Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 8580 | 11 Dec 2024
Klinis : inkontenensia urine
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat menurut SDKI, SLKI, dan SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) untuk kondisi inkontinensia urine.
Diagnosa Keperawatan:
Inkontinensia Urin
Penjelasan Singkat:
1. SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Inkontinensia Urin adalah ketidakmampuan untuk menahan urin, yang menyebabkan hilangnya kontrol urinasi secara tidak sengaja.
2. SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
a. Kontrol Eliminasi Urin: Kemampuan untuk mengatur pengeluaran urin secara terkendali.
b. Integritas Kulit: Kondisi kulit yang sehat dan tidak terdapat lesi.
c. Kenyamanan: Perasaan sejahtera, aman, dan bebas dari rasa tidak nyaman.
3. SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
a. Manajemen Inkontinensia: Tindakan untuk mengontrol atau mengurangi episode inkontinensia urin.
b. Terapi Latihan: Intervensi untuk memelihara atau meningkatkan fungsi fisik.
c. Manajemen Lingkungan: Tindakan untuk mengoptimalkan lingkungan untuk memfasilitasi penyembuhan dan kenyamanan.
Sebagai perawat, saya akan melakukan penilaian komprehensif untuk mengidentifikasi penyebab inkontinensia urin, membantu pasien dalam mengontrol dan mengelola kondisinya, serta memberikan intervensi keperawatan yang sesuai untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. -
Article No. 8581 | 11 Dec 2024
Klinis : inkontenensia urine
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI yang Sesuai untuk Inkontinensia Urine:
Inkontinensia urine adalah kondisi di mana seseorang tidak dapat mengendalikan aliran urine secara normal, yang dapat menyebabkan kebocoran atau kehilangan urine secara tidak terkendali. Berdasarkan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), diagnosa keperawatan yang sesuai untuk kondisi ini adalah:
1. Inkontinensia:
Definisi: Ketidakmampuan untuk mengendalikan pengeluaran urine.
Karakteristik definisi: Kebocoran urine, pola berkemih tidak terkontrol, ketidakmampuan untuk menunda berkemih.
Luaran/Output yang Diharapkan Setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
Setelah dilakukan asuhan keperawatan yang komprehensif, diharapkan pasien dengan inkontinensia urine dapat mencapai luaran/output sebagai berikut:
1. Pemulihan Inkontinensia:
- Pasien menunjukkan pola berkemih yang terkontrol.
- Pasien melaporkan tidak ada lagi kebocoran urine atau kehilangan urine yang tidak terkendali.
- Pasien menunjukkan kemampuan menahan dan menunda berkemih.
2. Manajemen Diri Inkontinensia:
- Pasien menunjukkan pemahaman tentang penyebab dan faktor risiko inkontinensia urine.
- Pasien menerapkan strategi manajemen inkontinensia sesuai rencana perawatan.
- Pasien melaporkan kepuasan dengan manajemen inkontinensia yang dilakukan.
Intervensi Keperawatan yang Diperlukan untuk Mencapai Tujuan Luaran (SIKI):
Untuk mencapai luaran/output yang diharapkan, berikut adalah intervensi keperawatan yang dapat dilakukan:
1. Manajemen Inkontinensia:
- Identifikasi penyebab dan faktor risiko inkontinensia urine pada pasien.
- Lakukan latihan dasar panggul (Kegel) untuk meningkatkan kontrol sfingter.
- Atur pola berkemih secara teratur untuk mencegah kebocoran urine.
- Ajarkan teknik mengontrol berkemih, seperti menahan dan menunda.
- Supervisi dan evaluasi penggunaan alat bantu inkontinensia, jika diperlukan.
2. Edukasi Kesehatan:
- Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang inkontinensia urine, penyebab, dan strategi manajemennya.
- Ajarkan teknik manajemen inkontinensia yang dapat dilakukan sendiri oleh pasien.
- Dorong pasien untuk aktif terlibat dalam manajemen inkontinensia.
- Berikan dukungan emosional dan psikologis untuk meningkatkan kepatuhan pasien.
3. Koordinasi Asuhan:
- Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain (misalnya dokter, fisioterapis) untuk penanganan komprehensif.
- Lakukan rujukan ke pelayanan kesehatan yang lebih spesialis, jika diperlukan.
- Koordinasi perawatan dengan keluarga dan caregiver untuk memastikan kontinuitas perawatan.
Dengan intervensi keperawatan yang komprehensif dan terpadu, diharapkan pasien dapat mencapai luaran yang diharapkan, yaitu pemulihan inkontinensia urine dan kemampuan manajemen diri yang efektif. -
Article No. 8582 | 11 Dec 2024
Klinis : ada anak 5 bulan di bawa ke puskesmas dengan diiberikan respon : tidak menangis, nadi lemah, HR 70 x/menit. apa intervensi mandiri perawat
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Sebagai perawat, saya akan memberikan penjelasan rinci mengenai diagnosa keperawatan, luaran yang diharapkan, dan intervensi keperawatan yang diperlukan berdasarkan kondisi yang diberikan.
Diagnosa Keperawatan SDKI:
Berdasarkan informasi yang diberikan, yaitu anak 5 bulan yang dibawa ke puskesmas dengan respons tidak menangis, nadi lemah, dan HR 70 x/menit, maka diagnosa keperawatan yang sesuai adalah Perfusi Jaringan Tidak Efektif. Diagnosa ini didasarkan pada tanda-tanda klinis yang menunjukkan adanya penurunan perfusi jaringan, seperti nadi lemah dan denyut jantung yang rendah.
Luaran/Output yang Diharapkan (SLKI):
Setelah diberikan asuhan keperawatan, diharapkan dapat tercapai luaran atau hasil yang diinginkan, yaitu:
1. Perfusi Jaringan: Perifer Membaik
- Indikator: Nadi perifer teraba kuat, ekstremitas hangat, dan warna kulit normal.
2. Tanda-Tanda Vital dalam Rentang Normal
- Indikator: Frekuensi denyut nadi 100-160 kali per menit, dan frekuensi pernapasan 30-60 kali per menit.
Intervensi Keperawatan (SIKI):
Untuk mencapai luaran yang diharapkan, maka diperlukan intervensi keperawatan yang tepat, yaitu:
1. Pemantauan Tanda-Tanda Vital
- Tujuan: Mengidentifikasi adanya penurunan atau gangguan perfusi jaringan.
- Aktivitas: Mengukur dan memantau tanda-tanda vital secara berkala, termasuk frekuensi denyut nadi, frekuensi pernapasan, dan suhu tubuh.
2. Manajemen Cairan
- Tujuan: Mempertahankan volume cairan yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
- Aktivitas: Memberikan cairan intravena (IV) sesuai kebutuhan dan memantau intake-output cairan.
3. Pemberian Oksigen
- Tujuan: Membantu meningkatkan oksigenasi jaringan.
- Aktivitas: Memberikan oksigen melalui kanula nasal atau alat bantu pernapasan lainnya sesuai kebutuhan.
4. Tindakan Kenyamanan
- Tujuan: Memberikan rasa nyaman dan aman bagi pasien.
- Aktivitas: Memposisikan pasien dengan nyaman, menjaga kehangatan tubuh, dan memberikan stimulasi positif.
Dengan melaksanakan intervensi keperawatan yang komprehensif dan terfokus pada perbaikan perfusi jaringan, diharapkan kondisi pasien dapat membaik dan mencapai luaran yang diinginkan. -
Article No. 8583 | 11 Dec 2024
Klinis : ada anak 5 bulan di bawa ke puskesmas dengan diiberikan respon : tidak menangis, tampak pucat. nadi lemah, HR 70 x/menit. apa intervensi mandiri perawat
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan analisis yang rinci dan terperinci terkait kondisi yang Anda deskripsikan.
Diagnosa Keperawatan SDKI yang Sesuai:
Berdasarkan gejala yang dipaparkan, yaitu anak 5 bulan yang tidak menangis, tampak pucat, nadi lemah, dan denyut jantung 70 kali per menit, diagnosis keperawatan yang paling sesuai adalah Perfusi Jaringan Terganggu.
Perfusi Jaringan Terganggu didefinisikan sebagai "Penurunan sirkulasi darah dan oksigen ke jaringan tubuh". Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti gangguan kardiovaskular, dehidrasi, atau syok.
Luaran/Output yang Diharapkan Setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
Setelah pemberian asuhan keperawatan, luaran yang diharapkan adalah:
1. Perfusi Jaringan: Kardiovaskular: Membaik
- Indikator: Nadi teraba kuat, frekuensi jantung meningkat menjadi normal (100-160 kali per menit untuk bayi), kulit tidak pucat.
2. Perfusi Jaringan: Perifer: Membaik
- Indikator: Ekstremitas hangat, pengisian kapiler kurang dari 2 detik, tidak ada edema.
3. Status Hidrasi: Membaik
- Indikator: Membran mukosa lembab, turgor kulit baik, produksi urin adekuat.
Intervensi Keperawatan yang Diperlukan untuk Mencapai Tujuan Luaran (SIKI):
Untuk mencapai luaran yang diharapkan, berikut intervensi keperawatan yang dapat dilakukan:
1. Pantau tanda-tanda vital (nadi, frekuensi napas, suhu) secara berkala.
2. Lakukan pengkajian fisik secara komprehensif, termasuk pemeriksaan kulit, pengisian kapiler, dan kondisi ekstremitas.
3. Berikan oksigen sesuai kebutuhan untuk mempertahankan saturasi oksigen dalam batas normal.
4. Pertahankan suhu lingkungan yang nyaman untuk bayi.
5. Berikan cairan intravena sesuai kebutuhan untuk mengatasi dehidrasi dan memperbaiki perfusi jaringan.
6. Pantau intake dan output cairan, serta tanda-tanda kelebihan atau kekurangan cairan.
7. Berikan obat-obatan sesuai indikasi untuk menstabilkan kondisi kardiovaskular, jika diperlukan.
8. Libatkan keluarga dalam perawatan dan edukasi terkait kondisi anak.
9. Lakukan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain (dokter, nutrisionis, dan lain-lain) untuk penanganan yang komprehensif.
Penjelasan rinci:
Intervensi keperawatan yang diberikan bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan dan status hidrasi anak. Pemantauan tanda-tanda vital dan pengkajian fisik secara komprehensif akan membantu mengidentifikasi perubahan kondisi anak. Pemberian oksigen dan cairan intravena bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi dan memperbaiki perfusi jaringan. Edukasi dan keterlibatan keluarga penting untuk memastikan kepatuhan dan pemahaman orang tua terhadap kondisi anak.
Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain juga diperlukan untuk penanganan yang menyeluruh, termasuk evaluasi dan pemberian obat-obatan yang sesuai. Dengan intervensi keperawatan yang tepat, diharapkan kondisi anak akan membaik, perfusi jaringan dan status hidrasi dapat pulih, serta komplikasi dapat dicegah. -
Article No. 8584 | 11 Dec 2024
Klinis : pasien mengeluh pusing, mual, mulut terasa pahit, leukosit 4,2 , MCV 77, Eosinafil 0,0 , Monosit 14,9
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat mengenai SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia), SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia), dan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi yang Anda deskripsikan.
Diagnosa Keperawatan:
Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh
Penjelasan:
Berdasarkan gejala yang Anda deskripsikan, yaitu pusing, mual, mulut terasa pahit, serta hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan leukosit rendah, MCV rendah, eosinofil rendah, dan monosit tinggi, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh.
SDKI:
Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh didefinisikan sebagai asupan nutrisi yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
SLKI:
Luaran yang diharapkan dari diagnosa ini adalah pasien dapat mencapai keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan tubuh.
SIKI:
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Pengkajian status nutrisi
2. Pemantauan asupan dan output cairan
3. Pemberian informasi tentang kebutuhan nutrisi
4. Konseling gizi
5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk penyusunan rencana pemberian nutrisi
Secara umum, intervensi ini bertujuan untuk memastikan pasien mendapatkan asupan nutrisi yang adekuat sesuai kebutuhan tubuhnya. -
Article No. 8585 | 11 Dec 2024
Klinis : pasien mengeluh pusing, mual, mulut terasa pahit, leukosit 4,2 , MCV 77, Eosinafil 0,0 , Monosit 14,9
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan penjelasan yang rinci dan terperinci untuk setiap poin yang Anda minta.
1. Diagnosa Keperawatan SDKI yang sesuai untuk kondisi berikut: pasien mengeluh pusing, mual, mulut terasa pahit, leukosit 4,2, MCV 77, Eosinafil 0,0, Monosit 14,9.
Berdasarkan gejala yang dialami oleh pasien, yaitu pusing, mual, dan mulut terasa pahit, serta hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan adanya penurunan jumlah leukosit, penurunan nilai MCV, penurunan eosinofil, dan peningkatan monosit, maka diagnosa keperawatan SDKI yang sesuai adalah:
a. Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan asupan makanan akibat mual, pusing, dan mulut terasa pahit.
Diagnosa ini dipilih karena gejala yang dialami pasien, seperti mual, pusing, dan mulut terasa pahit, dapat menyebabkan penurunan asupan makanan, sehingga terjadi ketidakseimbangan nutrisi.
2. Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI).
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan pasien dapat mencapai luaran/output sebagai berikut:
a. Peningkatan Nafsu Makan
Tujuannya adalah agar pasien dapat meningkatkan asupan makanan dan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh.
b. Peningkatan Status Nutrisi
Tujuannya adalah agar pasien dapat mempertahankan status nutrisi yang optimal, seiring dengan peningkatan asupan makanan.
c. Kontrol Mual
Tujuannya adalah agar pasien dapat mengendalikan rasa mual yang dialami sehingga dapat meningkatkan asupan makanan.
3. Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI).
Untuk mencapai luaran/output yang diharapkan, berikut intervensi keperawatan yang diperlukan:
a. Manajemen Nutrisi
1) Kaji status nutrisi pasien, termasuk riwayat asupan makanan, berat badan, dan pemeriksaan laboratorium.
2) Identifikasi faktor-faktor yang memengaruhi asupan makanan, seperti mual, pusing, dan rasa pahit di mulut.
3) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menyusun rencana pemberian nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
4) Motivasi pasien untuk meningkatkan asupan makanan dan zat gizi.
5) Pantau dan dokumentasikan asupan makanan dan zat gizi pasien.
b. Manajemen Mual
1) Kaji penyebab dan karakteristik mual yang dialami pasien.
2) Ajarkan teknik manajemen mual, seperti pernafasan dalam dan distraksi.
3) Berikan obat-obatan antiemetik sesuai dengan resep dokter.
4) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk mengatur pola makan yang dapat mengurangi mual.
5) Pantau dan dokumentasikan frekuensi dan tingkat keparahan mual yang dialami pasien.
c. Edukasi Kesehatan
1) Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga terkait pentingnya asupan nutrisi yang adekuat.
2) Ajarkan pasien dan keluarga tentang manajemen mual dan cara meningkatkan nafsu makan.
3) Libatkan pasien dan keluarga dalam perencanaan dan evaluasi asuhan keperawatan.
Dengan melaksanakan intervensi keperawatan yang komprehensif dan terpadu, diharapkan pasien dapat mencapai luaran/output yang diharapkan, yaitu peningkatan nafsu makan, peningkatan status nutrisi, dan kontrol mual. -
Article No. 8586 | 11 Dec 2024
Klinis : nyeri
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan: Nyeri Akut
Penjelasan singkat:
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI):
Nyeri Akut didefinisikan sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial atau dijelaskan dalam istilah tersebut. Nyeri akut biasanya memiliki onset tiba-tiba, durasi terbatas, dan intensitas bervariasi.
Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI):
Tujuan utama dari penanganan nyeri akut adalah mengurangi nyeri dan meningkatkan kemampuan pasien dalam mengatasi nyeri. Indikator luaran yang dapat digunakan antara lain:
1. Pasien melaporkan nyeri terkontrol
2. Pasien menunjukkan tanda-tanda vital dalam rentang normal
3. Pasien menunjukkan perilaku koping yang efektif terhadap nyeri
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI):
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi nyeri akut meliputi:
1. Manajemen nyeri: Identifikasi karakteristik nyeri, kolaborasi pemberian analgesik, dan penggunaan teknik nonfarmakologis.
2. Pemberian kenyamanan: Pengaturan posisi, kompres hangat/dingin, dan distraksi.
3. Edukasi: Informasi mengenai penyebab, faktor yang memengaruhi, dan strategi penanganan nyeri.
Penerapan standar SDKI, SLKI, dan SIKI ini membantu perawat dalam melakukan pengkajian, perencanaan, implementasi, dan evaluasi asuhan keperawatan yang komprehensif dan berkualitas bagi pasien dengan nyeri akut. -
Article No. 8587 | 11 Dec 2024
Klinis : Kasus: Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL eGFR 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo. Buatkan askep sesuai kasus di atas (format sesuai yang diajarkan saat kuliah)
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI yang sesuai untuk kondisi di atas:
1. Intoleransi Aktivitas
- Definisi: Ketidakmampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas sehari-hari yang diinginkan atau dibutuhkan.
- Penyebab: Kondisi fisik, seperti penurunan fungsi kardiovaskular.
2. Perubahan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh
- Definisi: Asupan nutrisi yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
- Penyebab: Anoreksia, gastroparesis, dan kondisi medis lainnya yang menyebabkan penurunan nafsu makan.
3. Ketidakseimbangan Cairan
- Definisi: Ketidakmampuan untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh.
- Penyebab: Gangguan fungsi ginjal, gagal jantung, dan penyebab lainnya yang menyebabkan ketidakseimbangan cairan.
4. Resiko Perubahan Perfusi Jaringan
- Definisi: Berisiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke organ atau jaringan tubuh.
- Penyebab: Gagal jantung, hipotensi, dan kondisi lain yang dapat menyebabkan penurunan perfusi jaringan.
Luaran/Output yang Diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Intoleransi Aktivitas:
- Aktivitas Toleransi: Pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari dengan bantuan minimal.
- Pemulihan Fisik: Pasien menunjukkan peningkatan kemampuan fisik untuk beraktivitas.
2. Perubahan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh:
- Intake Nutrisi: Pasien menunjukkan peningkatan asupan nutrisi.
- Status Gizi: Pasien menunjukkan peningkatan status gizi.
3. Ketidakseimbangan Cairan:
- Keseimbangan Cairan: Pasien mencapai keseimbangan cairan yang adekuat.
- Perfusi Jaringan: Pasien menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.
4. Resiko Perubahan Perfusi Jaringan:
- Perfusi Jaringan: Pasien menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.
- Hemodinamik: Pasien menunjukkan stabilitas hemodinamik.
Intervensi Keperawatan yang Diperlukan untuk Mencapai Tujuan Luaran (SIKI):
1. Intoleransi Aktivitas:
- Manajemen Aktivitas
- Terapi Latihan
- Monitoring Tanda-Tanda Vital
2. Perubahan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh:
- Manajemen Nutrisi
- Terapi Nutrisi Enteral
- Konseling Gizi
3. Ketidakseimbangan Cairan:
- Manajemen Cairan
- Monitoring Intake dan Output
- Manajemen Edema
4. Resiko Perubahan Perfusi Jaringan:
- Manajemen Hemodinamik
- Manajemen Oksigenasi
- Manajemen Sirkulasi
Penjelasan rinci:
Pasien ini mengalami kondisi yang kompleks, termasuk gagal jantung kongestif, vaskulitis yang dimediasi imun, dan penyakit penyerta lainnya. Intervensi keperawatan yang komprehensif diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi pasien.
Intervensi terkait intoleransi aktivitas bertujuan untuk meningkatkan toleransi dan kemampuan fisik pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Terapi latihan dan monitoring tanda-tanda vital dapat membantu pasien meningkatkan kapasitas fungsionalnya.
Intervensi terkait perubahan nutrisi bertujuan untuk meningkatkan asupan nutrisi dan status gizi pasien. Manajemen nutrisi, terapi nutrisi enteral, dan konseling gizi dapat membantu mengatasi anoreksia dan memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
Intervensi terkait ketidakseimbangan cairan bertujuan untuk mencapai keseimbangan cairan yang adekuat dan memperbaiki perfusi jaringan. Manajemen cairan, monitoring intake dan output, serta manajemen edema dapat membantu mengatasi masalah-masalah terkait keseimbangan cairan.
Intervensi terkait risiko perubahan perfusi jaringan bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan dan stabilitas hemodinamik pasien. Manajemen hemodinamik, manajemen oksigenasi, dan manajemen sirkulasi dapat membantu mengatasi gangguan perfusi jaringan akibat gagal jantung kongestif.
Melalui intervensi keperawatan yang komprehensif dan terintegrasi, diharapkan pasien dapat mencapai luaran yang diharapkan, yaitu peningkatan toleransi aktivitas, perbaikan status nutrisi, keseimbangan cairan, dan perbaikan perfusi jaringan, sehingga dapat mempertahankan dan meningkatkan tingkat aktivitasnya. -
Article No. 8588 | 11 Dec 2024
Klinis : Kasus: Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL eGFR 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo. Buatkan askep sesuai kasus di atas (format sesuai yang diajarkan saat kuliah)
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kasus yang diuraikan, berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat terkait SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia), SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia), dan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
Diagnosa Keperawatan:
1. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan penurunan fungsi kardiovaskular dan vaskuler, serta anemia.
2. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer berhubungan dengan penurunan curah jantung, vasokonstriksi perifer, dan penyakit pembuluh darah.
3. Malnutrisi berhubungan dengan anoreksia, gangguan gastrointestinal, dan peningkatan kebutuhan metabolik.
4. Risiko Infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, obat imunosupresif, dan prosedur invasif.
Penjelasan Singkat:
1. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan penurunan fungsi kardiovaskular dan vaskuler, serta anemia.
- SDKI: Ketidakmampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas rutin yang diinginkan atau dibutuhkan karena adanya keterbatasan kapasitas fisik.
- SLKI: Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa kelelahan yang berlebihan.
- SIKI: Manajemen Aktivitas, Manajemen Energi, Manajemen Kardiovaskular.
2. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer berhubungan dengan penurunan curah jantung, vasokonstriksi perifer, dan penyakit pembuluh darah.
- SDKI: Kekurangan suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan perifer yang dapat mengancam kesehatan.
- SLKI: Pasien dapat mempertahankan perfusi jaringan perifer yang adekuat.
- SIKI: Manajemen Hemodinamik, Manajemen Sirkulasi, Manajemen Rasa Dingin.
3. Malnutrisi berhubungan dengan anoreksia, gangguan gastrointestinal, dan peningkatan kebutuhan metabolik.
- SDKI: Intake nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
- SLKI: Pasien dapat mempertahankan status gizi yang optimal.
- SIKI: Manajemen Nutrisi, Manajemen Obat, Manajemen Mual.
4. Risiko Infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, obat imunosupresif, dan prosedur invasif.
- SDKI: Peningkatan risiko tertular atau terkena agen infeksi.
- SLKI: Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi.
- SIKI: Manajemen Infeksi, Manajemen Impulsivitas, Manajemen Imunitas.
Sebagai perawat, saya akan menggunakan pendekatan holistik dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan pasien, dengan mempertimbangkan aspek fisik, mental, emosional, dan spiritual. Tujuan utama adalah membantu pasien mencapai status kesehatan yang optimal dan mempertahankan kualitas hidup yang baik. -
Article No. 8589 | 11 Dec 2024
Klinis : Kasus: Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL eGFR 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo. Buatkan askep sesuai kasus di atas (format sesuai yang diajarkan saat kuliah)
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kasus di atas, berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
Diagnosa Keperawatan:
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan curah jantung dan disfungsi hati dan ginjal, sebagaimana ditunjukkan oleh anoreksia, peningkatan enzim hati, peningkatan kadar nitrogen urea darah, dan penurunan laju filtrasi glomerulus.
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan fungsi pernapasan, sebagaimana ditunjukkan oleh dispnea, efusi pleura bilateral, dan hipoksemia.
3. Kurang volume cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler dan penurunan intake, sebagaimana ditunjukkan oleh hipoproteinemia, edema perifer, dan distensi vena jugularis.
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
1. Intoleransi aktivitas
- Definisi: Ketidakmampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas rutin yang diinginkan atau yang diperlukan pada tingkat yang diharapkan
- Faktor yang berhubungan: Perubahan fisiologis (penurunan curah jantung, gangguan fungsi hati dan ginjal)
- Karakteristik mayor: Anoreksia, kelelahan, peningkatan enzim hati, peningkatan nitrogen urea darah, penurunan laju filtrasi glomerulus
2. Ketidakefektifan pola napas
- Definisi: Ketidakmampuan untuk bernapas dengan mudah yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan oksigen atau karbon dioksida
- Faktor yang berhubungan: Penurunan fungsi pernapasan
- Karakteristik mayor: Dispnea, efusi pleura bilateral, hipoksemia
3. Kurang volume cairan
- Definisi: Penurunan volume cairan intravaskular, interstisial, atau intrasellular
- Faktor yang berhubungan: Peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan intake
- Karakteristik mayor: Hipoproteinemia, edema perifer, distensi vena jugularis
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
1. Toleransi aktivitas
- Luaran: Tingkat toleransi aktivitas
- Indikator: Kemampuan melakukan aktivitas rutin, tingkat kelelahan, tingkat energi
2. Status pernapasan
- Luaran: Efektivitas pola napas
- Indikator: Kecukupan ventilasi, tingkat dispnea, saturasi oksigen
3. Volume cairan
- Luaran: Keseimbangan cairan
- Indikator: Hidrasi jaringan, tingkat edema, tekanan darah
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
1. Manajemen aktivitas
- Intervensi: Memantau toleransi aktivitas, memfasilitasi aktivitas, membantu aktivitas sehari-hari
- Tujuan: Meningkatkan toleransi aktivitas
2. Manajemen jalan napas
- Intervensi: Memantau pola napas, memberikan oksigen, memposisikan pasien
- Tujuan: Mempertahankan jalan napas yang efektif
3. Manajemen cairan
- Intervensi: Memantau intake dan output cairan, mengelola pemberian cairan, memantau tanda-tanda dehidrasi
- Tujuan: Mempertahankan keseimbangan cairan
Secara keseluruhan, tujuan utama perawatan pada kasus ini adalah untuk meningkatkan toleransi aktivitas, mempertahankan pola napas yang efektif, dan mempertahankan keseimbangan cairan pasien, mengingat kondisi gagal jantung kongestif yang disertai dengan disfungsi hati dan ginjal. Intervensi keperawatan yang dilakukan akan berfokus pada pemantauan dan manajemen kondisi klinis pasien untuk mencapai luaran yang diharapkan.