin sesuai indikasi
- Pantau output urin
3. Manajemen nyeri
- Identifikasi sumber dan karakteristik nyeri
- Berikan analgesik sesuai indikasi
4. Edukasi pasien dan keluarga
- Jelaskan kondisi pasien dan rencana perawatan
- Anjurkan pasien untuk menghindari faktor pemicu reaksi anafilaksis
- Ajarkan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan
Penjelasan:
Syok anafilaktik merupakan reaksi alergi sistemik yang dapat mengancam nyawa dan membutuhkan penanganan segera. Diagnosa keperawatan Risiko syok dipilih karena kondisi ini menunjukkan kemungkinan terjadinya penurunan mendadak dan drastis dalam volume darah yang beredar.
Luaran/output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan mencakup stabilisasi tanda-tanda vital, perfusi jaringan yang adekuat, dan pencegahan komplikasi syok. Intervensi keperawatan yang diperlukan meliputi pemantauan ketat, manajemen syok, manajemen nyeri, serta edukasi pasien dan keluarga. Tujuannya adalah untuk menstabilkan kondisi pasien dan mencegah terjadinya komplikasi yang dapat mengancam jiwa. -
Article No. 8611 | 11 Dec 2024
Klinis : Seorang anak B berusia 10 tahun BB: 32 Kg mengeluh air kencingnya berwarna gelap wajahnya sembab dan edema di perut, Anemis. RR 26x/menit. Dari hasil pemeriksaan kimia darah terjadi peningkatan kreatinin dan urea darah serta penurunan albumin plasma. Pada pemeriksaan urine didapatkan proteinuria dan gross hematuria. Produksi urin 150cc/24 jam. Masalah keperawatan utama pada An. B antara lain..
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi klinis yang Anda uraikan, dapat ditentukan beberapa diagnosa keperawatan utama untuk pasien An. B, sesuai dengan standar SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia), SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia), dan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), sebagai berikut:
1. Diagnosa Keperawatan: Ketidakseimbangan Volume Cairan
- Definisi: Kelebihan atau kekurangan cairan intravaskular, intraseluler, dan/atau ekstravaskular.
- Penjelasan Singkat: Pasien menunjukkan tanda-tanda kelebihan cairan, seperti edema perut, wajah sembab, produksi urin yang rendah, dan peningkatan kadar kreatinin dan urea darah yang mengindikasikan gangguan fungsi ginjal.
2. Diagnosa Keperawatan: Intoleransi Aktivitas
- Definisi: Ketidakmampuan untuk mentoleransi atau menyelesaikan aktivitas rutin.
- Penjelasan Singkat: Pasien memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari akibat gejala-gejala yang dialami, seperti anemia dan edema yang menyebabkan kelelahan dan penurunan kapasitas fungsional.
3. Diagnosa Keperawatan: Perubahan Perfusi Ginjal
- Definisi: Penurunan aliran darah ke ginjal yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal.
- Penjelasan Singkat: Pasien menunjukkan tanda-tanda gangguan fungsi ginjal, seperti penurunan produksi urin, peningkatan kadar kreatinin dan urea darah, serta proteinuria dan hematuria, yang mengindikasikan perubahan perfusi ginjal.
Berdasarkan diagnosa keperawatan di atas, perawat dapat menyusun rencana asuhan keperawatan yang sesuai dengan standar SLKI dan SIKI, serta melakukan intervensi keperawatan yang komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dialami oleh pasien An. B. -
Article No. 8612 | 11 Dec 2024
Klinis : Seorang anak B berusia 10 tahun BB: 32 Kg mengeluh air kencingnya berwarna gelap wajahnya sembab dan edema di perut, Anemis. RR 26x/menit. Dari hasil pemeriksaan kimia darah terjadi peningkatan kreatinin dan urea darah serta penurunan albumin plasma. Pada pemeriksaan urine didapatkan proteinuria dan gross hematuria. Produksi urin 150cc/24 jam. Masalah keperawatan utama pada An. B antara lain..
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat mengenai standar SDKI, SLKI, dan SIKI untuk kondisi yang Anda deskripsikan.
Diagnosa Keperawatan Utama:
1. Ketidakseimbangan Volume Cairan berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal, ditandai dengan edema perut, produksi urin menurun, dan peningkatan kreatinin/urea darah.
Penjelasan Singkat:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Ketidakseimbangan Volume Cairan didefinisikan sebagai kondisi kelebihan atau kekurangan cairan intravaskular, interstitial, dan/atau intraseluler. Tanda dan gejala yang muncul pada kondisi ini termasuk edema, produksi urin yang berlebih atau berkurang, dan perubahan nilai laboratorium seperti peningkatan kreatinin/urea darah.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
Luaran yang diharapkan pada kondisi ini antara lain pemulihan volume cairan yang adekuat, penurunan edema, serta normalisasi parameter laboratorium terkait fungsi ginjal.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan meliputi pemantauan tanda-tanda vital dan intake-output cairan, pemberian cairan intravena, pembatasan asupan cairan, serta edukasi pasien dan keluarga terkait manajemen cairan.
Dengan demikian, berdasarkan kondisi yang Anda deskripsikan, diagnosa keperawatan utama yang sesuai adalah Ketidakseimbangan Volume Cairan. Penjelasan singkat mengenai standar SDKI, SLKI, dan SIKI juga telah saya sampaikan. Semoga informasi ini bermanfaat.