Kondisi: PASIEN RESIKO PERILAKU KEKERASAN, EMOSI
Kode SDKI: D.0131
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Risiko Perilaku Kekerasan didefinisikan sebagai kondisi di mana seorang individu berisiko mengalami perilaku yang dapat membahayakan secara fisik, baik terhadap diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya. Diagnosis ini bersifat "risiko", yang berarti masalah belum terjadi, namun terdapat faktor-faktor predisposisi dan presipitasi yang signifikan yang membuat individu rentan untuk bertindak secara agresif atau destruktif. Kondisi ini merupakan salah satu diagnosis keperawatan jiwa yang paling krusial karena implikasinya yang serius terhadap keselamatan pasien, staf, dan orang lain di sekitarnya. Penilaian yang cermat dan intervensi proaktif adalah kunci untuk mencegah eskalasi menjadi kekerasan aktual.
Faktor risiko yang berkontribusi terhadap munculnya risiko perilaku kekerasan sangat kompleks dan multifaktorial, dapat dikategorikan menjadi beberapa domain. Dari domain psikologis, riwayat perilaku kekerasan di masa lalu adalah prediktor terkuat untuk perilaku kekerasan di masa depan. Individu dengan riwayat gangguan kepribadian, terutama antisosial dan ambang (borderline), seringkali menunjukkan kesulitan dalam mengendalikan impuls dan emosi. Gangguan psikotik seperti skizofrenia, terutama jika disertai dengan halusinasi perintah (command hallucination) yang menyuruh untuk menyakiti atau delusi paranoid yang membuat pasien merasa terancam, secara signifikan meningkatkan risiko ini. Kondisi afektif seperti depresi berat dapat memicu keputusasaan yang berujung pada kekerasan terhadap diri sendiri (bunuh diri) atau orang lain (homicide-suicide). Penyalahgunaan zat, termasuk alkohol dan narkotika, dapat menurunkan ambang batas kontrol impuls dan mengganggu fungsi penilaian, sehingga memicu reaksi agresif terhadap provokasi minimal.
Dari domain biologis atau fisiologis, adanya gangguan pada sistem saraf pusat dapat menjadi faktor predisposisi. Cedera otak traumatis (traumatic brain injury), terutama yang mengenai lobus frontal, dapat merusak kemampuan eksekutif seperti perencanaan, penilaian, dan kontrol impuls. Tumor otak, demensia, atau kondisi neurologis lainnya juga dapat menyebabkan perubahan kepribadian dan peningkatan iritabilitas. Ketidakseimbangan neurotransmitter, seperti rendahnya kadar serotonin atau tingginya kadar dopamin dan norepinefrin, secara teoritis dihubungkan dengan peningkatan agresi dan impulsivitas.
Faktor lingkungan dan sosial juga memegang peranan penting. Tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh kekerasan atau terpapar kekerasan di komunitas dapat membuat individu mempelajari kekerasan sebagai cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan konflik atau mengekspresikan frustrasi (learned behavior). Lingkungan perawatan saat ini juga bisa menjadi pemicu; misalnya, bangsal yang terlalu padat, bising, kurangnya privasi, atau interaksi yang provokatif dari staf atau pasien lain. Perasaan tidak berdaya, kehilangan otonomi, atau merasa tidak dihormati oleh tenaga kesehatan dapat memicu kemarahan dan agresi sebagai upaya untuk mendapatkan kembali kontrol.
Perawat harus mampu mengidentifikasi tanda-tanda awal eskalasi menuju perilaku kekerasan. Tanda-tanda ini seringkali muncul secara berurutan dalam sebuah siklus agresi. Tanda awal (fase pemicu) mungkin berupa perubahan suasana hati, kegelisahan, atau keluhan verbal. Selanjutnya, pada fase eskalasi, pasien mungkin mulai menunjukkan perilaku yang lebih jelas seperti mondar-mandir, mengepalkan tangan, berbicara dengan nada tinggi dan cepat, mengeluarkan kata-kata kasar atau ancaman verbal. Kontak mata yang intens dan menantang atau justru menghindari kontak mata sama sekali bisa menjadi indikator. Jika tidak diintervensi, kondisi ini dapat memuncak pada fase krisis, di mana kekerasan fisik terjadi, seperti memukul, menendang, melempar barang, atau menyerang orang lain. Setelah fase krisis, biasanya diikuti oleh fase pemulihan (recovery) dan depresi pasca-krisis, di mana pasien mungkin merasa lelah, menyesal, atau bingung dengan perilakunya. Memahami siklus ini memungkinkan perawat untuk melakukan intervensi de-eskalasi pada tahap sedini mungkin untuk mencegah terjadinya kekerasan fisik.
Kode SLKI: L.09076
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan Kontrol Diri pasien meningkat, dengan kriteria hasil:
- Kemampuan mengidentifikasi pemicu emosi yang dirasakan meningkat.
- Kemampuan mengidentifikasi tanda-tanda awal perilaku kekerasan meningkat.
- Verbalisasi ancaman kepada orang lain menurun secara signifikan.
- Perilaku menyerang atau agresif terhadap orang lain menurun.
- Perilaku merusak lingkungan sekitar menurun.
- Penggunaan suara keras, berteriak, atau membentak menurun.
- Pasien mampu menggunakan strategi de-eskalasi atau koping yang adaptif saat marah.
- Pasien mampu mengungkapkan kebutuhan dan perasaan secara asertif, bukan agresif.
- Kepatuhan terhadap program pengobatan dan terapi meningkat.
Kode SIKI: I.14549
Intervensi Utama: Pencegahan Perilaku Kekerasan
Observasi:
- Monitor secara ketat adanya tanda dan gejala perilaku agresif atau kekerasan (misalnya: nada suara tinggi, mondar-mandir, mengepalkan tangan, tatapan tajam, ancaman verbal).
- Monitor lingkungan sekitar untuk mengidentifikasi dan menyingkirkan benda-benda yang berpotensi membahayakan (benda tajam, ikat pinggang, tali, dll).
- Monitor riwayat pasien terkait perilaku kekerasan sebelumnya dan faktor pemicunya.
- Monitor efek terapeutik dan efek samping dari obat-obatan yang diberikan (misalnya: antipsikotik, ansiolitik).
-
Klinis : PASIEN RESIKO PERILAKU KEKERASAN, EMOSI
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10:
Kondisi: Risiko Perilaku Kekerasan
Kode ICD-10: R45.6
Deskripsi Singkat : Kondisi ini merujuk pada keadaan di mana seorang pasien menunjukkan potensi atau kecenderungan untuk melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik terhadap diri sendiri, orang lain, atau lingkungan sekitar. Hal ini seringkali dipicu oleh emosi yang tidak stabil, frustrasi, atau sebagai gejala dari gangguan mental yang mendasarinya. Kode ICD-10 R45.6 (Violent behavior) digunakan untuk mengklasifikasikan tanda atau gejala berupa perilaku kekerasan. Kode ini termasuk dalam kategori 'Gejala dan tanda yang melibatkan keadaan emosional' dan digunakan ketika perilaku tersebut menjadi fokus perhatian klinis, terutama jika diagnosis definitif yang menyebabkannya belum ditegakkan. Pengkodean ini penting untuk justifikasi tindakan pengamanan, observasi ketat, dan intervensi terapeutik yang spesifik.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti kodifikasi resmi oleh profesional medis.***
-
Klinis : Pasien pria, usia 45 tahun, datang dengan keluhan batuk berdahak selama 2 minggu, demam, sesak napas, dan kehilangan nafsu makan. Hasil pemeriksaan menunjukkan suara napas bronkial di paru kanan atas, hasil rontgen menunjukkan adanya lesi di paru. Diagnosis awal adalah tuberkulosis paru.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Kode SDKI: D.0001
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif didefinisikan sebagai ketidakmampuan individu untuk membersihkan sekret atau obstruksi dari saluran pernapasan guna mempertahankan jalan napas yang paten. Kondisi ini merupakan salah satu masalah keperawatan yang paling fundamental dan sering ditemui, terutama pada pasien dengan gangguan sistem pernapasan. Jalan napas yang bersih dan terbuka adalah prasyarat utama untuk ventilasi dan oksigenasi yang adekuat. Ketika mekanisme pembersihan alami tubuh terganggu, sekret seperti dahak atau sputum akan menumpuk, menyebabkan penyumbatan parsial atau total, yang pada akhirnya mengganggu pertukaran gas dan meningkatkan risiko komplikasi serius seperti atelektasis, pneumonia, dan gagal napas.
Pada kasus pasien pria usia 45 tahun dengan diagnosis awal tuberkulosis (TB) paru, diagnosis keperawatan ini menjadi sangat relevan. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri *Mycobacterium tuberculosis*, yang primernya menyerang paru-paru. Infeksi ini memicu respons inflamasi yang kompleks di jaringan paru. Tubuh merespons dengan membentuk granuloma (tuberkel) untuk mengisolasi bakteri. Proses peradangan ini menyebabkan kerusakan jaringan paru, peningkatan produksi mukus (dahak) yang kental dan purulen, serta penurunan fungsi silia, yaitu rambut-rambut halus di saluran napas yang berfungsi mendorong sekret keluar. Kombinasi dari produksi sputum berlebih dan kerusakan mekanisme pembersihan silia inilah yang menjadi dasar patofisiologis dari bersihan jalan napas tidak efektif pada pasien TB.
Gejala dan tanda yang mendukung diagnosis ini pada pasien tersebut sangat jelas. Keluhan batuk berdahak selama dua minggu menunjukkan adanya produksi sekret yang persisten dan upaya tubuh yang tidak sepenuhnya berhasil untuk mengeluarkannya. Sesak napas (dispnea) adalah akibat langsung dari penumpukan sekret yang mempersempit lumen jalan napas dan mengganggu aliran udara. Suara napas bronkial yang terdengar di area paru kanan atas, di mana normalnya seharusnya terdengar suara vesikuler, mengindikasikan adanya konsolidasi atau pengisian rongga udara oleh cairan atau sekret, yang merupakan temuan klasik pada kondisi seperti pneumonia atau TB. Kehilangan nafsu makan dan demam adalah manifestasi sistemik dari proses infeksi dan inflamasi yang sedang berlangsung, yang juga dapat melemahkan kondisi umum pasien, termasuk kekuatan otot-otot pernapasan yang diperlukan untuk batuk efektif.
Penyebab (etiologi) dari bersihan jalan napas tidak efektif dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama: fisiologis, situasional, dan psikologis. Pada kasus ini, penyebab utamanya adalah fisiologis, yang meliputi:
1. **Proses Infeksi:** Infeksi *M. tuberculosis* menyebabkan peradangan dan produksi sputum yang masif.
2. **Hipersekresi Jalan Napas:** Respons inflamasi memicu kelenjar mukosa untuk memproduksi dahak secara berlebihan.
3. **Penurunan Energi:** Kondisi sistemik seperti demam, malnutrisi akibat kehilangan nafsu makan, dan proses katabolik infeksi kronis mengurangi energi pasien untuk melakukan batuk yang kuat dan dalam.
Tanda dan gejala (berdasarkan SDKI) yang muncul pada pasien ini meliputi:
* **Gejala & Tanda Mayor Objektif:** Batuk tidak efektif (meskipun batuk, dahak sulit keluar), produksi sputum berlebih.
* **Gejala & Tanda Minor Subjektif:** Dispnea (sesak napas).
* **Gejala & Tanda Minor Objektif:** Bunyi napas tambahan (suara napas bronkial di lokasi abnormal), pola napas berubah (menjadi lebih cepat dan dangkal untuk mengkompensasi obstruksi).
Penegakan diagnosis keperawatan ini krusial karena jika tidak ditangani, penumpukan sekret dapat menjadi media pertumbuhan bakteri sekunder, memperburuk infeksi, menyebabkan penyebaran infeksi ke bagian paru lain, dan memicu gagal napas akut. Oleh karena itu, intervensi keperawatan harus difokuskan pada upaya membantu pasien mengeluarkan sekret, mengencerkan dahak, dan mengoptimalkan fungsi pernapasannya.
Kode SLKI: L.01001
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam, maka Bersihan Jalan Napas Meningkat, dengan kriteria hasil:
- Kemampuan batuk efektif meningkat.
- Produksi sputum menurun.
- Dispnea (sesak napas) menurun.
- Frekuensi napas membaik (dalam rentang normal 16-20 kali/menit).
- Pola napas membaik (menjadi teratur, tidak dang