Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 8795 | 12 Dec 2024
Klinis : susah tidur karena nyeri
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, berikut adalah Diagnosa Keperawatan dan penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi susah tidur karena nyeri:
Diagnosa Keperawatan:
Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan Nyeri
Penjelasan singkat:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Gangguan Pola Tidur didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan kualitas dan kuantitas tidur yang diinginkan.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
Luaran yang diharapkan dari diagnosa ini adalah pasien dapat mencapai dan mempertahankan pola tidur yang adekuat.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Manajemen Nyeri: Intervensi untuk mengurangi atau mengontrol nyeri yang dialami pasien.
2. Terapi Relaksasi: Intervensi untuk memfasilitasi relaksasi fisik dan mental pasien.
3. Edukasi Manajemen Tidur: Intervensi untuk memberikan informasi dan pelatihan kepada pasien dalam mengelola pola tidurnya.
Sebagai perawat profesional, saya akan melakukan pengkajian yang komprehensif terhadap kondisi pasien, mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola tidur, dan kemudian menyusun rencana asuhan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien. Tujuan utamanya adalah membantu pasien mencapai kualitas tidur yang adekuat dan mengatasi permasalahan nyeri yang mengganggu tidurnya. -
Article No. 8797 | 12 Dec 2024
Klinis : DS : Pasien mengatakan tidak ada kelemahan pada ekstremitasnya DO : Kesadaran CM, pupil isokor, Reflek cahaya +/+. TD : 247/122mmhg, nadi : 73x/m, respirasi : 22x/m, suhu : 36, spo2 : 98% IV line no. 20 di vena metacarpal sinistra dengan infus Asering 1000 cc/24 jam Terpasang DC no. 16, produksi urine kuning jernih. Skala nyeri 0. Riwayat Stroke 5 tahun yang lalu ( hemiparese dextra ) Riwayat Hipertensi ( minum Amlodipin 1 x 10 mg ) drip Heparin 10.000 unit/24 jam.
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI yang Sesuai:
1. Ketidakstabilan Hemodinamik
Definisi: Ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu dalam rentang normal.
Faktor Terkait: Riwayat hipertensi, kondisi pasca-stroke.
Karakteristik Mayor: Tekanan darah tinggi, perubahan tanda-tanda vital.
2. Risiko Cedera
Definisi: Berisiko mengalami kerusakan fisik akibat interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Faktor Terkait: Riwayat stroke, hemiparese dextra.
Karakteristik Mayor: Gerakan terbatas, riwayat jatuh/cedera.
Luaran/Output yang Diharapkan (SLKI):
1. Stabilitas Hemodinamik
- Tekanan darah dalam rentang normal
- Nadi dan respirasi dalam rentang normal
- Suhu tubuh dalam rentang normal
2. Integritas Fisik
- Tidak terjadi cedera selama perawatan
- Fungsi motorik ekstremitas membaik
Intervensi Keperawatan yang Diperlukan (SIKI):
1. Manajemen Hemodinamik
- Monitor tanda-tanda vital secara rutin
- Kolaborasi dengan tim medis untuk pengobatan hipertensi
- Atur posisi semi-Fowler untuk meningkatkan aliran darah
2. Manajemen Risiko Cedera
- Identifikasi faktor risiko cedera (riwayat stroke, hemiparese)
- Lakukan latihan fisik dan range of motion untuk ekstremitas
- Edukasi pasien dan keluarga tentang pencegahan jatuh
- Kolaborasi dengan fisioterapi untuk rehabilitasi
Penjelasan Rinci:
Pasien ini memiliki riwayat stroke 5 tahun lalu dengan hemiparese dextra, serta riwayat hipertensi. Tekanan darah yang tinggi (247/122 mmHg) dan tanda-tanda vital lain yang terganggu menunjukkan adanya ketidakstabilan hemodinamik. Selain itu, riwayat stroke dan hemiparese meningkatkan risiko cedera pada pasien.
Oleh karena itu, diagnosa keperawatan yang sesuai adalah Ketidakstabilan Hemodinamik dan Risiko Cedera. Luaran/output yang diharapkan adalah Stabilitas Hemodinamik dan Integritas Fisik. Intervensi keperawatan yang diperlukan meliputi Manajemen Hemodinamik untuk mengendalikan tekanan darah dan tanda-tanda vital, serta Manajemen Risiko Cedera untuk mencegah komplikasi akibat stroke dan memaksimalkan fungsi motorik.
Perawat perlu memantau tanda-tanda vital secara rutin, berkolaborasi dengan tim medis untuk pengobatan hipertensi, dan mengatur posisi pasien untuk meningkatkan aliran darah. Selain itu, perawat juga perlu melakukan identifikasi faktor risiko cedera, memberikan latihan fisik dan range of motion, serta melakukan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang pencegahan jatuh. Kolaborasi dengan fisioterapi juga diperlukan untuk rehabilitasi pasien. -
Article No. 8798 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang diberikan, berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat menggunakan standar SDKI, SLKI, dan SIKI dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
Diagnosa Keperawatan:
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan fungsi kardiovaskular dan respirasi yang ditandai dengan kelelahan, anoreksia, dan napas pendek.
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Intoleransi aktivitas adalah ketidakmampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas rutin yang diinginkan atau diperlukan, akibat keterbatasan fisik dan/atau psikologis.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
Luaran yang diharapkan:
- Pasien dapat berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari sesuai kemampuan.
- Pasien mencapai tingkat energi yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
Intervensi yang dapat dilakukan:
- Manajemen aktivitas: mengatur dan merencanakan aktivitas sehari-hari pasien.
- Manajemen energi: membantu pasien mengatur penggunaan energi secara efisien.
- Peningkatan aktivitas: membantu pasien meningkatkan toleransi terhadap aktivitas.
2. Malnutrisi berhubungan dengan anoreksia yang ditandai dengan penurunan berat badan.
SDKI:
Malnutrisi adalah status gizi yang tidak seimbang, baik kekurangan maupun kelebihan, yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
SLKI:
Luaran yang diharapkan:
- Pasien dapat mempertahankan berat badan yang adekuat.
- Pasien dapat mengonsumsi makanan sesuai kebutuhan.
SIKI:
Intervensi yang dapat dilakukan:
- Manajemen nutrisi: membantu pasien mengatur asupan gizi yang sesuai.
- Konseling gizi: memberikan edukasi dan konseling terkait kebutuhan nutrisi pasien.
- Pemantauan nutrisi: memantau status nutrisi pasien secara berkala.
Penjelasan singkat:
Pasien mengalami anoreksia (penurunan nafsu makan) yang menyebabkan penurunan berat badan. Hal ini terkait dengan kondisi kesehatan pasien, seperti gagal jantung kongestif, pneumonia, dan kemungkinan vaskulitis yang dimediasi imun. Intervensi keperawatan yang dapat diberikan adalah manajemen nutrisi, konseling gizi, dan pemantauan nutrisi untuk memastikan asupan makanan yang adekuat dan mempertahankan status gizi pasien. -
Article No. 8799 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide. Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium. Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang Anda berikan, berikut adalah diagnosis keperawatan, penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI, serta rencana keperawatan untuk kondisi pasien tersebut:
Diagnosis Keperawatan:
1. Risiko Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan peningkatan kehilangan cairan akibat gagal jantung kongestif.
2. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan penurunan kekuatan dan daya tahan akibat anemia dan gagal jantung.
3. Defisit Nutrisi berhubungan dengan anoreksia dan penurunan asupan makanan akibat penyakit.
Penjelasan Singkat SDKI - SLKI - SIKI:
1. Risiko Kekurangan Volume Cairan
- SDKI: Penurunan cairan intravasal yang dapat mengancam kehidupan.
- SLKI: Perawatan Cairan dan Elektrolit
- SIKI: Pemantauan Cairan, Pengelolaan Cairan Intravena, Terapi Diuretik.
2. Intoleransi Aktivitas
- SDKI: Keterbatasan kemampuan untuk mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas rutin.
- SLKI: Manajemen Energi, Peningkatan Aktivitas.
- SIKI: Manajemen Kelelahan, Edukasi Aktivitas.
3. Defisit Nutrisi
- SDKI: Asupan nutrisi tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
- SLKI: Manajemen Nutrisi.
- SIKI: Terapi Nutrisi Enteral, Edukasi Gizi.
Rencana Keperawatan:
1. Pemantauan keseimbangan cairan, intake-output, tanda-tanda vital, dan edema untuk mendeteksi dan mengelola risiko kekurangan volume cairan.
2. Intervensi untuk meningkatkan toleransi aktivitas, seperti latihan fisik bertahap, manajemen energi, dan edukasi.
3. Pemberian nutrisi enteral atau parenteral untuk memenuhi kebutuhan gizi, serta edukasi gizi untuk meningkatkan asupan makanan.
4. Kolaborasi dengan tim medis untuk penanganan penyakit dasar, seperti pengobatan gagal jantung, vaskulitis autoimun, dan komplikasi lainnya.
5. Dukungan psikososial dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan kemandirian pasien.
Implementasi dan evaluasi akan dilakukan secara berkala untuk memantau kemajuan pasien dan menyesuaikan rencana perawatan sesuai kebutuhan. -
Article No. 8800 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide. Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium. Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi pasien yang diberikan, berikut adalah diagnosa keperawatan SDKI, luaran/output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan (SLKI), dan intervensi keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan luaran (SIKI):
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Kardiak (SDKI 2017)
Definisi: Penurunan sirkulasi darah ke jantung, yang dapat mengancam kesehatan.
Faktor Berhubungan: Penurunan kontraktilitas miokard, edema paru, regurgitasi katup mitral dan trikuspid.
2. Batas Intoleransi Aktivitas (SDKI 2017)
Definisi: Ketidakmampuan untuk mentoleransi aktivitas fisik.
Faktor Berhubungan: Penurunan kontraktilitas miokard, kelelahan, penurunan nafsu makan.
3. Risiko Gangguan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh (SDKI 2017)
Definisi: Berisiko mengalami asupan nutrisi yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Faktor Berhubungan: Penurunan nafsu makan, mual.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Perfusi Jaringan Jantung (SLKI 2019)
Kriteria Hasil:
- Irama jantung teratur
- Pengisian nadi normal
- Tekanan darah sistolik dan diastolik dalam batas normal
- Tidak ada tanda-tanda gagal jantung
2. Toleransi Aktivitas (SLKI 2019)
Kriteria Hasil:
- Mampu melakukan aktivitas sehari-hari tanpa kelelahan berlebih
- Tidak ada keluhan sesak napas saat aktivitas
- Tidak ada peningkatan denyut nadi yang signifikan saat aktivitas
3. Status Nutrisi (SLKI 2019)
Kriteria Hasil:
- Berat badan dalam batas normal
- Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
- Asupan nutrisi adekuat
- Tidak ada mual atau muntah
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Perfusi Jaringan Jantung (SIKI 2018)
Intervensi:
- Monitor tanda-tanda vital secara teratur
- Pantau output jantung dan gejala gagal jantung
- Berikan terapi farmakologis sesuai resep dokter (diuretik, inotropik)
- Kolaborasi dengan tim medis untuk mengelola kondisi jantung
2. Manajemen Aktivitas (SIKI 2018)
Intervensi:
- Evaluasi toleransi aktivitas pasien
- Bantu pasien dalam aktivitas sehari-hari sesuai kemampuan
- Anjurkan istirahat yang cukup
- Ajarkan teknik manajemen energi
- Kolaborasi dengan tim rehabilitasi
3. Manajemen Nutrisi (SIKI 2018)
Intervensi:
- Kaji status nutrisi pasien
- Sediakan makanan yang sesuai dengan preferensi dan kondisi pasien
- Bantu pasien dalam makan jika diperlukan
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk intervensi nutrisi yang tepat
- Monitor asupan dan output cairan pasien
Penjelasan:
Diagnosa keperawatan SDKI yang sesuai dengan kondisi pasien adalah Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Kardiak, Batas Intoleransi Aktivitas, dan Risiko Gangguan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh. Luaran/output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan adalah perfusi jaringan jantung yang optimal, toleransi aktivitas yang baik, dan status nutrisi yang adekuat. Intervensi keperawatan yang diperlukan mencakup pemantauan tanda-tanda vital, manajemen aktivitas dan nutrisi, serta kolaborasi dengan tim medis dan rehabilitasi untuk mengelola kondisi pasien secara komprehensif. -
Article No. 8801 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide. Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium. Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, berdasarkan informasi yang diberikan, berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat dari SDKI, SLKI, dan SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi pasien tersebut:
Diagnosa Keperawatan:
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gagal jantung kongestif dan syok kardiogenik
SDKI:
Definisi - Penurunan sirkulasi darah ke bagian tubuh tertentu yang dapat mengancam fungsi jaringan.
Faktor Berhubungan - Penurunan curah jantung, penurunan aliran darah perifer, vasokonstriksi perifer.
SLKI:
Indikator Hasil - Suhu ekstremitas mencapai rentang normal, pengisian kapiler kurang dari 3 detik, tidak ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi perifer.
SIKI:
Intervensi Keperawatan - Pantau tanda-tanda vital, monitor sirkulasi perifer, berikan oksigen, berikan vasopressor/inotropik, atur posisi untuk meningkatkan aliran darah.
2. Penurunan status nutrisi berhubungan dengan anoreksia
SDKI:
Definisi - Asupan nutrisi yang tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
Faktor Berhubungan - Anoreksia, mual, gangguan absorbsi.
SLKI:
Indikator Hasil - Berat badan dalam batas normal, intake nutrisi adekuat, tidak ada tanda-tanda kekurangan nutrisi.
SIKI:
Intervensi Keperawatan - Identifikasi faktor penyebab penurunan status nutrisi, monitor asupan nutrisi, berikan nutrisi enteral/parenteral, konsultasi ahli gizi.
3. Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun
SDKI:
Definisi - Rentan terhadap invasi dan multiplikasi organisme patogen yang dapat membahayakan kesehatan.
Faktor Berhubungan - Penurunan sistem imun, prosedur terapeutik.
SLKI:
Indikator Hasil - Tidak ada tanda-tanda infeksi, pemeriksaan laboratorium dalam batas normal.
SIKI:
Intervensi Keperawatan - Monitor tanda-tanda infeksi, berikan terapi antibiotik, pertahankan kebersihan, tingkatkan imunitas.
Penjelasan singkat:
Pasien mengalami gagal jantung kongestif yang menyebabkan penurunan perfusi jaringan perifer dan syok kardiogenik. Selain itu, pasien juga mengalami anoreksia yang menyebabkan penurunan status nutrisi. Kondisi pasien yang rentan terhadap infeksi akibat penurunan sistem imun juga perlu diantisipasi. Perawatan yang komprehensif diperlukan untuk mengatasi permasalahan kesehatan pasien secara holistik. -
Article No. 8802 | 12 Dec 2024
Klinis : S : Pasien mengatakan saat ini keluhan susah menelan O : Kesadaran CM, pupil isokor, Reflek cahaya +/+. TD : 200/100 mmhg, nadi : 90 x/m, respirasi : 22x/m, suhu : 36, spo2 : 98% IV line no. 20 di vena metacarpal sinistra ( 12/12/24 ) dengan infus Asering 1000 cc/24 jam. Nicardipin 0.5 mcg/kg/menit. drip Heparin 10.000 unit/24 jam. Terpasang NGT no. 16 ( 12/12/2024 ). Terpasang DC no. 16 ( 12/12/2024 ) produksi urine kuning jernih. Skala nyeri 0. Riwayat Stroke 5 tahun yang lalu ( hemiparese dextra ). Riwayat Hipertensi ( minum Amlodipin 1 x 10 mg ).
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Certainly, I will provide a detailed and comprehensive response as a nursing expert.
Diagnosa Keperawatan SDKI yang sesuai:
1. Gangguan Menelan (Dysphagia) berhubungan dengan perubahan neurologis sekunder akibat riwayat stroke.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Kemampuan Menelan Meningkat
- Pasien dapat menelan makanan dan cairan dengan aman tanpa komplikasi
- Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda aspirasi saat menelan
- Pasien dapat mempertahankan berat badan dan status nutrisi yang adekuat
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Manajemen Disfagia
- Lakukan skrining dan evaluasi fungsi menelan
- Kolaborasi dengan tim terapi wicara untuk intervensi spesifik
- Berikan posisi yang aman saat makan/minum
- Modifikasi tekstur dan konsistensi makanan/minuman
- Perhatikan tanda-tanda aspirasi saat makan/minum
- Latih teknik menelan yang aman
- Lakukan stimulasi oral dan latihan menelan
Penjelasan:
1. Diagnosa Keperawatan SDKI
- Gangguan Menelan (Dysphagia) adalah diagnosa yang sesuai karena pasien mengeluhkan kesulitan menelan, yang merupakan gejala umum pasca stroke.
- Kondisi ini terkait dengan perubahan neurologis akibat riwayat stroke yang dialami pasien.
2. Luaran/Output yang diharapkan (SLKI)
- Kemampuan Menelan Meningkat adalah luaran yang diharapkan, dengan tujuan agar pasien dapat menelan makanan dan cairan dengan aman tanpa komplikasi, tidak menunjukkan tanda-tanda aspirasi, serta dapat mempertahankan status nutrisi yang adekuat.
3. Intervensi Keperawatan yang diperlukan (SIKI)
- Manajemen Disfagia merupakan intervensi utama yang perlu dilakukan, meliputi skrining dan evaluasi fungsi menelan, kolaborasi dengan tim terapi wicara, pengaturan posisi saat makan/minum, modifikasi tekstur dan konsistensi makanan/minuman, pemantauan tanda-tanda aspirasi, latihan teknik menelan yang aman, serta stimulasi oral dan latihan menelan.
Keseluruhan intervensi ini bertujuan untuk memulihkan kemampuan menelan pasien secara bertahap, sehingga dapat mencapai luaran yang diharapkan, yaitu peningkatan kemampuan menelan dengan aman dan tanpa komplikasi. -
Article No. 8649 | 12 Dec 2024
Klinis : Tn. A, seorang pria berusia 55 tahun, didiagnosis dengan kanker paru-paru stadium III. Dalam tiga bulan terakhir, berat badan Tn. A mengalami penurunan signifikan sebesar 10 kg, disertai gejala batuk berdarah, nyeri dada yang menetap, serta sesak napas. Secara psikologis, ia sering merasa cemas yang berlebihan terkait hasil pengobatannya dan menunjukkan tanda-tanda putus asa. Sebagai kepala keluarga, Tn. A merasa sulit menerima dukungan dari keluarganya karena ia menganggap dirinya sebagai beban, yang semakin memperberat kondisi emosionalnya.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, berdasarkan kondisi yang Anda deskripsikan mengenai Tn. A, seorang pria berusia 55 tahun yang didiagnosis dengan kanker paru-paru stadium III, berikut adalah diagnosa keperawatan, beserta penjelasan singkat SDKI, SLKI, dan SIKI sesuai dengan standar Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
Diagnosa Keperawatan:
1. Malnutrisi berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat dan perubahan metabolisme akibat kanker paru-paru.
2. Nyeri kronis berhubungan dengan perubahan patologis pada paru-paru akibat kanker.
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan napas dan keletihan.
4. Ansietas berhubungan dengan kondisi penyakit terminal dan prognosis yang tidak pasti.
5. Gangguan harga diri situasional berhubungan dengan perubahan peran dan status sosial akibat penyakit.
Penjelasan singkat SDKI, SLKI, dan SIKI:
1. Malnutrisi:
- SDKI: Keadaan di mana asupan nutrisi tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
- SLKI: Peningkatan berat badan, perubahan komposisi tubuh, perbaikan status gizi.
- SIKI: Intervensi perawatan nutrisi, konseling gizi, dan pemantauan status nutrisi.
2. Nyeri Kronis:
- SDKI: Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang berkepanjangan.
- SLKI: Penurunan intensitas, durasi, dan frekuensi nyeri.
- SIKI: Manajemen nyeri, terapi relaksasi, pemberian analgesik, dan edukasi.
3. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas:
- SDKI: Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekresi atau obstruksi jalan napas.
- SLKI: Pemeliharaan jalan napas yang efektif, peningkatan kebersihan jalan napas.
- SIKI: Fisioterapi dada, pengisapan lendir, dan terapi oksigen.
4. Ansietas:
- SDKI: Respon individu terhadap ancaman yang tidak diketahui yang disebabkan oleh antisipasi bahaya.
- SLKI: Penurunan gejala ansietas, peningkatan koping yang efektif.
- SIKI: Terapi relaksasi, psikoterapi, dan pemberian obat anti-ansietas.
5. Gangguan Harga Diri Situasional:
- SDKI: Penilaian negatif terhadap diri sendiri atau kemampuan diri yang disebabkan oleh perubahan situasi.
- SLKI: Peningkatan penerimaan diri, peningkatan persepsi diri yang positif.
- SIKI: Konseling, terapi kelompok, dan fasilitasi dukungan sosial.
Secara keseluruhan, pendekatan keperawatan yang holistik dan kolaboratif diperlukan untuk mengelola kondisi Tn. A, yang melibatkan aspek fisik, psikologis, dan sosial. -
Article No. 8650 | 12 Dec 2024
Klinis : . Seorang anak usia 4 tahun dirawat di ruang anak karena riwayat demam 3 hari yang lalu dan kurang nafsu makan. Hasil pemeriksaaan : kesadaran compos mentis, nadi reguler, kuat, frekuensi nadi 80 x/menit, RR 45 x/menit, suhu 39,5 oC, ekstremitas hangat, uji tourniquet positif. Hasil Laboratorium: trombosit 90.000 sel/mm3, leukosit 9.000/mm3, Ht 45%. Apakah rencana tindakan prioritas yang paling tepat untuk kasus diatas?
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi yang diberikan, diagnosa keperawatan yang sesuai berdasarkan SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia) adalah:
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Risiko Syok Hipovolemik
Definisi: Penurunan volume cairan intravaskuler yang dapat mengancam fungsi organ.
Faktor Risiko: Kehilangan cairan akibat demam, penurunan asupan cairan, dan trombositopenia.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Stabilitas Hemodinamik
Definisi: Kemampuan untuk mempertahankan curah jantung yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan.
Kriteria Hasil:
a. Mempertahankan tekanan darah dalam batas normal.
b. Mempertahankan frekuensi nadi dalam batas normal.
c. Mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat.
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Manajemen Cairan
Definisi: Pengaturan masukan dan pengeluaran cairan untuk mempertahankan keseimbangan cairan.
Aktivitas Keperawatan:
a. Kaji tanda-tanda dehidrasi dan shock hipovolemik.
b. Monitor status cairan (intake, output, dan keseimbangan cairan).
c. Berikan cairan intravena sesuai indikasi untuk mempertahankan volume cairan.
d. Berikan antipiretik untuk mengurangi demam.
e. Pantau vital sign dan tanda-tanda vital secara berkala.
Penjelasan Rinci:
Kondisi anak usia 4 tahun dengan riwayat demam 3 hari, kurang nafsu makan, dan hasil laboratorium menunjukkan trombositopenia mengindikasikan risiko tinggi terjadinya syok hipovolemik. Penurunan volume cairan intravaskuler akibat demam dan penurunan asupan cairan dapat mengancam fungsi organ. Oleh karena itu, intervensi prioritas yang perlu dilakukan adalah manajemen cairan untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik anak. Hal ini mencakup pengkajian tanda-tanda dehidrasi dan syok, pemantauan status cairan, pemberian cairan intravena, pemberian antipiretik, serta pemantauan tanda-tanda vital secara berkala. Dengan intervensi yang tepat, diharapkan status hemodinamik anak dapat stabil dan mencegah komplikasi lebih lanjut. -
Article No. 8651 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang anak usia 4 tahun dirawat di ruang anak karena riwayat demam 3 hari yang lalu dan kurang nafsu makan. Hasil pemeriksaaan : kesadaran compos mentis, nadi reguler, kuat, frekuensi nadi 80 x/menit, RR 45 x/menit, suhu 39,5 oC, ekstremitas hangat, uji tourniquet positif. Hasil Laboratorium: trombosit 90.000 sel/mm3, leukosit 9.000/mm3, Ht 45%. Apakah rencana tindakan prioritas yang paling tepat untuk kasus diatas? a. Monitor adanya perdarahan gusi dan epistaksis b. Berikan terapi antiperdarahan dan transfuse darah c. Lakukan kompres hangat dan kolaborasi antipiretik d. Observasi penurunan trombosit dan kenaikan hematokrit e. Anjurkan anak banyak minum dan kolaborasi pemberian cairan intravena
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan diagnosa keperawatan, luaran asuhan keperawatan, dan intervensi keperawatan yang sesuai untuk kondisi anak usia 4 tahun dengan riwayat demam 3 hari, kurang nafsu makan, dan hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan trombositopenia.
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Risiko Perdarahan berhubungan dengan penurunan trombosit yang ditandai dengan hasil laboratorium trombosit 90.000 sel/mm3.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Tidak terjadi perdarahan
- Indikator:
a. Tidak ada tanda-tanda perdarahan (perdarahan gusi, epistaksis, dll)
b. Tidak terjadi perdarahan spontan
c. Tidak ada peningkatan ukuran hematom
d. Hasil tes tourniquet negatif
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Monitor tanda-tanda perdarahan (perdarahan gusi, epistaksis, dll)
2. Kolaborasi pemberian terapi antiperdarahan (misalnya transfusi trombosit) jika perlu
3. Anjurkan anak untuk banyak minum dan kolaborasi pemberian cairan intravena
4. Lakukan kompres hangat pada area yang mudah perdarahan
5. Kolaborasi pemberian antipiretik untuk menurunkan demam
6. Observasi penurunan trombosit dan kenaikan hematokrit
Penjelasan:
1. Diagnosa Keperawatan SDKI "Risiko Perdarahan" dipilih karena adanya penurunan trombosit yang dapat meningkatkan risiko perdarahan pada anak.
2. Luaran/Output yang diharapkan adalah tidak terjadi perdarahan, yang ditandai dengan indikator-indikator seperti tidak ada tanda-tanda perdarahan, tidak terjadi perdarahan spontan, tidak ada peningkatan ukuran hematom, dan hasil tes tourniquet negatif.
3. Intervensi Keperawatan yang dilakukan meliputi:
a. Monitor tanda-tanda perdarahan untuk mendeteksi dini adanya komplikasi.
b. Kolaborasi pemberian terapi antiperdarahan seperti transfusi trombosit jika diperlukan.
c. Anjurkan anak banyak minum dan berikan cairan intravena untuk mencegah dehidrasi.
d. Lakukan kompres hangat pada area yang mudah perdarahan untuk membantu hemostasis.
e. Kolaborasi pemberian antipiretik untuk menurunkan demam.
f. Observasi penurunan trombosit dan kenaikan hematokrit untuk memantau perkembangan kondisi.