Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 8733 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang perempuan, usia 23 tahun, P1A0 past partum hari ke 7, datang ke poli KIA untuk control pasca pesalinan mengeluh nyeri dan keluar cairan kuning pada daerah jahitan episiotomy. Hasil pemeriksaan fisik TD: 110/70 mmHg, nadi; 92x/menit, RR: 20x/menit, Suhu : 38,50, skala nyeri 5 Apakah pengkajian selanjutnya pada kasus di atas ??
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI yang sesuai untuk kondisi tersebut:
1. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyembuhan luka episiotomi, ditandai dengan skala nyeri 5.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur episiotomi, ditandai dengan tanda-tanda infeksi seperti keluar cairan kuning pada daerah jahitan.
Pengkajian selanjutnya yang perlu dilakukan:
1. Pengkajian tanda-tanda vital secara berkala untuk mendeteksi adanya perubahan.
2. Pengkajian luka episiotomi, meliputi lokasi, ukuran, warna, jumlah eksudat, dan tanda-tanda infeksi.
3. Pengkajian riwayat kesehatan, termasuk riwayat alergi, riwayat infeksi, dan riwayat pemberian obat-obatan.
4. Pengkajian nyeri, meliputi lokasi, kualitas, intensitas, frekuensi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri.
5. Pengkajian status nutrisi dan intake cairan.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Nyeri Terkontrol: Pasien mampu mengendalikan nyeri, ditandai dengan penurunan skala nyeri menjadi ≤ 3.
2. Bebas Infeksi: Luka episiotomi tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi, seperti tidak ada eksudat kuning, tidak ada kemerahan, dan suhu tubuh normal.
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Manajemen Nyeri:
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif.
b. Berikan analgesik sesuai dengan resep dokter.
c. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri, seperti distraksi, relaksasi, dan kompres hangat.
d. Kolaborasi dengan dokter untuk evaluasi dan penyesuaian terapi analgesik.
2. Pencegahan Infeksi:
a. Lakukan perawatan luka episiotomi sesuai prosedur aseptik.
b. Pantau tanda-tanda infeksi, seperti suhu tubuh, warna, jumlah, dan karakteristik eksudat.
c. Berikan antibiotik sesuai resep dokter.
d. Ajarkan pasien tentang perawatan luka episiotomi di rumah.
e. Kolaborasi dengan dokter untuk evaluasi perkembangan luka dan pemberian terapi yang tepat.
Penjelasan rinci:
Sebagai seorang perawat, saya melakukan pengkajian yang komprehensif untuk mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang sesuai dengan kondisi pasien. Nyeri akut dan risiko infeksi merupakan diagnosa keperawatan yang paling relevan berdasarkan gejala yang dialami pasien. Selanjutnya, saya merancang luaran atau hasil yang diharapkan setelah pemberian asuhan keperawatan, yaitu nyeri terkontrol dan bebas infeksi. Untuk mencapai tujuan tersebut, saya menyusun intervensi keperawatan yang mencakup manajemen nyeri dan pencegahan infeksi. Intervensi ini dilakukan secara kolaboratif dengan dokter untuk memastikan penanganan yang optimal bagi pasien. -
Article No. 8734 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk Obat antikoagulan oral. (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL Egfr 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, berdasarkan kasus yang Anda deskripsikan, berikut adalah Diagnosa Keperawatan dan penjelasan singkat terkait SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
Diagnosa Keperawatan:
1. Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh
2. Intoleransi aktivitas
3. Penurunan curah jantung
4. Kegagalan sirkulasi perifer
5. Nyeri akut
6. Risiko infeksi
Penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI:
1. Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh
- SDKI: Keadaan di mana asupan nutrisi tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik.
- SLKI: Peningkatan asupan nutrisi, Pemantauan nutrisi, Pemberian nutrisi.
- SIKI: Manajemen Anoreksia, Manajemen Mual Muntah, Manajemen Berat Badan.
2. Intoleransi aktivitas
- SDKI: Keterbatasan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas rutin.
- SLKI: Peningkatan Toleransi Aktivitas, Manajemen Energi, Mobilisasi.
- SIKI: Manajemen Aktivitas, Manajemen Kelemahan.
3. Penurunan curah jantung
- SDKI: Keadaan di mana jantung tidak dapat memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
- SLKI: Peningkatan Perfusi Jaringan, Manajemen Cairan, Manajemen Shok.
- SIKI: Manajemen Gagal Jantung, Manajemen Syok.
4. Kegagalan sirkulasi perifer
- SDKI: Ketidakmampuan sistem kardiovaskular untuk mendistribusikan darah ke seluruh tubuh.
- SLKI: Peningkatan Perfusi Jaringan, Manajemen Cairan, Manajemen Syok.
- SIKI: Manajemen Syok, Manajemen Gangguan Sirkulasi.
5. Nyeri akut
- SDKI: Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan.
- SLKI: Manajemen Nyeri, Terapi Nyeri.
- SIKI: Manajemen Nyeri Akut, Manajemen Nyeri Kronis.
6. Risiko infeksi
- SDKI: Kerentanan terhadap invasi dan multiplikasi organisme patogen.
- SLKI: Pencegahan Infeksi, Manajemen Infeksi.
- SIKI: Manajemen Infeksi, Pencegahan Infeksi.
Dalam kasus ini, pasien mengalami anoreksia, penurunan curah jantung akibat gagal jantung kongestif, kegagalan sirkulasi perifer, serta risiko infeksi terkait kondisi medisnya yang kompleks. Perawatan yang komprehensif dan kolaboratif diperlukan untuk menangani masalah-masalah keperawatan tersebut. -
Article No. 8735 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk Obat antikoagulan oral. (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL Egfr 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang diberikan, saya dapat memberikan diagnosis keperawatan dan penjelasan singkat menggunakan standar SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia), SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia), dan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) yang ditetapkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) untuk kondisi pasien tersebut:
Diagnosis Keperawatan:
1. Kekurangan volume cairan terkait penurunan asupan makanan dan cairan, disebabkan oleh anoreksia dan komplikasi penyakit dasar.
2. Intoleransi aktivitas terkait penurunan fungsi kardiopulmonal, disebabkan oleh gagal jantung kongestif.
3. Nyeri akut terkait proses penyakit, disebabkan oleh vaskulitis autoimun.
4. Risiko infeksi terkait penurunan sistem imun, disebabkan oleh pansitopenia.
Penjelasan Singkat:
1. Kekurangan volume cairan:
- SDKI: Kekurangan Volume Cairan
- SLKI: Keseimbangan Cairan Terpenuhi
- SIKI: Manajemen Cairan, Peningkatan Asupan Nutrisi, Terapi Nutrisi
2. Intoleransi aktivitas:
- SDKI: Intoleransi Aktivitas
- SLKI: Toleransi Aktivitas Meningkat
- SIKI: Manajemen Aktivitas, Manajemen Energi, Terapi Latihan
3. Nyeri akut:
- SDKI: Nyeri Akut
- SLKI: Nyeri Terkontrol
- SIKI: Manajemen Nyeri, Manajemen Inflamasi, Terapi Farmakologis
4. Risiko infeksi:
- SDKI: Risiko Infeksi
- SLKI: Bebas Infeksi
- SIKI: Manajemen Infeksi, Manajemen Peradangan, Terapi Farmakologis
Dalam perawatan pasien ini, perawat perlu memfokuskan pada upaya untuk memenuhi kebutuhan cairan, mengatasi intoleransi aktivitas, mengelola nyeri, dan mencegah infeksi. Selain itu, perawat juga perlu melakukan pemantauan yang ketat terhadap kondisi pasien, termasuk tanda-tanda vital, intake-output, dan hasil pemeriksaan laboratorium, serta berkoordinasi dengan tim kesehatan lainnya untuk memberikan perawatan yang komprehensif. -
Article No. 8736 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk Obat antikoagulan oral. (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL Egfr 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang diberikan, berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat terkait dengan SDKI, SLKI, dan SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi yang dialami oleh pasien:
Diagnosa Keperawatan:
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan curah jantung dan gangguan fungsi organ akibat gagal jantung kongestif.
2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan malnutrisi.
3. Gangguan perfusi jaringan: perifer berhubungan dengan syok kardiogenik dan penurunan output jantung.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun.
Penjelasan Singkat:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
1. Intoleransi aktivitas: Ketidakmampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas sehari-hari akibat keterbatasan fisik dan psikologis.
2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh: Asupan nutrisi yang tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
3. Gangguan perfusi jaringan: perifer: Aliran darah yang tidak memadai ke jaringan perifer.
4. Resiko infeksi: Peningkatan rentan terhadap invasi dan multiplikasi organisme patogen.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
1. Toleransi aktivitas membaik, Integritas jaringan membaik, Tanda-tanda vital dalam batas normal.
2. Status nutrisi membaik, Asupan nutrisi adekuat, Berat badan membaik.
3. Perfusi perifer membaik, Suhu ekstremitas membaik, Pengisian kapiler membaik.
4. Bebas infeksi, Tidak ada tanda-tanda infeksi.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
1. Manajemen aktivitas, Manajemen energi, Terapi oksigen.
2. Manajemen nutrisi, Terapi nutrisi enteral, Kolaborasi dengan ahli gizi.
3. Manajemen perfusi jaringan, Manajemen syok, Terapi vasopressor.
4. Manajemen infeksi, Pemantauan tanda-tanda infeksi, Kolaborasi dengan tim kesehatan lain.
Tujuan utama perawatan adalah untuk mengatasi gangguan sirkulasi, malnutrisi, dan risiko infeksi yang dialami oleh pasien, sehingga dapat meningkatkan toleransi aktivitas, status nutrisi, perfusi jaringan, dan mencegah komplikasi lebih lanjut. -
Article No. 8737 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk Obat antikoagulan oral. (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL Egfr 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang diberikan, dapat disusun beberapa diagnosa keperawatan yang sesuai dengan kondisi pasien, beserta penjelasan singkat mengenai standar diagnosa dan intervensi keperawatan SDKI, SLKI, dan SIKI dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI):
1. Diagnosa Keperawatan: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
- SDKI: Keadaan di mana individu mengalami asupan nutrisi yang tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
- SLKI: Intervensi keperawatan untuk meningkatkan asupan nutrisi dan mencapai keseimbangan nutrisi yang optimal.
- SIKI: Intervensi keperawatan seperti pemberian nutrisi enteral, parenteral, atau kombinasi keduanya; konseling gizi; dan manajemen gejala yang menghambat asupan nutrisi.
2. Diagnosa Keperawatan: Intoleransi aktivitas
- SDKI: Keadaan di mana individu mengalami keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang diinginkan atau dibutuhkan.
- SLKI: Intervensi keperawatan untuk mempertahankan dan meningkatkan toleransi terhadap aktivitas.
- SIKI: Intervensi keperawatan seperti manajemen energi, latihan, dan rehabilitasi fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas.
3. Diagnosa Keperawatan: Kelelahan
- SDKI: Keadaan di mana individu mengalami penurunan kapasitas fisik dan mental yang berkelanjutan.
- SLKI: Intervensi keperawatan untuk memulihkan dan meningkatkan energi serta mengelola faktor penyebab kelelahan.
- SIKI: Intervensi keperawatan seperti manajemen aktivitas, manajemen energi, dan terapi modalitas untuk mengatasi kelelahan.
4. Diagnosa Keperawatan: Perubahan perfusi jaringan
- SDKI: Keadaan di mana individu mengalami penurunan aliran darah ke satu atau lebih jaringan tubuh.
- SLKI: Intervensi keperawatan untuk mempertahankan dan meningkatkan perfusi jaringan.
- SIKI: Intervensi keperawatan seperti manajemen cairan, pemberian oksigen, dan terapi farmakologis untuk memperbaiki perfusi jaringan.
5. Diagnosa Keperawatan: Gangguan eliminasi urin
- SDKI: Keadaan di mana individu mengalami penurunan, peningkatan, atau perubahan pola eliminasi urin.
- SLKI: Intervensi keperawatan untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi eliminasi urin.
- SIKI: Intervensi keperawatan seperti manajemen cairan, terapi farmakologis, dan perawatan kateter urin untuk mengatasi gangguan eliminasi urin.
Penerapan standar diagnosa dan intervensi keperawatan SDKI, SLKI, dan SIKI akan membantu perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dan terstruktur untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dialami oleh pasien. -
Article No. 8738 | 12 Dec 2024
Klinis : 3.Seorang perempuan berusia 19 tahun, primipara, nifas hari ke 2, mengeluh sulit meneteki karena tidak tahu cara menyusui yang benar sehingga bayi selalu menangis saat diteteki. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatakan payudara keras, putting susu menonjol, areola menonjol, ASI -/-. Suhu 37 3 OC, Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 80 x/menit. Apa masalah keperawatan yang tepat untuk kasus diatas??
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI yang Sesuai:
Berdasarkan kondisi yang dipaparkan, diagnosa keperawatan yang tepat menurut SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia) adalah:
1. Ketidakefektifan Menyusu Bayi
- Definisi: Ketidakmampuan bayi untuk mengisap, melekat, dan/atau mempertahankan posisi menyusu yang efektif.
- Penyebab: Pengetahuan ibu yang kurang tentang teknik menyusui yang benar.
Luaran/Output yang Diharapkan (SLKI):
Setelah diberikan asuhan keperawatan yang komprehensif, diharapkan ibu dapat:
1. Menunjukkan teknik menyusui yang benar.
2. Mempertahankan durasi menyusui yang adekuat.
3. Bayi dapat menyusu dengan efektif.
4. Terjadi peningkatan produksi ASI.
5. Ibu merasa nyaman dan puas dengan proses menyusui.
Intervensi Keperawatan yang Diperlukan (SIKI):
1. Manajemen Laktasi
- Kaji pengetahuan ibu tentang teknik menyusui yang benar.
- Ajarkan dan demonstrasikan teknik menyusui yang benar, meliputi posisi menyusui, perlekatan, dan durasi menyusui.
- Anjurkan ibu untuk menyusui secara on-demand (sesuai kebutuhan bayi).
- Motivasi ibu untuk mempertahankan frekuensi menyusui dan memerah ASI.
- Berikan dukungan emosional dan informasi tentang manfaat menyusui bagi ibu dan bayi.
2. Manajemen Stres
- Kaji tingkat stres ibu terkait kesulitan menyusui.
- Ajarkan teknik relaksasi dan manajemen stres.
- Libatkan keluarga untuk memberikan dukungan dan bantuan.
- Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain (laktasi konselor, psikolog) jika diperlukan.
3. Peningkatan Produksi ASI
- Kaji faktor-faktor yang memengaruhi produksi ASI, seperti nutrisi, istirahat, dan hidrasi ibu.
- Anjurkan ibu untuk makan makanan bergizi, cukup istirahat, dan asupan cairan yang adekuat.
- Ajarkan teknik pemerahan ASI secara manual atau menggunakan pompa.
- Motivasi ibu untuk mempertahankan frekuensi menyusui dan memerah ASI.
Penjelasan Rinci:
Diagnosa keperawatan "Ketidakefektifan Menyusu Bayi" dipilih karena kondisi yang dialami ibu, yaitu kesulitan meneteki karena tidak tahu cara menyusui yang benar, sehingga bayi selalu menangis saat diteteki. Hal ini menunjukkan adanya masalah dalam proses menyusui yang tidak efektif.
Luaran/output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan mencakup aspek-aspek penting, seperti penguasaan teknik menyusui yang benar, durasi menyusui yang adekuat, efektivitas proses menyusui, peningkatan produksi ASI, serta kepuasan dan kenyamanan ibu. Tujuan akhirnya adalah untuk memastikan ibu dapat menyusui dengan baik dan lancar, serta memenuhi kebutuhan nutrisi bayi.
Intervensi keperawatan yang direkomendasikan meliputi manajemen laktasi, manajemen stres, dan peningkatan produksi ASI. Intervensi-intervensi tersebut dirancang untuk mengatasi masalah yang dihadapi ibu, yaitu kurangnya pengetahuan tentang teknik menyusui, stres yang timbul akibat kesulitan menyusui, dan produksi ASI yang belum optimal. Melalui intervensi yang komprehensif, diharapkan ibu dapat menguasai teknik menyusui yang benar, mengelola stres dengan baik, dan meningkatkan produksi ASI, sehingga proses menyusui dapat berjalan efektif dan memuaskan bagi ibu dan bayi. -
Article No. 8739 | 12 Dec 2024
Klinis : pasien datang dengan keluhan cacar, demam pada malam hari,
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Dengan persona sebagai perawat pakar, berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat berdasarkan SDKI, SLKI, dan SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk pasien dengan keluhan cacar, demam pada malam hari:
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko infeksi (SDKI)
- Definisi: Peningkatan risiko terkena organisme patogen.
- Faktor yang berhubungan: Paparan agen infeksi.
- Gejala dan tanda: Demam, ruam kulit.
2. Intoleransi aktivitas (SDKI)
- Definisi: Ketidakmampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas sehari-hari.
- Faktor yang berhubungan: Penyakit.
- Gejala dan tanda: Kelelahan, lemah.
3. Ketidakefektifan pola tidur (SDKI)
- Definisi: Perubahan kuantitas dan/atau kualitas tidur yang mengganggu fungsi sehari-hari.
- Faktor yang berhubungan: Penyakit.
- Gejala dan tanda: Demam pada malam hari, kesulitan tidur.
Intervensi Keperawatan (SLKI):
1. Manajemen infeksi (SIKI)
- Tujuan: Mengendalikan dan mencegah infeksi.
- Aktivitas: Pemantauan tanda-tanda infeksi, pemberian obat antivirus, isolasi pasien.
2. Manajemen aktivitas (SIKI)
- Tujuan: Mempertahankan atau meningkatkan kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
- Aktivitas: Pengaturan aktivitas, asuhan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
3. Manajemen tidur (SIKI)
- Tujuan: Mempertahankan atau meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur.
- Aktivitas: Pemantauan pola tidur, pengaturan lingkungan, dan intervensi untuk mengatasi kesulitan tidur.
Secara akademis, sebagai perawat pakar, saya mengutamakan pendekatan holistik dalam menangani pasien dengan cacar dan demam pada malam hari. Fokus utama adalah mencegah komplikasi, mempertahankan status fungsional, dan meningkatkan kualitas tidur untuk mendukung proses pemulihan. -
Article No. 8740 | 12 Dec 2024
Klinis : Peb
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi Peb dengan tone akademis dan persona sebagai pakar/perawat.
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Infeksi
- Definisi: Peningkatan risiko organisme patogen untuk menyerang jaringan normal.
- Penyebab: Prosedur invasif, penurunan sistem imun, dan faktor risiko lainnya.
- Intervensi: Manajemen aseptik, pemantauan tanda-tanda infeksi, dan pemberian terapi antibiotik sesuai indikasi.
2. Gangguan Integritas Kulit
- Definisi: Kerusakan pada epidermis dan/atau dermis.
- Penyebab: Luka, iritasi, dan faktor risiko lainnya.
- Intervensi: Perawatan luka, pencegahan iritasi, dan promosi penyembuhan.
3. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan
- Definisi: Penurunan sirkulasi darah ke jaringan tubuh.
- Penyebab: Penyakit kardiovaskular, penurunan curah jantung, dan faktor risiko lainnya.
- Intervensi: Pemantauan tanda-tanda vital, manajemen cairan, dan terapi farmakologis sesuai indikasi.
Penjelasan Singkat SDKI - SLKI - SIKI:
1. SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia)
- SDKI adalah standar yang digunakan dalam menetapkan diagnosis keperawatan yang diakui secara nasional.
- SDKI berisi definisi, penyebab, dan gejala/tanda untuk setiap diagnosis keperawatan.
2. SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia)
- SLKI adalah standar yang digunakan dalam menetapkan luaran atau hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan.
- SLKI berisi indikator-indikator yang dapat diukur untuk mengevaluasi keberhasilan intervensi keperawatan.
3. SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
- SIKI adalah standar yang digunakan dalam menetapkan intervensi keperawatan yang diakui secara nasional.
- SIKI berisi aktivitas-aktivitas keperawatan yang dapat dilakukan untuk mencapai luaran yang diharapkan.
Standar-standar ini merupakan acuan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dan berkualitas sesuai dengan praktik keperawatan yang berlaku di Indonesia. -
Article No. 8741 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang perempuan usia 21 tahun, P1A0 post SC hari ke 3 dirawat di ruang nifas bersama bayinya. Hasil pengkajian pasien menyatakan ingin memberikan ASI eksklusif. Refleks hisap bayi baik, perlekatan ibu dan bayi saat menyusui sudah tepat dan terlihat gerakan menelan Apakah masalah keperawatan pada kasus tersebut??
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan penjelasan yang rinci dan terperinci untuk setiap poin yang Anda minta.
Diagnosa Keperawatan SDKI yang sesuai untuk kondisi tersebut:
Diagnosa Keperawatan yang sesuai adalah "Ketidakefektifan Pemberian ASI", yang didefinisikan sebagai "Kegagalan untuk mempertahankan jumlah dan/atau kualitas ASI yang sesuai dengan kebutuhan bayi". Meskipun pasien menyatakan ingin memberikan ASI eksklusif dan refleks hisap bayi baik, perlekatan ibu dan bayi saat menyusui sudah tepat, dan terlihat gerakan menelan, terdapat kemungkinan adanya hambatan atau masalah yang dapat mempengaruhi efektivitas pemberian ASI.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Peningkatan Produksi ASI: Pasien dapat mempertahankan produksi ASI yang sesuai dengan kebutuhan bayi.
2. Peningkatan Pemberian ASI: Pasien dapat memberikan ASI secara efektif, dengan frekuensi dan durasi yang adekuat.
3. Peningkatan Kepuasan Ibu terhadap Pemberian ASI: Pasien merasa puas dengan kemampuannya dalam memberikan ASI dan merasakan manfaat dari pemberian ASI.
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Pengkajian Nutrisi:
- Kaji faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ASI, seperti nutrisi, hidrasi, stres, dan kelelahan.
- Kaji frekuensi dan durasi menyusui serta posisi dan perlekatan saat menyusui.
- Kaji peningkatan berat badan bayi sebagai indikator kecukupan ASI.
2. Edukasi dan Konseling Laktasi:
- Edukasi tentang manfaat dan teknik menyusui yang benar.
- Berikan konseling dan dukungan dalam meningkatkan produksi dan pemberian ASI.
- Ajarkan teknik-teknik untuk merangsang produksi ASI, seperti pemompaan.
3. Kolaborasi dengan Ahli Laktasi:
- Konsultasikan pasien dengan ahli laktasi atau konselor laktasi jika diperlukan.
- Kolaborasi dalam mengatasi masalah pemberian ASI yang kompleks.
4. Manajemen Keperawatan:
- Pantau tanda-tanda vital, asupan dan output cairan, serta berat badan bayi.
- Berikan dukungan emosional dan motivasi kepada pasien.
- Lakukan koordinasi dengan tenaga kesehatan lain (dokter, ahli gizi, dan lainnya) untuk optimalisasi pemberian ASI.
Dengan intervensi keperawatan yang komprehensif dan berpusat pada pasien, diharapkan pasien dapat mencapai luaran yang diinginkan, yaitu peningkatan produksi ASI, peningkatan pemberian ASI, dan peningkatan kepuasan ibu terhadap pemberian ASI. -
Article No. 8742 | 12 Dec 2024
Klinis : 5.Seorang perempuan usia 22 post sectiosesaria di rawat hari ke 4 di ruang rawat gabung dengan keluhan belum dapat mengeluarkan ASI. Anamnesa didapatkan nyeri pada kedua payudara. Pemeriksaan fisik payudara tegang kemerahan dan putting mendatar, suhu tubuh 39A°C, skala nyeri 7-8, saat dipencet areola ASI keluar menetes. Apakah tindakan keperawatan yang paling tepat
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI yang Sesuai:
Berdasarkan kondisi yang diberikan, diagnosa keperawatan SDKI yang paling sesuai adalah: Ketidaklancaran Produksi ASI.
Penjelasan:
Pasien dengan kondisi post seksio sesarea hari ke-4, mengeluhkan belum dapat mengeluarkan ASI. Pemeriksaan fisik menunjukkan payudara tegang, kemerahan, putting mendatar, dan suhu tubuh tinggi (39°C). Saat dipencet, ASI keluar menetes, namun pasien masih merasakan nyeri dengan skala 7-8. Kondisi ini menunjukkan adanya gangguan pada produksi dan pengeluaran ASI.
Luaran/Output yang Diharapkan Setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Peningkatan Produksi ASI
- Kriteria hasil:
- Payudara lunak, tidak tegang
- Putting susu tidak mendatar
- Suhu tubuh normal
- Skala nyeri ≤ 3
- ASI keluar dengan lancar saat bayi menyusu
2. Peningkatan Pengeluaran ASI
- Kriteria hasil:
- Bayi dapat menghisap ASI dengan baik
- Bayi merasa puas setelah menyusu
- Berat badan bayi meningkat sesuai usia
Intervensi Keperawatan yang Diperlukan untuk Mencapai Tujuan Luaran (SIKI):
1. Manajemen Laktasi
- Anjurkan ibu melakukan perawatan payudara secara teratur
- Ajarkan teknik pijat payudara untuk merangsang produksi dan pengeluaran ASI
- Bantu ibu dalam posisi menyusui yang benar
- Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya sesering mungkin (on demand)
- Berikan edukasi tentang manfaat ASI eksklusif dan teknik menyusui yang benar
2. Manajemen Nyeri
- Berikan analgetik sesuai resep dokter untuk menurunkan rasa nyeri
- Ajarkan teknik relaksasi dan distraksi untuk mengurangi nyeri
- Pantau tanda-tanda vital dan tingkat nyeri secara berkala
3. Peningkatan Produksi ASI
- Anjurkan ibu untuk meningkatkan konsumsi cairan dan makanan bergizi
- Bantu ibu dalam penggunaan alat bantu memerah ASI (breast pump) jika diperlukan
- Berikan dukungan dan motivasi kepada ibu untuk terus menyusui
Dengan intervensi keperawatan yang komprehensif, diharapkan pasien dapat meningkatkan produksi dan pengeluaran ASI, sehingga masalah ketidaklancaran produksi ASI dapat teratasi.