Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 13383 | 05 Mar 2025
Klinis : GAK BISA EREKSI KALAU MAU EREKSI SUSAH
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi "Tidak Bisa Ereksi atau Susah Ereksi" dengan nada akademis dan persona sebagai pakar perawat.
Diagnosa Keperawatan:
Disfungsi Seksual berhubungan dengan faktor fisik dan psikologis.
Penjelasan:
1. SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Disfungsi Seksual didefinisikan sebagai gangguan dalam fungsi seksual yang disebabkan oleh faktor fisik, psikologis, atau kombinasi keduanya.
2. SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
Luaran yang diharapkan dari penanganan Disfungsi Seksual adalah pasien dapat mempertahankan fungsi seksual yang optimal, mengatasi faktor-faktor penyebab, serta meningkatkan kualitas hidup.
3. SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan meliputi:
a. Identifikasi faktor-faktor penyebab (fisik dan psikologis)
b. Edukasi tentang fungsi seksual dan cara mengatasinya
c. Teknik relaksasi dan manajemen stres
d. Terapi kognitif-perilaku untuk mengatasi faktor psikologis
e. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain (misalnya, dokter spesialis) untuk penanganan faktor fisik.
Sebagai perawat, kami akan bekerja sama dengan pasien untuk mengidentifikasi dan mengatasi faktor-faktor penyebab disfungsi seksual ini, sehingga pasien dapat mempertahankan fungsi seksual yang optimal dan meningkatkan kualitas hidupnya. -
Article No. 13384 | 05 Mar 2025
Klinis : GAK BISA EREKSI KALAU MAU EREKSI SUSAH
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10: Berdasarkan kondisi yang Anda deskripsikan, "GAK BISA EREKSI KALAU MAU EREKSI SUSAH", berikut adalah kode ICD-10 dan ICD-9-CM yang sesuai:
1. Kode ICD-10:
- Kode: N52.9
- Deskripsi: Disfungsi ereksi, tidak spesifik
2. Kode ICD-9-CM Procedure (jika ada):
- Kode: 64.2
- Deskripsi: Pembedahan untuk pengobatan disfungsi ereksi, termasuk implan penisos.
Penjelasan:
- Kode ICD-10 N52.9 digunakan untuk diagnosis disfungsi ereksi yang tidak dapat diklasifikasikan secara lebih spesifik. Disfungsi ereksi merupakan kondisi di mana pria mengalami kesulitan mendapatkan atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan aktivitas seksual yang memuaskan.
- Kode ICD-9-CM 64.2 mencakup prosedur pembedahan yang dilakukan untuk mengobati disfungsi ereksi, seperti implantasi alat bantu ereksi atau prosedur lainnya yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi ereksi.
Penting untuk dicatat bahwa diagnosis dan tindakan yang tepat harus ditentukan oleh profesional kesehatan yang kompeten setelah melakukan evaluasi klinis yang menyeluruh. Pasien disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis urologi atau dokter lainnya yang berpengalaman dalam menangani kondisi disfungsi ereksi. -
Article No. 13385 | 05 Mar 2025
Klinis : PASIEN MENGELUH GAK BISA EREKSI KALAU MAU EREKSI SUSAH
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10: Sesuai dengan informasi yang Anda berikan, kondisi yang diderita oleh pasien adalah masalah disfungsi ereksi. Berikut adalah kode ICD-10 dan ICD-9-CM yang sesuai:
1. Kode ICD-10:
- Kode: N52.9
- Deskripsi: Disfungsi ereksi, tidak ditetapkan
2. Kode ICD-9-CM Procedure (jika ada):
- Kode: 64.0
- Deskripsi: Operasi penis, tidak diklasifikasikan di tempat lain
Penjelasan:
Disfungsi ereksi adalah kondisi di mana seseorang tidak dapat mempertahankan atau mencapai ereksi yang cukup untuk melakukan hubungan seksual yang memuaskan. Pada kasus ini, pasien mengeluhkan bahwa ia sulit untuk memperoleh ereksi saat akan melakukan aktivitas seksual.
Kode ICD-10 N52.9 (Disfungsi ereksi, tidak ditetapkan) digunakan untuk menggambarkan kondisi ini secara umum, tanpa spesifikasi penyebab atau jenis disfungsi ereksi yang lebih spesifik.
Sementara itu, kode ICD-9-CM 64.0 (Operasi penis, tidak diklasifikasikan di tempat lain) dapat digunakan untuk mencatat prosedur medis yang mungkin dilakukan untuk menangani kondisi disfungsi ereksi, seperti pembedahan penis atau terapi lainnya. Namun, berdasarkan informasi yang diberikan, tidak ada tindakan medis yang disebutkan, sehingga kode ini hanya sebagai referensi jika ada tindakan yang dilakukan.
Diagnosis dan tatalaksana disfungsi ereksi harus dilakukan oleh dokter spesialis urologi atau dokter yang berpengalaman dalam menangani masalah ini, dengan mempertimbangkan faktor-faktor penyebab dan memilih intervensi yang sesuai. -
Article No. 13386 | 05 Mar 2025
Klinis : PASIEN MENGELUH GAK BISA EREKSI KALAU MAU EREKSI SUSAH
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan:
Disfungsi Seksual: Ejakulasi Dini
Penjelasan:
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI):
Disfungsi Seksual: Ejakulasi Dini didefinisikan sebagai ketidakmampuan individu untuk mengendalikan ejakulasi, sehingga terjadi ejakulasi yang terlalu cepat dan tidak terkontrol pada saat aktivitas seksual.
Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI):
Luaran yang diharapkan pada pasien dengan Disfungsi Seksual: Ejakulasi Dini adalah pasien dapat mengendalikan ejakulasi, memiliki kepuasan dalam hubungan seksual, dan tidak mengalami gangguan dalam aktivitas seksual.
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI):
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan antara lain konseling seksual, latihan relaksasi, terapi perilaku, terapi obat, dan edukasi kesehatan seksual. Tujuannya adalah membantu pasien memahami kondisi, meningkatkan kontrol ejakulasi, dan meningkatkan kepuasan seksual.
Sebagai perawat, kami akan bekerja secara profesional dan empatis untuk membantu pasien mengatasi masalah disfungsi seksual yang dialaminya. Kami akan memberikan dukungan dan edukasi yang sesuai agar pasien dapat memahami kondisinya dan mengembangkan strategi penanganan yang tepat. -
Article No. 13387 | 05 Mar 2025
Klinis : pasien sesak nafas dan batuk berdahak sejak 2 hr
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat berdasarkan SDKI, SLKI, dan SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) untuk kondisi pasien dengan sesak napas dan batuk berdahak sejak 2 hari:
Diagnosa Keperawatan:
1. Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
- Definisi: Ketidakmampuan untuk membersihkan sekret atau obstruksi dari saluran napas untuk mempertahankan jalan napas yang bersih dan bebas.
- Penyebab: Peningkatan produksi sekret, kelemahan otot pernapasan, dan obstruksi jalan napas.
Rencana Asuhan Keperawatan:
1. Intervensi Keperawatan (SLKI)
- Manajemen Jalan Napas
- Terapi Oksigen
- Manajemen Batuk
- Manajemen Sputum
2. Intervensi Mandiri (SIKI)
- Pemantauan Tanda-Tanda Vital
- Pemberian Oksigen
- Terapi Inhalasi
- Manajemen Batuk
- Terapi Postural
Penjelasan Singkat:
Diagnosa keperawatan "Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif" menggambarkan kondisi pasien yang mengalami kesulitan dalam membersihkan sekret atau obstruksi dari saluran napas. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan produksi sekret, kelemahan otot pernapasan, dan obstruksi jalan napas.
Rencana asuhan keperawatan yang dapat dilakukan meliputi intervensi keperawatan seperti manajemen jalan napas, terapi oksigen, manajemen batuk, dan manajemen sputum. Selain itu, terdapat intervensi mandiri yang dapat dilakukan perawat, seperti pemantauan tanda-tanda vital, pemberian oksigen, terapi inhalasi, manajemen batuk, dan terapi postural.
Tujuan dari rencana asuhan keperawatan ini adalah untuk membantu pasien dalam mempertahankan jalan napas yang bersih dan bebas, sehingga dapat mengurangi gejala sesak napas dan batuk berdahak yang dialami oleh pasien. -
Article No. 13388 | 05 Mar 2025
Klinis : Tn.X, Seorang pria Indonesia berusia 61 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada khas (angina) yang telah dirasakan sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit dan semakin memburuk tiga jam sebelum kedatangannya. Nyeri dada yang dialami bersifat menekan dan menjalar ke lengan kiri, disertai dengan gejala tambahan berupa sesak napas (dyspnea), mual, dan keringat berlebih (diaphoresis). Pasien memiliki riwayat merokok dan dislipidemia, yang merupakan faktor risiko utama penyakit jantung koroner. Meskipun demikian, ia dalam kondisi hemodinamik yang stabil saat diperiksa di unit gawat darurat, dengan tekanan darah dalam batas normal, frekuensi napas teratur, dan denyut nadi yang masih dalam kisaran normal. Mengingat gejala yang dialami mengarah pada sindrom koroner akut (Acute Coronary Syndrome/ACS), dilakukan pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) yang menunjukkan adanya depresi segmen ST dan inversi gelombang T, yang mengindikasikan adanya iskemia miokard. Untuk mendukung diagnosis lebih lanjut, pemeriksaan laboratorium dilakukan, yang menunjukkan nilai International Normalized Ratio (INR) sebesar 1,28. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat pembekuan darah pasien berada dalam batas yang kurang optimal untuk perlindungan terhadap kejadian trombotik. Sebagai langkah awal dalam penanganan, pasien segera diberikan terapi farmakologis berupa terapi antiplatelet ganda (dual antiplatelet therapy/DAPT) dengan aspirin dan clopidogrel, serta terapi antikoagulan menggunakan fondaparinux. Terapi ini bertujuan untuk mencegah pembentukan trombus lebih lanjut yang dapat memperburuk kondisi pasien. Setelah diberikan terapi, pasien melaporkan adanya perbaikan gejala, dengan penurunan intensitas nyeri dada serta berkurangnya keluhan sesak napas. Namun, mengingat riwayat medis pasien yang menunjukkan adanya serangan jantung berulang, pemeriksaan lanjutan diperlukan untuk menilai kondisi arteri koroner secara lebih mendalam. Oleh karena itu, dilakukan angiografi koroner, yang menunjukkan adanya ektasia (pelebaran abnormal) serta aliran darah yang turbulen di arteri koroner kanan bagian tengah hingga distal. Selain itu, ditemukan pula adanya aliran yang melambat (slow flow), yang dapat meningkatkan risiko trombosis dan iskemia lebih lanjut. Pada pemeriksaan yang sama, terlihat bahwa pasien memiliki stent yang masih paten di arteri descendens anterior kiri bagian proksimal hingga tengah, yang sebelumnya dipasang untuk mengatasi stenosis akibat penyakit jantung koroner yang dideritanya. Pasien ini diketahui telah mengalami sindrom koroner akut berulang dalam beberapa tahun terakhir dan telah menerima dua pemasangan stent pada pembuluh darahnya akibat stenosis yang signifikan. Meskipun telah mendapatkan intervensi tersebut, ia tetap mengalami serangan jantung berulang, yang kemungkinan besar dipicu oleh kondisi ektasia arteri koroner yang menyebabkan gangguan aliran darah dan kecenderungan pembentukan trombus. Dalam kasus ini, strategi pengobatan tidak hanya difokuskan pada terapi antiplatelet untuk mencegah agregasi trombosit, tetapi juga memperhitungkan pentingnya terapi antikoagulan untuk mengatasi risiko trombosis akibat aliran darah yang lambat pada arteri yang melebar. 3.2 Asuhan Keperawatan A. Identitas Pasien a. Nama : Tn.X b. Usia : 61 tahun c. Jenis Kelamin : Laki-laki d. Pekerjaan : Wiraswasta e. Pendidikan : SMA f. Agama : Islam g. Alamat : Kalisongo, Dau, Malang h. Tanggal Masuk RS : 27 Februari 2025 i. Tanggal Pengkajian : 27 Februari 2025 j. No RM : 2160801 k. Diagnosa Medis : Sindrom Koroner Akut (Acute Coronary Syndrome/ACS) B. Riwayat Kesehatan a. Riwayat penyakit sekarang i) Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada khas (angina) yang telah dirasakan sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit dan semakin memburuk tiga jam sebelum kedatangannya. Nyeri dada bersifat menekan dan menjalar ke lengan kiri, disertai sesak napas (dyspnea), mual, dan keringat berlebih (diaphoresis). ii) Hasil pemeriksaan EKG menunjukkan depresi segmen ST dan inversi gelombang T, yang mengindikasikan iskemia miokard. iii) Pemeriksaan laboratorium menunjukkan nilai INR 1,28, yang menunjukkan pembekuan darah kurang optimal untuk perlindungan terhadap trombosis. iv) Angiografi koroner menunjukkan ektasia arteri koroner kanan bagian tengah hingga distal, aliran darah yang turbulen, serta slow flow. v) Pasien diketahui memiliki stent yang masih paten di arteri descendens anterior kiri bagian proksimal hingga tengah. b. Riwayat penyakit terdahulu i) Riwayat serangan jantung berulang dalam beberapa tahun terakhir. ii) Pasien pernah menjalani dua kali pemasangan stent akibat stenosis arteri koroner. iii) Riwayat dislipidemia. iv) Riwayat merokok. c. Riwayat keluarga i) Tidak terkaji C. Pemeriksaan Fisik a. Pengkajian umum Pasien dalam kondisi sadar, pasien terlihat tampak cemas akibat nyeri dada. b. Tanda-tanda vital i) Tekanan Darah (TD): 120-140/80–90 mmHg ii) Frekuensi Nadi (HR): 60-100 kali/menit iii) Frekuensi Napas (RR): 18-22 kali/menit iv) Saturasi Oksigen (SpO₂): ≥95% v) Suhu tubuh: 36,5°C c. Penilaian Awal i) Airway (A) Tidak ada sumbatan atau gangguan pada saluran pernapasan. Pasien dapat berbicara dengan jelas tanpa kesulitan. ii) Breathing (B) Meskipun pasien tidak mengalami gangguan jalan napas yang serius, ia mengeluhkan sesak napas yang disertai dengan keringat berlebih. Frekuensi napas masih dalam batas normal, tetapi ada kemungkinan peningkatan akibat kecemasan atau nyeri dada yang dialaminya. Tidak ditemukan penggunaan otot bantu napas yang berlebihan, dan suara napas terdengar normal tanpa adanya wheezing atau ronki. iii) Circulation (C) Kondisi hemodinamik pasien tetap stabil, dibuktikan dengan hasil tekanan darah, denyut nadi, dan perfusi perifer dalam batas normal. Tidak ada tanda-tanda syok seperti pucat, ekstremitas dingin, atau penurunan kesadaran. Namun, hasil pemeriksaan angiografi menunjukkan adanya gangguan aliran darah pada arteri koroner, yang meningkatkan risiko trombosis jika tidak ditangani dengan baik. iv) Disabillity (D) Pasien dalam kondisi sadar penuh dan dapat merespons dengan baik saat diajak berbicara. Tidak ditemukan adanya tanda gangguan kesadaran. Namun, pasien tampak cemas akibat nyeri dada yang dialaminya. D. Pemeriksaan Penunjang a. Elektrokardiogram (EKG) Hasil EKG menunjukkan adanya penurunan segmen ST dan perubahan bentuk gelombang T. Hal ini menandakan bahwa otot jantung mengalami kekurangan pasokan oksigen atau iskemia miokard. b. Pemeriksaan Laboratorium Hasil tes darah menunjukkan nilai INR sebesar 1,28, yang berarti kemampuan darah untuk membeku masih kurang optimal dalam mencegah risiko pembentukan gumpalan darah (trombosis). c. Angiografi Koroner Pemeriksaan angiografi menunjukkan adanya pelebaran abnormal (ektasia) pada arteri koroner kanan di bagian tengah hingga ujungnya. Aliran darah di area ini tidak lancar, cenderung berputar (turbulen) dan mengalir lebih lambat dari normal (slow flow) yang dapat meningkatkan risiko terbentuknya bekuan darah. Sementara itu, stent yang sebelumnya dipasang di arteri descendens anterior kiri masih berfungsi dengan baik dan tidak mengalami penyumbatan.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi yang dialami oleh Tn. X, berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat sesuai dengan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), dan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
1. Diagnosa Keperawatan:
a. Nyeri akut
b. Ketidakefektifan pola napas
c. Risiko ketidakstabilan hemodinamik
2. Penjelasan singkat:
a. Nyeri akut
- SDKI: Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam sejumlah area tubuh.
- SLKI: Pasien melaporkan intensitas nyeri yang terkontrol, pasien mendemonstrasikan perilaku yang menunjukkan kontrol nyeri, dan pasien menunjukkan tanda-tanda vital yang stabil.
- SIKI: Identifikasi karakteristik nyeri, manajemen nyeri farmakologis dan non-farmakologis, serta pemantauan respons pasien terhadap intervensi.
b. Ketidakefektifan pola napas
- SDKI: Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat.
- SLKI: Pasien menunjukkan pola napas yang efektif, pasien melaporkan tidak ada sesak napas, dan pasien menunjukkan tanda-tanda vital yang stabil.
- SIKI: Identifikasi penyebab, pemantauan status pernapasan, intervensi untuk mempertahankan jalan napas, serta manajemen oksigenasi.
c. Risiko ketidakstabilan hemodinamik
- SDKI: Berisiko mengalami perubahan pada tekanan darah, denyut nadi, dan/atau curah jantung yang dapat mengganggu pasokan oksigen ke jaringan.
- SLKI: Pasien menunjukkan tanda-tanda vital yang stabil, pasien melaporkan tidak ada gejala ketidakstabilan hemodinamik, dan pasien tidak mengalami tanda-tanda syok.
- SIKI: Pemantauan tanda-tanda vital, manajemen cairan dan elektrolit, serta intervensi untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik.
Penekanan utama dalam asuhan keperawatan Tn. X adalah pengelolaan nyeri dada, mempertahankan pola napas yang efektif, serta memantau dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. Hal ini penting untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan memfasilitasi pemulihan pasien. -
Article No. 13389 | 05 Mar 2025
Klinis : Seorang wanita berusia 50 tahun, Ny. S, mengalami cedera kepala berat akibat kecelakaan lalu lintas setelah menabrak mobil saat mengendarai sepeda motor. Pasien kemudian dibawa ke rumah sakit dan didiagnosis dengan hematoma subdural akut akibat fraktur temporoparietal kanan. Rencananya, pasien akan menjalani tindakan kraniotomi dekompresi dan pengangkatan hematoma. Pada anamnesis, pasien tidak memiliki riwayat asma, alergi, hipertensi, atau diabetes melitus. Namun, riwayat makan dan minum terakhir sebelum kejadian tidak diketahui. Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak lemah dengan tekanan darah 128/55 mmHg, nadi 87 kali per menit, frekuensi napas 16 kali per menit, saturasi oksigen 100%, dan tingkat kesadaran dengan GCS E1VTM2. Pemeriksaan kepala menunjukkan pupil anisokor dengan ukuran 5 mm pada mata kanan dan 3 mm pada mata kiri serta refleks cahaya negatif. Pasien telah terpasang endotrakeal tube (ETT) nomor 7 dengan kedalaman 21 cm. Pemeriksaan toraks menunjukkan bunyi jantung murni tanpa bising dan pola pernapasan vesikuler normal tanpa wheezing atau ronki. Pemeriksaan abdomen menunjukkan peristaltik normal tanpa nyeri tekan, dan ekstremitas tanpa edema. Hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan adanya leukositosis ringan (AL 12.400), kadar hemoglobin 11,2 g/dL, hematokrit 32,5%, trombosit 177.000, serta gangguan fungsi hati ringan dengan SGOT 55 U/L dan SGPT 39 U/L. Pemeriksaan gas darah menunjukkan pH 7,4, pO2 68,4 mmHg, pCO2 29,3 mmHg, dan HCO3 19,4 mEq/L. Selain itu, hasil CT scan kepala menunjukkan adanya perdarahan intraserebral di lobus oksipitoparietalis kanan, hematoma subdural di lobus frontoparietotemporooksipitalis kanan, herniasi subfalksin, hematoma intraantral dan intranasal, kontusional di area temporoparietal kiri, serta subluksasi pada sendi temporomandibular kiri.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan dan Penjelasan Singkat SDKI - SLKI - SIKI:
Diagnosa Keperawatan:
1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan cedera kepala berat, hematoma subdural akut, dan herniasi otak.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan trauma respirasi dan penurunan kesadaran.
3. Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan dan terapi invasif.
4. Risiko perdarahan berhubungan dengan fraktur temporoparietal kanan dan hematoma intraserebral.
5. Risiko syok berhubungan dengan hematoma subdural akut dan perdarahan.
Penjelasan Singkat SDKI - SLKI - SIKI:
1. Gangguan perfusi jaringan serebral:
- SDKI: Penurunan aliran darah ke otak yang dapat menyebabkan kerusakan otak.
- SLKI: Intervensi untuk mempertahankan perfusi serebral yang adekuat.
- SIKI: Perawatan dengan ventilasi, pemantauan tanda vital, manajemen cairan, dan tindakan untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakranial.
2. Gangguan pertukaran gas:
- SDKI: Ketidakmampuan paru-paru untuk melakukan oksigenasi dan/atau eliminasi CO2 yang adekuat.
- SLKI: Intervensi untuk memfasilitasi pertukaran gas yang optimal.
- SIKI: Perawatan dengan intubasi endotrakeal, ventilasi mekanik, pemantauan gas darah, dan pemberian oksigen.
3. Risiko infeksi:
- SDKI: Peningkatan kerentanan terhadap invasi dan multiplikasi mikroorganisme patogen.
- SLKI: Intervensi untuk mencegah atau mengurangi risiko infeksi.
- SIKI: Perawatan dengan teknik aseptik, pemberian antibiotik, dan pemantauan tanda-tanda infeksi.
4. Risiko perdarahan:
- SDKI: Peningkatan kerentanan terhadap kehilangan darah yang dapat mengancam kehidupan.
- SLKI: Intervensi untuk mencegah atau mengendalikan perdarahan.
- SIKI: Perawatan dengan pemantauan tanda vital, manajemen cairan, pemberian produk darah, dan tindakan hemostasis.
5. Risiko syok:
- SDKI: Penurunan perfusi jaringan yang mengancam kehidupan.
- SLKI: Intervensi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat.
- SIKI: Perawatan dengan pemantauan tanda vital, manajemen cairan, pemberian vasoaktif, dan dukungan organ vital. -
Article No. 13390 | 05 Mar 2025
Klinis : Seorang wanita berusia 50 tahun, Ny. S, mengalami cedera kepala berat akibat kecelakaan lalu lintas setelah menabrak mobil saat mengendarai sepeda motor. Pasien kemudian dibawa ke rumah sakit dan didiagnosis dengan hematoma subdural akut akibat fraktur temporoparietal kanan. Rencananya, pasien akan menjalani tindakan kraniotomi dekompresi dan pengangkatan hematoma. Pada anamnesis, pasien tidak memiliki riwayat asma, alergi, hipertensi, atau diabetes melitus. Namun, riwayat makan dan minum terakhir sebelum kejadian tidak diketahui. Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak lemah dengan tekanan darah 128/55 mmHg, nadi 87 kali per menit, frekuensi napas 16 kali per menit, saturasi oksigen 100%, dan tingkat kesadaran dengan GCS E1VTM2. Pemeriksaan kepala menunjukkan pupil anisokor dengan ukuran 5 mm pada mata kanan dan 3 mm pada mata kiri serta refleks cahaya negatif. Pasien telah terpasang endotrakeal tube (ETT) nomor 7 dengan kedalaman 21 cm. Pemeriksaan toraks menunjukkan bunyi jantung murni tanpa bising dan pola pernapasan vesikuler normal tanpa wheezing atau ronki. Pemeriksaan abdomen menunjukkan peristaltik normal tanpa nyeri tekan, dan ekstremitas tanpa edema. Hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan adanya leukositosis ringan (AL 12.400), kadar hemoglobin 11,2 g/dL, hematokrit 32,5%, trombosit 177.000, serta gangguan fungsi hati ringan dengan SGOT 55 U/L dan SGPT 39 U/L. Pemeriksaan gas darah menunjukkan pH 7,4, pO2 68,4 mmHg, pCO2 29,3 mmHg, dan HCO3 19,4 mEq/L. Selain itu, hasil CT scan kepala menunjukkan adanya perdarahan intraserebral di lobus oksipitoparietalis kanan, hematoma subdural di lobus frontoparietotemporooksipitalis kanan, herniasi subfalksin, hematoma intraantral dan intranasal, kontusional di area temporoparietal kiri, serta subluksasi pada sendi temporomandibular kiri.
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10: Sesuai dengan informasi yang diberikan, berikut adalah kode ICD-10 untuk diagnosis dan kode ICD-9-CM untuk tindakan medis:
1. Kode ICD-10:
- Kode: S06.5
- Deskripsi: Hematoma subdural akut
2. Kode ICD-9-CM Procedure:
- Kode: 01.24
- Deskripsi: Kraniotomi dekompresi dan pengangkatan hematoma
Penjelasan:
1. Kode ICD-10 S06.5 (Hematoma subdural akut) sesuai dengan diagnosa yang diberikan, yaitu hematoma subdural akut akibat fraktur temporoparietal kanan.
2. Kode ICD-9-CM 01.24 (Kraniotomi dekompresi dan pengangkatan hematoma) sesuai dengan rencana tindakan medis yang akan dilakukan, yaitu kraniotomi dekompresi dan pengangkatan hematoma.
Berdasarkan informasi tambahan yang diberikan, pasien ini mengalami cedera kepala berat akibat kecelakaan lalu lintas, dengan temuan klinis seperti penurunan kesadaran, anisokoria, dan perdarahan intraserebral serta hematoma subdural. Pasien akan menjalani tindakan operatif untuk mengatasi komplikasi cedera kepala tersebut. -
Article No. 13391 | 05 Mar 2025
Klinis : Seorang wanita berusia 50 tahun, Ny. S, mengalami cedera kepala berat akibat kecelakaan lalu lintas setelah menabrak mobil saat mengendarai sepeda motor. Pasien kemudian dibawa ke rumah sakit dan didiagnosis dengan hematoma subdural akut akibat fraktur temporoparietal kanan. Rencananya, pasien akan menjalani tindakan kraniotomi dekompresi dan pengangkatan hematoma. Pada anamnesis, pasien tidak memiliki riwayat asma, alergi, hipertensi, atau diabetes melitus. Namun, riwayat makan dan minum terakhir sebelum kejadian tidak diketahui. Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak lemah dengan tekanan darah 128/55 mmHg, nadi 87 kali per menit, frekuensi napas 16 kali per menit, saturasi oksigen 100%, dan tingkat kesadaran dengan GCS E1VTM2. Pemeriksaan kepala menunjukkan pupil anisokor dengan ukuran 5 mm pada mata kanan dan 3 mm pada mata kiri serta refleks cahaya negatif. Pasien telah terpasang endotrakeal tube (ETT) nomor 7 dengan kedalaman 21 cm. Pemeriksaan toraks menunjukkan bunyi jantung murni tanpa bising dan pola pernapasan vesikuler normal tanpa wheezing atau ronki. Pemeriksaan abdomen menunjukkan peristaltik normal tanpa nyeri tekan, dan ekstremitas tanpa edema. Hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan adanya leukositosis ringan (AL 12.400), kadar hemoglobin 11,2 g/dL, hematokrit 32,5%, trombosit 177.000, serta gangguan fungsi hati ringan dengan SGOT 55 U/L dan SGPT 39 U/L. Pemeriksaan gas darah menunjukkan pH 7,4, pO2 68,4 mmHg, pCO2 29,3 mmHg, dan HCO3 19,4 mEq/L. Selain itu, hasil CT scan kepala menunjukkan adanya perdarahan intraserebral di lobus oksipitoparietalis kanan, hematoma subdural di lobus frontoparietotemporooksipitalis kanan, herniasi subfalksin, hematoma intraantral dan intranasal, kontusional di area temporoparietal kiri, serta subluksasi pada sendi temporomandibular kiri.
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi klinis yang dipaparkan, berikut adalah diagnosa keperawatan, luaran/output, dan intervensi keperawatan yang sesuai dengan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), dan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI):
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Gangguan perfusi jaringan serebral (00205) berhubungan dengan hematoma subdural akut dan perdarahan intraserebral
2. Risiko cedera (00035) berhubungan dengan gangguan kesadaran dan penurunan fungsi neurologis
3. Risiko infeksi (00004) berhubungan dengan prosedur bedah kraniotomi
4. Gangguan pertukaran gas (00030) berhubungan dengan penurunan kemampuan ventilasi akibat trauma kepala
Luaran/Output Keperawatan SLKI:
1. Perfusi jaringan serebral (0405)
- Indikator: Tekanan intrakranial, Kemampuan autoregulasi serebral, Suplai darah serebral, Oksigenasi serebral
2. Integritas kulit dan jaringan (1101)
- Indikator: Integritas kulit, Perfusi jaringan, Risiko terjadi kerusakan
3. Bebas infeksi (1842)
- Indikator: Tanda-tanda infeksi, Proses penyembuhan, Terapi antibiotik
4. Pertukaran gas (0402)
- Indikator: Frekuensi napas, Irama napas, Oksigenasi, Ventilasi
Intervensi Keperawatan SIKI:
1. Manajemen perfusi serebral (6670)
- Monitoring tanda-tanda vital dan status neurologis
- Mengatur posisi kepala dan leher untuk memfasilitasi aliran darah serebral
- Mempertahankan ventilasi yang adekuat
- Memantau tekanan intrakranial dan menjaga agar tetap dalam batas normal
2. Manajemen cedera (6490)
- Memantau tanda-tanda vital dan status neurologis secara ketat
- Mencegah komplikasi akibat imobilisasi
- Menjaga kebersihan dan integritas kulit
- Memberikan terapi analgetik dan antikonvulsan sesuai indikasi
3. Manajemen infeksi (6540)
- Memantau tanda-tanda infeksi
- Memastikan aseptik selama perawatan dan prosedur
- Memberikan terapi antibiotik sesuai indikasi
- Mendorong mobilisasi dini untuk mencegah komplikasi
4. Manajemen jalan napas (3140)
- Mempertahankan patensi jalan napas dengan ventilasi mekanik
- Mengatur parameter ventilator sesuai kebutuhan
- Memantau status oksigenasi dan ventilasi
- Memberikan terapi oksigen sesuai kebutuhan
Penjelasan rinci:
1. Diagnosa keperawatan didasarkan pada kondisi klinis yang ditemukan, seperti gangguan perfusi serebral akibat hematoma dan perdarahan, risiko cedera terkait penurunan kesadaran dan fungsi neurologis, risiko infeksi akibat prosedur bedah, serta gangguan pertukaran gas akibat trauma kepala.
2. Luaran/output keperawatan mencakup pemulihan perfusi serebral, integritas kulit dan jaringan, bebas infeksi, serta perbaikan pertukaran gas sesuai dengan diagnosa keperawatan yang telah ditetapkan.
3. Intervensi keperawatan dirancang untuk mengatasi masalah keperawatan dan mencapai luaran yang diharapkan, seperti manajemen perfusi serebral, manajemen cedera, manajemen infeksi, dan manajemen jalan napas.
Secara keseluruhan, asuhan keperawatan yang komprehensif diperlukan untuk mengelola komplikasi akibat cedera kepala berat, meminimalkan risiko, dan memfasilitasi proses pemulihan pasien. -
Article No. 13392 | 05 Mar 2025
Klinis : pasien mengaluh nyeri 5 dari 10 saat beraktifitas
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10: Berdasarkan informasi yang diberikan, yaitu pasien mengalami nyeri 5 dari 10 saat beraktivitas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kode ICD-10:
- Kode: R52.2
- Deskripsi: Nyeri kronis yang tidak tergolongkan
Penjelasan:
Kode R52.2 dalam Klasifikasi Statistik Internasional Penyakit dan Masalah-Masalah Terkait Kesehatan Revisi Kesepuluh (ICD-10) digunakan untuk menggambarkan kondisi nyeri kronis yang tidak dapat diklasifikasikan dalam kategori lain. Dalam kasus ini, pasien mengalami nyeri dengan intensitas 5 dari 10 saat beraktivitas, yang dapat diklasifikasikan sebagai nyeri kronis.
2. Kode ICD-9-CM Procedure (jika ada):
- Kode: Tidak ada kode ICD-9-CM prosedur yang spesifik untuk kondisi ini.
- Deskripsi: Tidak ada prosedur atau tindakan medis yang dilakukan secara khusus untuk menangani kondisi nyeri kronis yang dialami pasien. Penanganan yang mungkin dilakukan adalah manajemen nyeri, terapi fisik, atau pengobatan simptomatik.
Dalam kasus ini, tidak ada kode ICD-9-CM prosedur yang spesifik untuk kondisi nyeri kronis yang dialami pasien. Penanganan yang mungkin dilakukan adalah manajemen nyeri, terapi fisik, atau pengobatan simptomatik, tetapi tidak ada prosedur atau tindakan medis yang terkode secara khusus.