Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 9157 | 17 Dec 2024
Klinis : pasien anak datang kondisi lemah. riwayat muntah dan bab sering
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, dengan senang hati saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat menggunakan standar SDKI, SLKI, dan SIKI dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi pasien anak yang datang dengan kondisi lemah, riwayat muntah dan bab sering.
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Dehidrasi berhubungan dengan riwayat muntah dan diare yang sering.
Penjelasan:
- SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia): Risiko Dehidrasi adalah kondisi di mana individu berisiko mengalami penurunan volume cairan tubuh yang dapat mengakibatkan komplikasi.
- SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia): Tujuan yang diharapkan adalah pasien dapat mempertahankan status hidrasi yang adekuat.
- SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia): Intervensi yang dapat dilakukan adalah memantau asupan dan output cairan, mengganti cairan yang hilang, dan memberikan edukasi terkait penanganan muntah dan diare.
2. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Penjelasan:
- SDKI: Intoleransi Aktivitas adalah keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik yang diinginkan atau diperlukan.
- SLKI: Tujuan yang diharapkan adalah pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
- SIKI: Intervensi yang dapat dilakukan adalah memantau tanda vital, membantu pasien dalam melakukan aktivitas, dan memberikan dukungan psikologis.
Dengan pendekatan standar SDKI, SLKI, dan SIKI, perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dan terstruktur untuk mengatasi masalah kesehatan pasien anak dengan kondisi lemah, riwayat muntah, dan diare sering. -
Article No. 9158 | 17 Dec 2024
Klinis : Seorang laki-laki, 25 tahun, dirawat di ruang bedah dengan fraktur tertutup 1/3 medial femur kiri. Hasil pengkajian: riwayat kecelakaan motor 1 minggu yang lalu, keluarga membawa pasien ke tukang urut patah tulang dan dilarang makan yang berbau amis seperti ikan, telur, daging karena dianggap akan memperlama proses penyembuhan. Kondisi pasien bertambah buruk sehingga keluarga membawa ke rumah sakit, mengeluh nyeri hebat pada kaki kiri, demam, mual dan tidak bisa tidur, tampak cemas, TD 120/80 mmHg, frekuensi nadi 88 x/menit, frekuensi napas 22 x/menit, suhu 36,5oC, post. operasi ORIF (open reduksi internal fiksasi) hari ketiga, RL 500cc/24 jam. Klien mendapat obat ceftriaxon 2x1 mg, levofloxacin 1x750 mg, ranitidine 2x1 mg, ketorolac IV 2x1 amp. pasien bertanya pada perawat apakah kakinya boleh terkena air wudhu.
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI yang Sesuai:
1. Nyeri Akut
- Definisi: Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan seperti kerusakan tersebut.
- Penyebab: Fraktur terbuka 1/3 medial femur kiri
2. Risiko Infeksi
- Definisi: Rentan terhadap invasi dan multiplikasi organisme patogen yang dapat mengganggu kesehatan.
- Faktor Risiko: Prosedur pembedahan ORIF (open reduction internal fixation), imobilisasi, penggunaan alat medis (IV line)
3. Gangguan Pola Tidur
- Definisi: Gangguan dalam kuantitas dan kualitas tidur yang mengganggu fungsi sehari-hari.
- Penyebab: Nyeri hebat pada kaki kiri, kecemasan
Luaran/Output yang Diharapkan (SLKI):
1. Nyeri Akut:
- Pasien akan melaporkan penurunan nyeri dari skala 8 menjadi skala 4 dalam 3 hari.
- Pasien mendemonstrasikan teknik manajemen nyeri yang efektif.
- Pasien mempertahankan istirahat dan tidur yang adekuat.
2. Risiko Infeksi:
- Tanda-tanda infeksi tidak muncul selama perawatan.
- Pasien mendemonstrasikan perawatan luka yang benar.
- Pemeriksaan laboratorium menunjukkan perbaikan nilai hematologi dan parameter infeksi.
3. Gangguan Pola Tidur:
- Pasien melaporkan peningkatan kualitas dan kuantitas tidur.
- Pasien mendemonstrasikan teknik relaksasi yang efektif untuk membantu tidur.
- Pasien terlihat lebih segar dan energik setelah istirahat.
Intervensi Keperawatan (SIKI):
1. Nyeri Akut:
- Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif.
- Berikan analgesik sesuai resep dokter.
- Ajarkan teknik manajemen nyeri non-farmakologis (relaksasi, distraksi, dan kompres dingin).
- Fasilitasi istirahat dan tidur yang adekuat.
2. Risiko Infeksi:
- Lakukan perawatan luka secara aseptik.
- Pantau tanda-tanda infeksi (suhu, denyut nadi, perubahan luka).
- Berikan antibiotik sesuai resep dokter.
- Edukasi pasien dan keluarga tentang pencegahan infeksi.
3. Gangguan Pola Tidur:
- Kaji pola tidur dan faktor yang mempengaruhi.
- Ciptakan lingkungan yang nyaman untuk tidur.
- Ajarkan teknik relaksasi untuk memfasilitasi tidur.
- Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat tidur jika perlu.
Penjelasan: Diagnosa keperawatan, luaran, dan intervensi di atas disusun berdasarkan kondisi pasien yang mengalami fraktur tertutup 1/3 medial femur kiri, dengan komplikasi nyeri akut, risiko infeksi, dan gangguan pola tidur. Intervensi keperawatan dirancang untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dan mencapai luaran yang diharapkan. Pendekatan yang digunakan adalah akademis, dengan persona sebagai perawat profesional. -
Article No. 9159 | 17 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 22 tahun dirawat dengan keluhan demam tinggi terus-menerus selama tiga hari disertai menggigil, muntah, dan diare. Pasien tidak melaporkan nyeri perut, mialgia, nyeri retro-orbital, nyeri punggung, atau gejala sistemik lainnya. Tidak terdapat riwayat demam berdarah sebelumnya. Tiga anggota keluarganya (ayah, ibu, dan kakek) mengalami gejala serupa tetapi lebih ringan secara bersamaan. Tes protein non-struktural (NS1) (SD Bioline, Standard Diagnostics Inc., Gyeonggi-do, Korea) dan IgM terhadap virus dengue (Panbio, Alere, Brisbane) menunjukkan hasil positif, sehingga pasien didiagnosis dengan demam berdarah dengue (DBD). Pada hari kedua setelah masuk rumah sakit (hari kelima sakit, fase kritis), pasien mengalami hematoma (memar) di lokasi venipunktur (lokasi suntikan) dan perdarahan gusi tanpa provokasi. Jumlah trombosit turun dari 35 × 10⁹/L menjadi 14 × 10⁹/L, sementara hematokrit stabil pada 45%, dengan status hemodinamik yang stabil (Tabel 1). Pada hari ketiga setelah masuk rumah sakit, pasien mengalami takikardia (jantung berdetak cepat), nyeri perut ringan, nyeri tekan pada perut, serta penurunan tekanan darah. Pasien juga menunjukkan asidosis metabolik terkompensasi dan waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) yang memanjang (masalah tes pembekuan darah) (Tabel 2). Ultrasonografi abdomen menunjukkan efusi pleura basal bilateral (cairan di sekita paru), asites (cairan di perut), dan hepatitis (pembengkakan hati), dengan nilai alanine aminotransferase (ALT) (enzim hati) meningkat dari 112 U/L menjadi 212 U/L. Pasien tetap hemodinamik stabil. Terapi cairan intravena kristaloid isotonik (3 mL/kg/jam) diberikan selama 4 jam pertama, sambil memantau tekanan darah, status klinis, dan hitung darah lengkap. Terapi cairan dilanjutkan dengan dosis yang sama atau diturunkan menjadi 1–2 mL/kg/jam sesuai tekanan darah, status klinis, dan hematokrit hingga hari ketiga setelah masuk rumah sakit. Pada hari keempat setelah masuk rumah sakit (hari ketujuh sakit), pasien melewati fase kritis dan terapi cairan intravena dihentikan. Namun, pada hari kelima setelah masuk rumah sakit (hari kedelapan sakit), terjadi penurunan hemoglobin mendadak dari 15 g/dL menjadi 10 g/dL, yang kemudian terus turun hingga 8,5 g/dL pada hari berikutnya. Selain itu, terjadi peningkatan jumlah leukosit menjadi 13 × 10⁹/L, sementara jumlah trombosit meningkat menjadi 112 × 10⁹/L. Hasil pemeriksaan feses untuk darah samar menunjukkan hasil negatif, dan tidak terdapat manifestasi perdarahan. Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa hati, limpa, dan kelenjar getah bening tidak membesar. Pemeriksaan sistemik lainnya normal, kecuali sedikit ikterus (warna kuning pada kulit), sehingga dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk hemolisis (kerusakan sel darah merah). Pemeriksaan apusan darah tepi menunjukkan hasil yang sesuai dengan hemolisis (Tabel 1). Bilirubin tidak langsung lebih tinggi dibandingkan bilirubin langsung pada hari pertama (61,5 µmol dan 9,6 µmol, secara berurutan). Aspartate aminotransferase (AST) lebih tinggi dibandingkan alanine aminotransferase (ALT) pada hari kelima (385 U/L dan 202 U/L, secara berurutan). Laktat dehidrogenase (LDH) sangat tinggi (2013–1708 U/L), tes Coombs tidak langsung positif, dan jumlah retikulosit (sel darah merah muda) meningkat secara signifikan (10,3%) (Tabel 1). Hasil tes defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), antibodi antinuklear (ANA), virus Epstein-Barr, virus imunodefisiensi manusia (HIV), serta antibodi hepatitis A, B, dan C menunjukkan hasil negatif. Karena anemia yang dialami pasien relatif asimptomatik (positif menderita tapi tidak menunjukkan gejala klinis), pengobatan konservatif dilanjutkan. Hemoglobin meningkat menjadi 12 g/dL dalam tiga hari berikutnya. Pasien kemudian dipulangkan dengan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, dan trombosit yang normal. Antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue dalam darah yang diambil dua minggu setelah pemulangan pasien menunjukkan hasil positif.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, berikut adalah Diagnosa Keperawatan dan penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi yang Anda deskripsikan:
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Perdarahan berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit pada fase kritis penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
2. Risiko Ketidakseimbangan Cairan berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma pada fase kritis DBD.
3. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan kekuatan akibat penyakit DBD.
Penjelasan singkat:
1. Risiko Perdarahan:
- SDKI: Penurunan Pembekuan Darah
- SLKI: Pemulihan Pembekuan Darah
- SIKI: Pemantauan Perdarahan, Pemberian Produk Darah
2. Risiko Ketidakseimbangan Cairan:
- SDKI: Kelebihan Volume Cairan
- SLKI: Keseimbangan Cairan
- SIKI: Terapi Cairan, Pemantauan Hemodinamik
3. Intoleransi Aktivitas:
- SDKI: Intoleransi Aktivitas
- SLKI: Peningkatan Toleransi Aktivitas
- SIKI: Manajemen Aktivitas, Manajemen Energi
Tujuan utama asuhan keperawatan pada pasien DBD adalah mencegah komplikasi perdarahan, menjaga keseimbangan cairan, dan meningkatkan toleransi aktivitas pasien. Perawat perlu melakukan pemantauan ketat tanda-tanda vital, tanda perdarahan, serta memantau keseimbangan cairan. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan antara lain pemberian terapi cairan, pemberian produk darah jika diperlukan, dan manajemen aktivitas pasien. -
Article No. 9160 | 17 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 22 tahun dirawat dengan keluhan demam tinggi terus-menerus selama tiga hari disertai menggigil, muntah, dan diare. Pasien tidak melaporkan nyeri perut, mialgia, nyeri retro-orbital, nyeri punggung, atau gejala sistemik lainnya. Tidak terdapat riwayat demam berdarah sebelumnya. Tiga anggota keluarganya (ayah, ibu, dan kakek) mengalami gejala serupa tetapi lebih ringan secara bersamaan. Tes protein non-struktural (NS1) (SD Bioline, Standard Diagnostics Inc., Gyeonggi-do, Korea) dan IgM terhadap virus dengue (Panbio, Alere, Brisbane) menunjukkan hasil positif, sehingga pasien didiagnosis dengan demam berdarah dengue (DBD). Pada hari kedua setelah masuk rumah sakit (hari kelima sakit, fase kritis), pasien mengalami hematoma (memar) di lokasi venipunktur (lokasi suntikan) dan perdarahan gusi tanpa provokasi. Jumlah trombosit turun dari 35 × 10⁹/L menjadi 14 × 10⁹/L, sementara hematokrit stabil pada 45%, dengan status hemodinamik yang stabil (Tabel 1). Pada hari ketiga setelah masuk rumah sakit, pasien mengalami takikardia (jantung berdetak cepat), nyeri perut ringan, nyeri tekan pada perut, serta penurunan tekanan darah. Pasien juga menunjukkan asidosis metabolik terkompensasi dan waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) yang memanjang (masalah tes pembekuan darah) (Tabel 2). Ultrasonografi abdomen menunjukkan efusi pleura basal bilateral (cairan di sekita paru), asites (cairan di perut), dan hepatitis (pembengkakan hati), dengan nilai alanine aminotransferase (ALT) (enzim hati) meningkat dari 112 U/L menjadi 212 U/L. Pasien tetap hemodinamik stabil. Terapi cairan intravena kristaloid isotonik (3 mL/kg/jam) diberikan selama 4 jam pertama, sambil memantau tekanan darah, status klinis, dan hitung darah lengkap. Terapi cairan dilanjutkan dengan dosis yang sama atau diturunkan menjadi 1–2 mL/kg/jam sesuai tekanan darah, status klinis, dan hematokrit hingga hari ketiga setelah masuk rumah sakit. Pada hari keempat setelah masuk rumah sakit (hari ketujuh sakit), pasien melewati fase kritis dan terapi cairan intravena dihentikan. Namun, pada hari kelima setelah masuk rumah sakit (hari kedelapan sakit), terjadi penurunan hemoglobin mendadak dari 15 g/dL menjadi 10 g/dL, yang kemudian terus turun hingga 8,5 g/dL pada hari berikutnya. Selain itu, terjadi peningkatan jumlah leukosit menjadi 13 × 10⁹/L, sementara jumlah trombosit meningkat menjadi 112 × 10⁹/L. Hasil pemeriksaan feses untuk darah samar menunjukkan hasil negatif, dan tidak terdapat manifestasi perdarahan. Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa hati, limpa, dan kelenjar getah bening tidak membesar. Pemeriksaan sistemik lainnya normal, kecuali sedikit ikterus (warna kuning pada kulit), sehingga dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk hemolisis (kerusakan sel darah merah). Pemeriksaan apusan darah tepi menunjukkan hasil yang sesuai dengan hemolisis (Tabel 1). Bilirubin tidak langsung lebih tinggi dibandingkan bilirubin langsung pada hari pertama (61,5 µmol dan 9,6 µmol, secara berurutan). Aspartate aminotransferase (AST) lebih tinggi dibandingkan alanine aminotransferase (ALT) pada hari kelima (385 U/L dan 202 U/L, secara berurutan). Laktat dehidrogenase (LDH) sangat tinggi (2013–1708 U/L), tes Coombs tidak langsung positif, dan jumlah retikulosit (sel darah merah muda) meningkat secara signifikan (10,3%) (Tabel 1). Hasil tes defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), antibodi antinuklear (ANA), virus Epstein-Barr, virus imunodefisiensi manusia (HIV), serta antibodi hepatitis A, B, dan C menunjukkan hasil negatif. Karena anemia yang dialami pasien relatif asimptomatik (positif menderita tapi tidak menunjukkan gejala klinis), pengobatan konservatif dilanjutkan. Hemoglobin meningkat menjadi 12 g/dL dalam tiga hari berikutnya. Pasien kemudian dipulangkan dengan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, dan trombosit yang normal. Antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue dalam darah yang diambil dua minggu setelah pemulangan pasien menunjukkan hasil positif.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi yang dipaparkan, berikut adalah diagnosis keperawatan, penjelasan singkat SDKI, SLKI, dan SIKI dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI):
Diagnosis Keperawatan:
1. Risiko Perdarahan Berhubungan dengan Penurunan Jumlah Trombosit pada Demam Berdarah Dengue
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Definisi: Kondisi di mana individu berisiko mengalami kehilangan darah yang berlebihan dari sistem tubuh.
Karakteristik Definisi: Penurunan jumlah trombosit, adanya tanda-tanda perdarahan (misalnya hematoma, perdarahan gusi), dan demam berdarah dengue.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
1. Perdarahan Terkendali
2. Integritas Jaringan Membaik
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
1. Pemantauan Tanda-tanda Vital
2. Pemantauan Perdarahan
3. Manajemen Cairan
4. Pemberian Terapeutik: Transfusi Darah
Penjelasan Singkat:
Pasien dengan demam berdarah dengue berisiko mengalami penurunan jumlah trombosit yang dapat menyebabkan perdarahan. Hal ini ditandai dengan adanya hematoma di area venipunktur dan perdarahan gusi tanpa provokasi. Intervensi keperawatan yang perlu dilakukan adalah memantau tanda-tanda vital, perdarahan, dan memberikan manajemen cairan yang tepat serta mempertimbangkan pemberian transfusi darah jika diperlukan untuk mencegah komplikasi perdarahan yang dapat mengancam nyawa. -
Article No. 9161 | 17 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 22 tahun dirawat dengan keluhan demam tinggi terus-menerus selama tiga hari disertai menggigil, muntah, dan diare. Pasien tidak melaporkan nyeri perut, mialgia, nyeri retro-orbital, nyeri punggung, atau gejala sistemik lainnya. Tidak terdapat riwayat demam berdarah sebelumnya. Tiga anggota keluarganya (ayah, ibu, dan kakek) mengalami gejala serupa tetapi lebih ringan secara bersamaan. Tes protein non-struktural (NS1) (SD Bioline, Standard Diagnostics Inc., Gyeonggi-do, Korea) dan IgM terhadap virus dengue (Panbio, Alere, Brisbane) menunjukkan hasil positif, sehingga pasien didiagnosis dengan demam berdarah dengue (DBD). Pada hari kedua setelah masuk rumah sakit (hari kelima sakit, fase kritis), pasien mengalami hematoma (memar) di lokasi venipunktur (lokasi suntikan) dan perdarahan gusi tanpa provokasi. Jumlah trombosit turun dari 35 × 10⁹/L menjadi 14 × 10⁹/L, sementara hematokrit stabil pada 45%, dengan status hemodinamik yang stabil (Tabel 1). Pada hari ketiga setelah masuk rumah sakit, pasien mengalami takikardia (jantung berdetak cepat), nyeri perut ringan, nyeri tekan pada perut, serta penurunan tekanan darah. Pasien juga menunjukkan asidosis metabolik terkompensasi dan waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) yang memanjang (masalah tes pembekuan darah) (Tabel 2). Ultrasonografi abdomen menunjukkan efusi pleura basal bilateral (cairan di sekita paru), asites (cairan di perut), dan hepatitis (pembengkakan hati), dengan nilai alanine aminotransferase (ALT) (enzim hati) meningkat dari 112 U/L menjadi 212 U/L. Pasien tetap hemodinamik stabil. Terapi cairan intravena kristaloid isotonik (3 mL/kg/jam) diberikan selama 4 jam pertama, sambil memantau tekanan darah, status klinis, dan hitung darah lengkap. Terapi cairan dilanjutkan dengan dosis yang sama atau diturunkan menjadi 1–2 mL/kg/jam sesuai tekanan darah, status klinis, dan hematokrit hingga hari ketiga setelah masuk rumah sakit. Pada hari keempat setelah masuk rumah sakit (hari ketujuh sakit), pasien melewati fase kritis dan terapi cairan intravena dihentikan. Namun, pada hari kelima setelah masuk rumah sakit (hari kedelapan sakit), terjadi penurunan hemoglobin mendadak dari 15 g/dL menjadi 10 g/dL, yang kemudian terus turun hingga 8,5 g/dL pada hari berikutnya. Selain itu, terjadi peningkatan jumlah leukosit menjadi 13 × 10⁹/L, sementara jumlah trombosit meningkat menjadi 112 × 10⁹/L. Hasil pemeriksaan feses untuk darah samar menunjukkan hasil negatif, dan tidak terdapat manifestasi perdarahan. Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa hati, limpa, dan kelenjar getah bening tidak membesar. Pemeriksaan sistemik lainnya normal, kecuali sedikit ikterus (warna kuning pada kulit), sehingga dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk hemolisis (kerusakan sel darah merah). Pemeriksaan apusan darah tepi menunjukkan hasil yang sesuai dengan hemolisis (Tabel 1). Bilirubin tidak langsung lebih tinggi dibandingkan bilirubin langsung pada hari pertama (61,5 µmol dan 9,6 µmol, secara berurutan). Aspartate aminotransferase (AST) lebih tinggi dibandingkan alanine aminotransferase (ALT) pada hari kelima (385 U/L dan 202 U/L, secara berurutan). Laktat dehidrogenase (LDH) sangat tinggi (2013–1708 U/L), tes Coombs tidak langsung positif, dan jumlah retikulosit (sel darah merah muda) meningkat secara signifikan (10,3%) (Tabel 1). Hasil tes defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), antibodi antinuklear (ANA), virus Epstein-Barr, virus imunodefisiensi manusia (HIV), serta antibodi hepatitis A, B, dan C menunjukkan hasil negatif. Karena anemia yang dialami pasien relatif asimptomatik (positif menderita tapi tidak menunjukkan gejala klinis), pengobatan konservatif dilanjutkan. Hemoglobin meningkat menjadi 12 g/dL dalam tiga hari berikutnya. Pasien kemudian dipulangkan dengan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, dan trombosit yang normal. Antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue dalam darah yang diambil dua minggu setelah pemulangan pasien menunjukkan hasil positif.
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kasus yang diberikan, berikut adalah diagnosa keperawatan SDKI yang sesuai:
1. Risiko penurunan volume cairan berhubungan dengan proses patologis penyakit
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
- Keseimbangan cairan akan membaik
- Tanda-tanda vital akan stabil
- Tidak akan terjadi dehidrasi
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
- Pantau intake dan output cairan
- Pantau tanda-tanda vital secara teratur
- Berikan cairan intravena sesuai indikasi
- Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk pemberian terapi cairan yang adekuat
2. Risiko perdarahan berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
- Tidak akan terjadi perdarahan
- Jumlah trombosit akan meningkat
- Tidak akan terjadi komplikasi akibat perdarahan
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
- Pantau jumlah trombosit secara teratur
- Observasi tanda-tanda perdarahan
- Berikan perawatan luka dengan teknik steril
- Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi trombosit jika diperlukan
3. Risiko gangguan fungsi hati berhubungan dengan proses patologis penyakit
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
- Fungsi hati akan membaik
- Nilai enzim hati akan menurun
- Tidak akan terjadi komplikasi akibat gangguan fungsi hati
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
- Pantau nilai enzim hati secara teratur
- Berikan nutrisi adekuat sesuai kebutuhan
- Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi sesuai indikasi
4. Risiko hemolisis berhubungan dengan proses patologis penyakit
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
- Tidak akan terjadi hemolisis lanjut
- Kadar hemoglobin akan membaik
- Tidak akan terjadi komplikasi akibat hemolisis
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
- Pantau kadar hemoglobin, bilirubin, dan LDH secara teratur
- Berikan nutrisi adekuat sesuai kebutuhan
- Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi sesuai indikasi
Penjelasan di atas merupakan diagnosa keperawatan SDKI, luaran/output, dan intervensi keperawatan SIKI yang sesuai dengan kasus yang diberikan. Tone akademis, persona pakar, nurse. -
Article No. 9162 | 17 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 22 tahun dirawat dengan keluhan demam tinggi terus-menerus selama tiga hari disertai menggigil, muntah, dan diare. Pasien tidak melaporkan nyeri perut, mialgia, nyeri retro-orbital, nyeri punggung, atau gejala sistemik lainnya. Tidak terdapat riwayat demam berdarah sebelumnya. Tiga anggota keluarganya (ayah, ibu, dan kakek) mengalami gejala serupa tetapi lebih ringan secara bersamaan. Tes protein non-struktural (NS1) (SD Bioline, Standard Diagnostics Inc., Gyeonggi-do, Korea) dan IgM terhadap virus dengue (Panbio, Alere, Brisbane) menunjukkan hasil positif, sehingga pasien didiagnosis dengan demam berdarah dengue (DBD). Pada hari kedua setelah masuk rumah sakit (hari kelima sakit, fase kritis), pasien mengalami hematoma (memar) di lokasi venipunktur (lokasi suntikan) dan perdarahan gusi tanpa provokasi. Jumlah trombosit turun dari 35 × 10⁹/L menjadi 14 × 10⁹/L, sementara hematokrit stabil pada 45%, dengan status hemodinamik yang stabil (Tabel 1). Pada hari ketiga setelah masuk rumah sakit, pasien mengalami takikardia (jantung berdetak cepat), nyeri perut ringan, nyeri tekan pada perut, serta penurunan tekanan darah. Pasien juga menunjukkan asidosis metabolik terkompensasi dan waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) yang memanjang (masalah tes pembekuan darah) (Tabel 2). Ultrasonografi abdomen menunjukkan efusi pleura basal bilateral (cairan di sekita paru), asites (cairan di perut), dan hepatitis (pembengkakan hati), dengan nilai alanine aminotransferase (ALT) (enzim hati) meningkat dari 112 U/L menjadi 212 U/L. Pasien tetap hemodinamik stabil. Terapi cairan intravena kristaloid isotonik (3 mL/kg/jam) diberikan selama 4 jam pertama, sambil memantau tekanan darah, status klinis, dan hitung darah lengkap. Terapi cairan dilanjutkan dengan dosis yang sama atau diturunkan menjadi 1–2 mL/kg/jam sesuai tekanan darah, status klinis, dan hematokrit hingga hari ketiga setelah masuk rumah sakit. Pada hari keempat setelah masuk rumah sakit (hari ketujuh sakit), pasien melewati fase kritis dan terapi cairan intravena dihentikan. Namun, pada hari kelima setelah masuk rumah sakit (hari kedelapan sakit), terjadi penurunan hemoglobin mendadak dari 15 g/dL menjadi 10 g/dL, yang kemudian terus turun hingga 8,5 g/dL pada hari berikutnya. Selain itu, terjadi peningkatan jumlah leukosit menjadi 13 × 10⁹/L, sementara jumlah trombosit meningkat menjadi 112 × 10⁹/L. Hasil pemeriksaan feses untuk darah samar menunjukkan hasil negatif, dan tidak terdapat manifestasi perdarahan. Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa hati, limpa, dan kelenjar getah bening tidak membesar. Pemeriksaan sistemik lainnya normal, kecuali sedikit ikterus (warna kuning pada kulit), sehingga dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk hemolisis (kerusakan sel darah merah). Pemeriksaan apusan darah tepi menunjukkan hasil yang sesuai dengan hemolisis (Tabel 1). Bilirubin tidak langsung lebih tinggi dibandingkan bilirubin langsung pada hari pertama (61,5 µmol dan 9,6 µmol, secara berurutan). Aspartate aminotransferase (AST) lebih tinggi dibandingkan alanine aminotransferase (ALT) pada hari kelima (385 U/L dan 202 U/L, secara berurutan). Laktat dehidrogenase (LDH) sangat tinggi (2013–1708 U/L), tes Coombs tidak langsung positif, dan jumlah retikulosit (sel darah merah muda) meningkat secara signifikan (10,3%) (Tabel 1). Hasil tes defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), antibodi antinuklear (ANA), virus Epstein-Barr, virus imunodefisiensi manusia (HIV), serta antibodi hepatitis A, B, dan C menunjukkan hasil negatif. Karena anemia yang dialami pasien relatif asimptomatik (positif menderita tapi tidak menunjukkan gejala klinis), pengobatan konservatif dilanjutkan. Hemoglobin meningkat menjadi 12 g/dL dalam tiga hari berikutnya. Pasien kemudian dipulangkan dengan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, dan trombosit yang normal. Antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue dalam darah yang diambil dua minggu setelah pemulangan pasien menunjukkan hasil positif.
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10: 1. Kode ICD-10:
- Kode: A90
- Deskripsi: Demam berdarah dengue
2. Kode ICD-9-CM Procedure (jika ada):
- Tidak ada prosedur atau tindakan medis yang disebutkan dalam kasus ini.
Penjelasan:
Berdasarkan gejala yang dialami oleh pasien, yaitu demam tinggi, menggigil, muntah, diare, hematoma di venipunktur, perdarahan gusi, penurunan trombosit, efusi pleura, asites, hepatomegali, peningkatan enzim hati, serta hasil laboratorium yang positif untuk antigen NS1 dan IgM virus dengue, pasien tersebut didiagnosis dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Kode ICD-10 yang sesuai untuk kondisi ini adalah A90 (Demam berdarah dengue).
Tidak ada tindakan medis spesifik yang disebutkan dalam kasus ini, selain pemberian terapi cairan intravena kristaloid isotonik. Oleh karena itu, tidak ada kode ICD-9-CM Procedure yang perlu dicantumkan. -
Article No. 9163 | 17 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 22 tahun dirawat dengan keluhan demam tinggi terus-menerus selama tiga hari disertai menggigil, muntah, dan diare. Pasien tidak melaporkan nyeri perut, mialgia, nyeri retro-orbital, nyeri punggung, atau gejala sistemik lainnya. Tidak terdapat riwayat demam berdarah sebelumnya. Tiga anggota keluarganya (ayah, ibu, dan kakek) mengalami gejala serupa tetapi lebih ringan secara bersamaan. Tes protein non-struktural (NS1) (SD Bioline, Standard Diagnostics Inc., Gyeonggi-do, Korea) dan IgM terhadap virus dengue (Panbio, Alere, Brisbane) menunjukkan hasil positif, sehingga pasien didiagnosis dengan demam berdarah dengue (DBD). Pada hari kedua setelah masuk rumah sakit (hari kelima sakit, fase kritis), pasien mengalami hematoma (memar) di lokasi venipunktur (lokasi suntikan) dan perdarahan gusi tanpa provokasi. Jumlah trombosit turun dari 35 × 10⁹/L menjadi 14 × 10⁹/L, sementara hematokrit stabil pada 45%, dengan status hemodinamik yang stabil (Tabel 1). Pada hari ketiga setelah masuk rumah sakit, pasien mengalami takikardia (jantung berdetak cepat), nyeri perut ringan, nyeri tekan pada perut, serta penurunan tekanan darah. Pasien juga menunjukkan asidosis metabolik terkompensasi dan waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) yang memanjang (masalah tes pembekuan darah) (Tabel 2). Ultrasonografi abdomen menunjukkan efusi pleura basal bilateral (cairan di sekita paru), asites (cairan di perut), dan hepatitis (pembengkakan hati), dengan nilai alanine aminotransferase (ALT) (enzim hati) meningkat dari 112 U/L menjadi 212 U/L. Pasien tetap hemodinamik stabil. Terapi cairan intravena kristaloid isotonik (3 mL/kg/jam) diberikan selama 4 jam pertama, sambil memantau tekanan darah, status klinis, dan hitung darah lengkap. Terapi cairan dilanjutkan dengan dosis yang sama atau diturunkan menjadi 1–2 mL/kg/jam sesuai tekanan darah, status klinis, dan hematokrit hingga hari ketiga setelah masuk rumah sakit. Pada hari keempat setelah masuk rumah sakit (hari ketujuh sakit), pasien melewati fase kritis dan terapi cairan intravena dihentikan. Namun, pada hari kelima setelah masuk rumah sakit (hari kedelapan sakit), terjadi penurunan hemoglobin mendadak dari 15 g/dL menjadi 10 g/dL, yang kemudian terus turun hingga 8,5 g/dL pada hari berikutnya. Selain itu, terjadi peningkatan jumlah leukosit menjadi 13 × 10⁹/L, sementara jumlah trombosit meningkat menjadi 112 × 10⁹/L. Hasil pemeriksaan feses untuk darah samar menunjukkan hasil negatif, dan tidak terdapat manifestasi perdarahan. Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa hati, limpa, dan kelenjar getah bening tidak membesar. Pemeriksaan sistemik lainnya normal, kecuali sedikit ikterus (warna kuning pada kulit), sehingga dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk hemolisis (kerusakan sel darah merah). Pemeriksaan apusan darah tepi menunjukkan hasil yang sesuai dengan hemolisis (Tabel 1). Bilirubin tidak langsung lebih tinggi dibandingkan bilirubin langsung pada hari pertama (61,5 µmol dan 9,6 µmol, secara berurutan). Aspartate aminotransferase (AST) lebih tinggi dibandingkan alanine aminotransferase (ALT) pada hari kelima (385 U/L dan 202 U/L, secara berurutan). Laktat dehidrogenase (LDH) sangat tinggi (2013–1708 U/L), tes Coombs tidak langsung positif, dan jumlah retikulosit (sel darah merah muda) meningkat secara signifikan (10,3%) (Tabel 1). Hasil tes defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), antibodi antinuklear (ANA), virus Epstein-Barr, virus imunodefisiensi manusia (HIV), serta antibodi hepatitis A, B, dan C menunjukkan hasil negatif. Karena anemia yang dialami pasien relatif asimptomatik (positif menderita tapi tidak menunjukkan gejala klinis), pengobatan konservatif dilanjutkan. Hemoglobin meningkat menjadi 12 g/dL dalam tiga hari berikutnya. Pasien kemudian dipulangkan dengan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, dan trombosit yang normal. Antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue dalam darah yang diambil dua minggu setelah pemulangan pasien menunjukkan hasil positif.
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10: Berdasarkan informasi yang diberikan, diagnosis pasien adalah:
1. Kode ICD-10:
- Kode: A97.1
- Deskripsi: Demam berdarah dengue tanpa tanda peringatan
2. Kode ICD-9-CM Procedure (tidak ada tindakan medis yang disebutkan):
- Tidak ada kode ICD-9-CM yang sesuai, karena tidak disebutkan adanya tindakan medis yang dilakukan.
Penjelasan:
Pasien ini didiagnosis dengan demam berdarah dengue (DBD) berdasarkan hasil tes laboratorium yang positif untuk protein non-struktural (NS1) dan IgM terhadap virus dengue. DBD adalah salah satu jenis infeksi virus dengue yang ditandai dengan manifestasi klinis seperti demam tinggi, trombositopenia (penurunan jumlah trombosit), dan peningkatan hematokrit.
Pada fase kritis, pasien mengalami hematoma di lokasi venipunktur, perdarahan gusi tanpa provokasi, dan penurunan jumlah trombosit, yang sesuai dengan kriteria DBD. Selanjutnya, pada hari ketiga setelah masuk rumah sakit, pasien mengalami tanda-tanda kegawatan seperti takikardia, nyeri perut, penurunan tekanan darah, dan masalah pembekuan darah yang ditandai dengan pemanjangan APTT. Hal ini menunjukkan adanya perburukan kondisi dan perkembangan ke arah sindrom syok dengue (SSD).
Pasien kemudian mengalami anemia mendadak, dengan penurunan kadar hemoglobin yang signifikan, disertai peningkatan jumlah leukosit dan trombosit. Temuan laboratorium ini, serta hasil pemeriksaan lanjutan yang menunjukkan adanya hemolisis, mengarahkan pada dugaan komplikasi lain, yaitu anemia hemolitik terkait infeksi virus dengue.
Secara keseluruhan, kasus ini sesuai dengan kriteria DBD berdasarkan manifestasi klinis dan hasil laboratorium. Tidak ada tindakan medis yang disebutkan dalam kasus ini, sehingga tidak ada kode ICD-9-CM prosedur yang sesuai. -
Article No. 9164 | 17 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 22 tahun dirawat dengan keluhan demam tinggi terus-menerus selama tiga hari disertai menggigil, muntah, dan diare. Pasien tidak melaporkan nyeri perut, mialgia, nyeri retro-orbital, nyeri punggung, atau gejala sistemik lainnya. Tidak terdapat riwayat demam berdarah sebelumnya. Tiga anggota keluarganya (ayah, ibu, dan kakek) mengalami gejala serupa tetapi lebih ringan secara bersamaan. Tes protein non-struktural (NS1) (SD Bioline, Standard Diagnostics Inc., Gyeonggi-do, Korea) dan IgM terhadap virus dengue (Panbio, Alere, Brisbane) menunjukkan hasil positif, sehingga pasien didiagnosis dengan demam berdarah dengue (DBD). Pada hari kedua setelah masuk rumah sakit (hari kelima sakit, fase kritis), pasien mengalami hematoma (memar) di lokasi venipunktur (lokasi suntikan) dan perdarahan gusi tanpa provokasi. Jumlah trombosit turun dari 35 × 10⁹/L menjadi 14 × 10⁹/L, sementara hematokrit stabil pada 45%, dengan status hemodinamik yang stabil (Tabel 1). Pada hari ketiga setelah masuk rumah sakit, pasien mengalami takikardia (jantung berdetak cepat), nyeri perut ringan, nyeri tekan pada perut, serta penurunan tekanan darah. Pasien juga menunjukkan asidosis metabolik terkompensasi dan waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) yang memanjang (masalah tes pembekuan darah) (Tabel 2). Ultrasonografi abdomen menunjukkan efusi pleura basal bilateral (cairan di sekita paru), asites (cairan di perut), dan hepatitis (pembengkakan hati), dengan nilai alanine aminotransferase (ALT) (enzim hati) meningkat dari 112 U/L menjadi 212 U/L. Pasien tetap hemodinamik stabil. Terapi cairan intravena kristaloid isotonik (3 mL/kg/jam) diberikan selama 4 jam pertama, sambil memantau tekanan darah, status klinis, dan hitung darah lengkap. Terapi cairan dilanjutkan dengan dosis yang sama atau diturunkan menjadi 1–2 mL/kg/jam sesuai tekanan darah, status klinis, dan hematokrit hingga hari ketiga setelah masuk rumah sakit. Pada hari keempat setelah masuk rumah sakit (hari ketujuh sakit), pasien melewati fase kritis dan terapi cairan intravena dihentikan. Namun, pada hari kelima setelah masuk rumah sakit (hari kedelapan sakit), terjadi penurunan hemoglobin mendadak dari 15 g/dL menjadi 10 g/dL, yang kemudian terus turun hingga 8,5 g/dL pada hari berikutnya. Selain itu, terjadi peningkatan jumlah leukosit menjadi 13 × 10⁹/L, sementara jumlah trombosit meningkat menjadi 112 × 10⁹/L. Hasil pemeriksaan feses untuk darah samar menunjukkan hasil negatif, dan tidak terdapat manifestasi perdarahan. Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa hati, limpa, dan kelenjar getah bening tidak membesar. Pemeriksaan sistemik lainnya normal, kecuali sedikit ikterus (warna kuning pada kulit), sehingga dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk hemolisis (kerusakan sel darah merah). Pemeriksaan apusan darah tepi menunjukkan hasil yang sesuai dengan hemolisis (Tabel 1). Bilirubin tidak langsung lebih tinggi dibandingkan bilirubin langsung pada hari pertama (61,5 µmol dan 9,6 µmol, secara berurutan). Aspartate aminotransferase (AST) lebih tinggi dibandingkan alanine aminotransferase (ALT) pada hari kelima (385 U/L dan 202 U/L, secara berurutan). Laktat dehidrogenase (LDH) sangat tinggi (2013–1708 U/L), tes Coombs tidak langsung positif, dan jumlah retikulosit (sel darah merah muda) meningkat secara signifikan (10,3%) (Tabel 1). Hasil tes defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), antibodi antinuklear (ANA), virus Epstein-Barr, virus imunodefisiensi manusia (HIV), serta antibodi hepatitis A, B, dan C menunjukkan hasil negatif. Karena anemia yang dialami pasien relatif asimptomatik (positif menderita tapi tidak menunjukkan gejala klinis), pengobatan konservatif dilanjutkan. Hemoglobin meningkat menjadi 12 g/dL dalam tiga hari berikutnya. Pasien kemudian dipulangkan dengan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, dan trombosit yang normal. Antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue dalam darah yang diambil dua minggu setelah pemulangan pasien menunjukkan hasil positif.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kasus yang dipaparkan, berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat mengenai SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Perdarahan berhubungan dengan trombositopenia pada fase kritis Demam Berdarah Dengue (DBD).
2. Penurunan Volume Cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui muntah, diare, dan perdarahan pada fase kritis DBD.
3. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik akibat anemia dan trombositopenia pada fase konvalesen DBD.
Penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI:
SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia):
1. Risiko Perdarahan: Potensi kehilangan darah yang dapat mengancam kehidupan.
2. Penurunan Volume Cairan: Kekurangan volume cairan intravaskular, interstisial, dan/atau intraseluler.
3. Intoleransi Aktivitas: Keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik yang diinginkan.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
1. Risiko Perdarahan: Tidak terjadi perdarahan, tidak ada tanda-tanda perdarahan, dan tidak ada penurunan hematokrit.
2. Penurunan Volume Cairan: Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, hemodinamik stabil, dan laboratorium normal.
3. Intoleransi Aktivitas: Mampu melakukan aktivitas sehari-hari tanpa kelelahan.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
1. Risiko Perdarahan: Pemantauan tanda-tanda vital, pemeriksaan laboratorium, manajemen cairan dan elektrolit, serta pemberian produk darah jika perlu.
2. Penurunan Volume Cairan: Pemantauan tanda-tanda vital, pemberian cairan intravena, dan edukasi tentang pola makan yang sesuai.
3. Intoleransi Aktivitas: Manajemen aktivitas, latihan fisik yang bertahap, dan edukasi tentang aktivitas yang aman. -
Article No. 9165 | 17 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 22 tahun dirawat dengan keluhan demam tinggi terus-menerus selama tiga hari disertai menggigil, muntah, dan diare. Pasien tidak melaporkan nyeri perut, mialgia, nyeri retro-orbital, nyeri punggung, atau gejala sistemik lainnya. Tidak terdapat riwayat demam berdarah sebelumnya. Tiga anggota keluarganya (ayah, ibu, dan kakek) mengalami gejala serupa tetapi lebih ringan secara bersamaan. Tes protein non-struktural (NS1) (SD Bioline, Standard Diagnostics Inc., Gyeonggi-do, Korea) dan IgM terhadap virus dengue (Panbio, Alere, Brisbane) menunjukkan hasil positif, sehingga pasien didiagnosis dengan demam berdarah dengue (DBD). Pada hari kedua setelah masuk rumah sakit (hari kelima sakit, fase kritis), pasien mengalami hematoma (memar) di lokasi venipunktur (lokasi suntikan) dan perdarahan gusi tanpa provokasi. Jumlah trombosit turun dari 35 × 10⁹/L menjadi 14 × 10⁹/L, sementara hematokrit stabil pada 45%, dengan status hemodinamik yang stabil (Tabel 1). Pada hari ketiga setelah masuk rumah sakit, pasien mengalami takikardia (jantung berdetak cepat), nyeri perut ringan, nyeri tekan pada perut, serta penurunan tekanan darah. Pasien juga menunjukkan asidosis metabolik terkompensasi dan waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) yang memanjang (masalah tes pembekuan darah) (Tabel 2). Ultrasonografi abdomen menunjukkan efusi pleura basal bilateral (cairan di sekita paru), asites (cairan di perut), dan hepatitis (pembengkakan hati), dengan nilai alanine aminotransferase (ALT) (enzim hati) meningkat dari 112 U/L menjadi 212 U/L. Pasien tetap hemodinamik stabil. Terapi cairan intravena kristaloid isotonik (3 mL/kg/jam) diberikan selama 4 jam pertama, sambil memantau tekanan darah, status klinis, dan hitung darah lengkap. Terapi cairan dilanjutkan dengan dosis yang sama atau diturunkan menjadi 1–2 mL/kg/jam sesuai tekanan darah, status klinis, dan hematokrit hingga hari ketiga setelah masuk rumah sakit. Pada hari keempat setelah masuk rumah sakit (hari ketujuh sakit), pasien melewati fase kritis dan terapi cairan intravena dihentikan. Namun, pada hari kelima setelah masuk rumah sakit (hari kedelapan sakit), terjadi penurunan hemoglobin mendadak dari 15 g/dL menjadi 10 g/dL, yang kemudian terus turun hingga 8,5 g/dL pada hari berikutnya. Selain itu, terjadi peningkatan jumlah leukosit menjadi 13 × 10⁹/L, sementara jumlah trombosit meningkat menjadi 112 × 10⁹/L. Hasil pemeriksaan feses untuk darah samar menunjukkan hasil negatif, dan tidak terdapat manifestasi perdarahan. Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa hati, limpa, dan kelenjar getah bening tidak membesar. Pemeriksaan sistemik lainnya normal, kecuali sedikit ikterus (warna kuning pada kulit), sehingga dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk hemolisis (kerusakan sel darah merah). Pemeriksaan apusan darah tepi menunjukkan hasil yang sesuai dengan hemolisis (Tabel 1). Bilirubin tidak langsung lebih tinggi dibandingkan bilirubin langsung pada hari pertama (61,5 µmol dan 9,6 µmol, secara berurutan). Aspartate aminotransferase (AST) lebih tinggi dibandingkan alanine aminotransferase (ALT) pada hari kelima (385 U/L dan 202 U/L, secara berurutan). Laktat dehidrogenase (LDH) sangat tinggi (2013–1708 U/L), tes Coombs tidak langsung positif, dan jumlah retikulosit (sel darah merah muda) meningkat secara signifikan (10,3%) (Tabel 1). Hasil tes defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), antibodi antinuklear (ANA), virus Epstein-Barr, virus imunodefisiensi manusia (HIV), serta antibodi hepatitis A, B, dan C menunjukkan hasil negatif. Karena anemia yang dialami pasien relatif asimptomatik (positif menderita tapi tidak menunjukkan gejala klinis), pengobatan konservatif dilanjutkan. Hemoglobin meningkat menjadi 12 g/dL dalam tiga hari berikutnya. Pasien kemudian dipulangkan dengan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, dan trombosit yang normal. Antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue dalam darah yang diambil dua minggu setelah pemulangan pasien menunjukkan hasil positif.
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Risiko Perdarahan berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit dan kelainan pembekuan darah terkait demam berdarah dengue.
2. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler dan ekstravaskular cairan terkait demam berdarah dengue.
3. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan penurunan energi dan kelemahan terkait demam berdarah dengue.
4. Nyeri Akut berhubungan dengan proses patologis infeksi virus dengue.
5. Risiko Gangguan Metabolisme berhubungan dengan disfungsi hati terkait demam berdarah dengue.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Risiko Perdarahan:
- Perdarahan Terkendali
- Waktu Pembekuan Darah dalam Batas Normal
- Trombosit Memadai
2. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer:
- Perfusi Jaringan Membaik
- Tekanan Darah dalam Batas Normal
- Hematokrit dalam Batas Normal
3. Intoleransi Aktivitas:
- Toleransi Aktivitas Membaik
- Tingkat Energi Membaik
- Kekuatan Otot Membaik
4. Nyeri Akut:
- Nyeri Terkontrol
- Toleransi terhadap Nyeri Meningkat
- Kemampuan Mengatasi Nyeri Meningkat
5. Risiko Gangguan Metabolisme:
- Fungsi Hati Membaik
- Kadar Enzim Hati dalam Batas Normal
- Tidak Terjadi Komplikasi Terkait Disfungsi Hati
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Risiko Perdarahan:
- Pemantauan tanda-tanda perdarahan
- Pemantauan jumlah trombosit dan tes pembekuan darah
- Pemberian terapi pengganti trombosit jika diperlukan
- Edukasi pasien dan keluarga tentang pencegahan perdarahan
2. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer:
- Pemantauan tanda-tanda vital dan status hemodinamik
- Pemberian terapi cairan intravena sesuai kebutuhan
- Kolaborasi dengan dokter untuk pengobatan simtomatik
- Edukasi pasien dan keluarga tentang pentingnya istirahat dan pemantauan cairan
3. Intoleransi Aktivitas:
- Pengkajian toleransi dan kemampuan fungsional pasien
- Pemberian latihan fisik bertahap sesuai toleransi
- Pemberian nutrisi dan cairan yang adekuat
- Kolaborasi dengan fisioterapis untuk program rehabilitasi
4. Nyeri Akut:
- Pengkajian nyeri secara komprehensif
- Pemberian analgesik sesuai kebutuhan
- Teknik manajemen nyeri non-farmakologis
- Kolaborasi dengan dokter untuk penanganan nyeri
5. Risiko Gangguan Metabolisme:
- Pemantauan fungsi hati (enzim hati, bilirubin, dll.)
- Pemberian terapi suportif untuk fungsi hati
- Kolaborasi dengan dokter untuk pengobatan disfungsi hati
- Edukasi pasien dan keluarga tentang diet dan gaya hidup yang sehat
Penjelasan:
Diagnosa keperawatan dan luaran yang diharapkan didasarkan pada kondisi klinis pasien dengan demam berdarah dengue, yaitu penurunan jumlah trombosit, gangguan pembekuan darah, peningkatan permeabilitas kapiler, disfungsi hati, dan penurunan toleransi aktivitas. Intervensi keperawatan yang diperlukan mencakup pemantauan, manajemen cairan dan nutrisi, terapi suportif, latihan fisik, manajemen nyeri, dan edukasi pasien serta keluarga. Kolaborasi dengan dokter juga diperlukan untuk penanganan medis yang komprehensif. -
Article No. 9166 | 17 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 22 tahun dirawat dengan keluhan demam tinggi terus-menerus selama tiga hari disertai menggigil, muntah, dan diare. Pasien tidak melaporkan nyeri perut, mialgia, nyeri retro-orbital, nyeri punggung, atau gejala sistemik lainnya. Tidak terdapat riwayat demam berdarah sebelumnya. Tiga anggota keluarganya (ayah, ibu, dan kakek) mengalami gejala serupa tetapi lebih ringan secara bersamaan. Tes protein non-struktural (NS1) (SD Bioline, Standard Diagnostics Inc., Gyeonggi-do, Korea) dan IgM terhadap virus dengue (Panbio, Alere, Brisbane) menunjukkan hasil positif, sehingga pasien didiagnosis dengan demam berdarah dengue (DBD). Pada hari kedua setelah masuk rumah sakit (hari kelima sakit, fase kritis), pasien mengalami hematoma (memar) di lokasi venipunktur (lokasi suntikan) dan perdarahan gusi tanpa provokasi. Jumlah trombosit turun dari 35 × 10⁹/L menjadi 14 × 10⁹/L, sementara hematokrit stabil pada 45%, dengan status hemodinamik yang stabil (Tabel 1). Pada hari ketiga setelah masuk rumah sakit, pasien mengalami takikardia (jantung berdetak cepat), nyeri perut ringan, nyeri tekan pada perut, serta penurunan tekanan darah. Pasien juga menunjukkan asidosis metabolik terkompensasi dan waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) yang memanjang (masalah tes pembekuan darah) (Tabel 2). Ultrasonografi abdomen menunjukkan efusi pleura basal bilateral (cairan di sekita paru), asites (cairan di perut), dan hepatitis (pembengkakan hati), dengan nilai alanine aminotransferase (ALT) (enzim hati) meningkat dari 112 U/L menjadi 212 U/L. Pasien tetap hemodinamik stabil. Terapi cairan intravena kristaloid isotonik (3 mL/kg/jam) diberikan selama 4 jam pertama, sambil memantau tekanan darah, status klinis, dan hitung darah lengkap. Terapi cairan dilanjutkan dengan dosis yang sama atau diturunkan menjadi 1–2 mL/kg/jam sesuai tekanan darah, status klinis, dan hematokrit hingga hari ketiga setelah masuk rumah sakit. Pada hari keempat setelah masuk rumah sakit (hari ketujuh sakit), pasien melewati fase kritis dan terapi cairan intravena dihentikan. Namun, pada hari kelima setelah masuk rumah sakit (hari kedelapan sakit), terjadi penurunan hemoglobin mendadak dari 15 g/dL menjadi 10 g/dL, yang kemudian terus turun hingga 8,5 g/dL pada hari berikutnya. Selain itu, terjadi peningkatan jumlah leukosit menjadi 13 × 10⁹/L, sementara jumlah trombosit meningkat menjadi 112 × 10⁹/L. Hasil pemeriksaan feses untuk darah samar menunjukkan hasil negatif, dan tidak terdapat manifestasi perdarahan. Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa hati, limpa, dan kelenjar getah bening tidak membesar. Pemeriksaan sistemik lainnya normal, kecuali sedikit ikterus (warna kuning pada kulit), sehingga dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk hemolisis (kerusakan sel darah merah). Pemeriksaan apusan darah tepi menunjukkan hasil yang sesuai dengan hemolisis (Tabel 1). Bilirubin tidak langsung lebih tinggi dibandingkan bilirubin langsung pada hari pertama (61,5 µmol dan 9,6 µmol, secara berurutan). Aspartate aminotransferase (AST) lebih tinggi dibandingkan alanine aminotransferase (ALT) pada hari kelima (385 U/L dan 202 U/L, secara berurutan). Laktat dehidrogenase (LDH) sangat tinggi (2013–1708 U/L), tes Coombs tidak langsung positif, dan jumlah retikulosit (sel darah merah muda) meningkat secara signifikan (10,3%) (Tabel 1). Hasil tes defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), antibodi antinuklear (ANA), virus Epstein-Barr, virus imunodefisiensi manusia (HIV), serta antibodi hepatitis A, B, dan C menunjukkan hasil negatif. Karena anemia yang dialami pasien relatif asimptomatik (positif menderita tapi tidak menunjukkan gejala klinis), pengobatan konservatif dilanjutkan. Hemoglobin meningkat menjadi 12 g/dL dalam tiga hari berikutnya. Pasien kemudian dipulangkan dengan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, dan trombosit yang normal. Antibodi IgM dan IgG terhadap virus dengue dalam darah yang diambil dua minggu setelah pemulangan pasien menunjukkan hasil positif.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi pasien yang Anda deskripsikan, saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat mengenai SDKI, SLKI, dan SIKI dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Diagnosa Keperawatan:
1. Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan akibat demam, muntah, dan diare pada Demam Berdarah Dengue (DBD).
2. Risiko Perdarahan berhubungan dengan penurunan trombosit pada DBD.
3. Risiko Kekurangan Volume Darah berhubungan dengan perdarahan pada DBD.
4. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat DBD.
Penjelasan singkat SDKI, SLKI, dan SIKI:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia) adalah standar yang digunakan untuk menentukan diagnosis keperawatan berdasarkan tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien. Dalam kasus ini, diagnosis keperawatan yang sesuai antara lain Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit, Risiko Perdarahan, Risiko Kekurangan Volume Darah, dan Intoleransi Aktivitas.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia) adalah standar yang digunakan untuk menentukan luaran atau hasil yang diharapkan dari intervensi keperawatan. Luaran yang diharapkan dalam kasus ini antara lain Keseimbangan Cairan, Tidak Terjadi Perdarahan, Tidak Terjadi Kekurangan Volume Darah, dan Toleransi Aktivitas.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) adalah standar yang digunakan untuk menentukan intervensi keperawatan yang sesuai untuk mengatasi masalah keperawatan. Intervensi yang dapat dilakukan dalam kasus ini antara lain Manajemen Cairan, Manajemen Perdarahan, Manajemen Hemodinamik, dan Manajemen Aktivitas.
Dengan menggunakan SDKI, SLKI, dan SIKI, perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang terstandar dan terukur dalam menangani pasien dengan Demam Berdarah Dengue.