Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 14246 | 16 Mar 2025
Klinis : Anak jalanan memiliki status kebersihan tubuh yang terbilang kurang, dikarenakan hygiene dan tata cara yang mereka lakukan tidak sesuai standar kebersihan pada umumnya. Kebersihan makanan yang mereka makan juga masih tergolong rendah, mereka tidak mengetahui tata cara mencuci tangan yang benar sebelum makan. 78% remaja merokok. 15% sudah pernah mencoba menghirup lem aibon. 36,2% pernah meminum alkohol. Sebagian remaja beralasan tinggal di rumah singgah karena tempat tinggal terlalu sempit. Sebagian remaja menyatakan jarang menggunakan layanan kesehatan. Sebagian remaja menyatakan tidak mengetahui adanya layanan kesehatan khusus remaja. sebagian remaja menyatakan pernah terkait perkelahian, pelecehan seksual, dan kekerasan. 18,3% sudah pernah mendapatkan pelecehan seksual. 32,5% pernah mengalami perilaku kekerasan. Sering berbagi alat pribadi bersama, dimana hal tersebut dapat meningkatkan persentase penularan penyakit. Terkadang tidak mempunyai tempat tinggal dan harus bersinggah di tempat umum. Anak jalanan tidak mempunyai sumber fasilitas kesehatan yang diandalkan, hal ini mengacu antara kurangnya diperhatikan, ataupun kesulitan akses untuk mendapatkan layanan kesehatan. Risiko penyakit menular yang tinggi akibat kondisi lingkungan serta keselamatan yang tidak terjamin.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Infeksi
- Penjelasan: Anak jalanan memiliki risiko infeksi yang tinggi karena perilaku higiene yang buruk, kebersihan makanan yang rendah, berbagi alat pribadi, dan paparan lingkungan yang tidak sehat.
2. Kurang Pengetahuan Kesehatan
- Penjelasan: Anak jalanan memiliki pengetahuan yang kurang tentang cara mencuci tangan yang benar, layanan kesehatan yang tersedia, dan risiko perilaku merokok, menghirup lem, serta mengonsumsi alkohol.
3. Risiko Penyalahgunaan Zat
- Penjelasan: Adanya perilaku merokok, menghirup lem, dan mengonsumsi alkohol pada remaja anak jalanan menunjukkan risiko penyalahgunaan zat yang tinggi.
4. Risiko Cedera
- Penjelasan: Anak jalanan memiliki risiko cedera yang tinggi akibat perkelahian, pelecehan seksual, dan kekerasan yang pernah dialami.
5. Risiko Gangguan Psikososial
- Penjelasan: Kondisi anak jalanan yang tinggal di rumah singgah karena tempat tinggal yang sempit, serta sering terlibat dalam perkelahian, pelecehan seksual, dan kekerasan dapat menyebabkan risiko gangguan psikososial.
SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia):
- Risiko Infeksi
- Kurang Pengetahuan Kesehatan
- Risiko Penyalahgunaan Zat
- Risiko Cedera
- Risiko Gangguan Psikososial
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
- Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
- Pengetahuan Kesehatan
- Kepatuhan Pengobatan
- Integritas Kulit dan Jaringan
- Stabilitas Perilaku
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
- Edukasi Kesehatan
- Manajemen Risiko
- Manajemen Stress
- Konseling
- Terapi Perilaku
Sebagai perawat, pendekatan yang dapat dilakukan adalah memberikan edukasi kesehatan, manajemen risiko, konseling, dan terapi perilaku untuk membantu anak jalanan meningkatkan pengetahuan, mencegah infeksi, mengurangi risiko penyalahgunaan zat, dan mempromosikan kesehatan mental. -
Article No. 14247 | 16 Mar 2025
Klinis : Ny. Y (73 tahun), datang ke rumah sakit dengan keluhan hematochezia (buang air besar berdarah) yang telah berlangsung selama tiga hari. Pasien juga mengeluhkan kelelahan dan kelemahan, yang menyebabkan ia melewatkan jadwal hemodialisis rutinnya. Ny. Y nampak pucat dan lemas. Ny. Y memiliki riwayat end-stage renal disease (ESRD) dan paroxysmal atrial fibrillation, serta sedang menjalani terapi Apixaban, sebuah obat antikoagulan yang meningkatkan risiko perdarahan. Pasien memiliki berat badan 58 kg dan tinggi badan 155 cm, dengan riwayat penyakit keluarga tidak ada yang berkaitan dengan gangguan perdarahan atau penyakit gastrointestinal. Pada saat masuk rumah sakit, tanda-tanda vital pasien sebagai berikut: • Tekanan darah (TD): 110/70 mmHg • Frekuensi napas (RR): 22 kali/menit • Frekuensi nadi (HR): 102 kali/menit (takikardia ringan) • Suhu tubuh: 36,8°C • Glasgow Coma Scale (GCS): 15 (E4V5M6, sadar penuh) Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa abdomen lunak, tidak nyeri, dan tidak distensi, sementara pemeriksaan rektal menemukan feses berwarna merah marun dengan adanya hemoroid eksternal. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hemoglobin 5.6 g/dL, yang mengindikasikan anemia akut dan kronis, serta adanya gangguan elektrolit akibat gagal ginjal dan hemodialisis yang terlewat. Pasien kemudian dirawat di rumah sakit dan menjalani hemodialisis. Namun, perdarahan semakin memburuk, dari maroon stool menjadi frank hematochezia, sehingga memerlukan 5 unit transfusi packed red blood cells (PRC). Pada hari ketiga perawatan, dilakukan kolonoskopi yang mengungkap adanya perdarahan aktif pada mukosa sekum, tanpa adanya lesi Dieulafoy, ulkus, massa, malformasi arteriovenosa, atau divertikula. Awalnya, tindakan injeksi epinefrin tidak berhasil menghentikan perdarahan, tetapi akhirnya bipolar elektrokauter berhasil menghentikan perdarahan tersebut. Setelah tindakan dilakukan, pasien tetap dalam pemantauan untuk memastikan tidak ada perdarahan ulang. Ny. Y kemudian dapat kembali menjalani terapi antikoagulan tanpa komplikasi lebih lanjut. Pada hari keempat, pasien dalam kondisi stabil, tidak mengalami perdarahan ulang, dan kadar hemoglobin meningkat serta stabil. Pasien diperbolehkan pulang dengan pemantauan ketat terhadap risiko perdarahan berulang serta edukasi terkait tanda-tanda bahaya yang perlu segera dilaporkan ke rumah sakit. Temuan endoskopi sebelum dan sesudah intervensi terapeutik: (a) Terlihat perdarahan aktif pada mukosa sekum (ditunjukkan dengan panah). (b) Setelah dilakukan irigasi, perdarahan teridentifikasi berasal dari satu titik yang terisolasi (ditunjukkan dengan panah). (c) Setelah diberikan injeksi 10 cc larutan normal saline-epinefrin (1:10.000), perdarahan masih berlanjut dari titik yang telah diidentifikasi, tanpa adanya lesi yang jelas di bawahnya (ditunjukkan dengan panah). (d) Hemostasis berhasil dicapai setelah beberapa kali penerapan koagulasi bipolar. Tidak ditemukan lesi yang jelas, kecuali adanya tanda-tanda electrocautery iatrogenik (ditunjukkan dengan panah).
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI yang Sesuai:
1. Risiko Perdarahan Akut
Berhubungan dengan:
- Gangguan fungsi trombosit
- Riwayat perdarahan gastrointestinal
- Penggunaan obat antikoagulan
2. Intoleransi Aktivitas
Berhubungan dengan:
- Penurunan energi
- Kelemahan otot
- Gagal ginjal
Luaran/Output yang Diharapkan Setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Risiko Perdarahan Akut:
- Tanda-tanda vital dalam batas normal
- Tidak ada perdarahan aktif
- Kadar hemoglobin stabil
2. Intoleransi Aktivitas:
- Tingkat energi meningkat
- Kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari meningkat
- Tidak ada keluhan kelelahan dan kelemahan
Intervensi Keperawatan yang Diperlukan untuk Mencapai Tujuan Luaran (SIKI):
1. Risiko Perdarahan Akut:
- Monitor tanda-tanda vital secara rutin
- Pantau adanya tanda-tanda perdarahan (misalnya, hematochezia, melaena, perdarahan aktif)
- Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian terapi antikoagulan yang tepat
- Lakukan tindakan endoskopi untuk menghentikan perdarahan aktif
- Tingkatkan intake nutrisi dan cairan untuk mendukung volume darah
- Edukasi pasien dan keluarga tentang tanda bahaya perdarahan dan pentingnya mematuhi terapi
2. Intoleransi Aktivitas:
- Lakukan pengkajian kemampuan fungsional pasien
- Berikan latihan fisik yang tepat secara bertahap untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan
- Kolaborasi dengan tim terapi okupasi untuk membantu meningkatkan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari
- Berikan edukasi tentang manajemen energi dan teknik relaksasi
- Libatkan keluarga dalam proses rehabilitasi untuk mendukung pemulihan pasien
Penjelasan Rinci:
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Risiko Perdarahan Akut: Kondisi ini sesuai dengan pasien Ny. Y yang memiliki riwayat perdarahan gastrointestinal (hematochezia) dan penggunaan obat antikoagulan (Apixaban) yang meningkatkan risiko perdarahan.
2. Intoleransi Aktivitas: Pasien Ny. Y juga mengalami keluhan kelelahan dan kelemahan yang menyebabkannya melewatkan jadwal hemodialisis rutin, menunjukkan adanya penurunan energi dan kemampuan fungsional.
Luaran/Output yang Diharapkan (SLKI):
1. Risiko Perdarahan Akut: Tujuan utamanya adalah memastikan tidak ada perdarahan aktif, tanda-tanda vital dalam batas normal, dan kadar hemoglobin yang stabil, sehingga risiko perdarahan akut dapat diminimalkan.
2. Intoleransi Aktivitas: Tujuannya adalah meningkatkan tingkat energi, kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari, dan mengurangi keluhan kelelahan serta kelemahan, sehingga pasien dapat mencapai kemandirian yang optimal.
Intervensi Keperawatan (SIKI):
1. Risiko Perdarahan Akut:
- Pemantauan tanda-tanda vital dan gejala perdarahan untuk deteksi dini.
- Kolaborasi dengan tim medis untuk penatalaksanaan antikoagulan yang tepat.
- Tindakan endoskopi untuk menghentikan perdarahan aktif.
- Dukungan nutrisi dan cairan untuk mempertahankan volume darah.
- Edukasi pasien dan keluarga tentang tanda bahaya dan pentingnya mematuhi terapi.
2. Intoleransi Aktivitas:
- Pengkajian kemampuan fungsional pasien sebagai dasar intervensi.
- Latihan fisik yang tepat secara bertahap untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan.
- Kolaborasi dengan tim terapi okupasi untuk membantu meningkatkan kemandirian.
- Edukasi tentang manajemen energi dan teknik relaksasi.
- Keterlibatan keluarga dalam proses rehabilitasi untuk mendukung pemulihan pasien.
Dengan intervensi keperawatan yang komprehensif dan kolaboratif, diharapkan pasien Ny. Y dapat mencapai luaran yang diharapkan, yaitu stabilnya kondisi perdarahan dan peningkatan toleransi aktivitas, sehingga pasien dapat kembali menjalankan aktivitas sehari-hari dengan optimal. -
Article No. 14248 | 16 Mar 2025
Klinis : Ny. Y (73 tahun), datang ke rumah sakit dengan keluhan hematochezia (buang air besar berdarah) yang telah berlangsung selama tiga hari. Pasien juga mengeluhkan kelelahan dan kelemahan, yang menyebabkan ia melewatkan jadwal hemodialisis rutinnya. Ny. Y nampak pucat dan lemas. Ny. Y memiliki riwayat end-stage renal disease (ESRD) dan paroxysmal atrial fibrillation, serta sedang menjalani terapi Apixaban, sebuah obat antikoagulan yang meningkatkan risiko perdarahan. Pasien memiliki berat badan 58 kg dan tinggi badan 155 cm, dengan riwayat penyakit keluarga tidak ada yang berkaitan dengan gangguan perdarahan atau penyakit gastrointestinal. Pada saat masuk rumah sakit, tanda-tanda vital pasien sebagai berikut: • Tekanan darah (TD): 110/70 mmHg • Frekuensi napas (RR): 22 kali/menit • Frekuensi nadi (HR): 102 kali/menit (takikardia ringan) • Suhu tubuh: 36,8°C • Glasgow Coma Scale (GCS): 15 (E4V5M6, sadar penuh) Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa abdomen lunak, tidak nyeri, dan tidak distensi, sementara pemeriksaan rektal menemukan feses berwarna merah marun dengan adanya hemoroid eksternal. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hemoglobin 5.6 g/dL, yang mengindikasikan anemia akut dan kronis, serta adanya gangguan elektrolit akibat gagal ginjal dan hemodialisis yang terlewat. Pasien kemudian dirawat di rumah sakit dan menjalani hemodialisis. Namun, perdarahan semakin memburuk, dari maroon stool menjadi frank hematochezia, sehingga memerlukan 5 unit transfusi packed red blood cells (PRC). Pada hari ketiga perawatan, dilakukan kolonoskopi yang mengungkap adanya perdarahan aktif pada mukosa sekum, tanpa adanya lesi Dieulafoy, ulkus, massa, malformasi arteriovenosa, atau divertikula. Awalnya, tindakan injeksi epinefrin tidak berhasil menghentikan perdarahan, tetapi akhirnya bipolar elektrokauter berhasil menghentikan perdarahan tersebut. Setelah tindakan dilakukan, pasien tetap dalam pemantauan untuk memastikan tidak ada perdarahan ulang. Ny. Y kemudian dapat kembali menjalani terapi antikoagulan tanpa komplikasi lebih lanjut. Pada hari keempat, pasien dalam kondisi stabil, tidak mengalami perdarahan ulang, dan kadar hemoglobin meningkat serta stabil. Pasien diperbolehkan pulang dengan pemantauan ketat terhadap risiko perdarahan berulang serta edukasi terkait tanda-tanda bahaya yang perlu segera dilaporkan ke rumah sakit. Temuan endoskopi sebelum dan sesudah intervensi terapeutik: (a) Terlihat perdarahan aktif pada mukosa sekum (ditunjukkan dengan panah). (b) Setelah dilakukan irigasi, perdarahan teridentifikasi berasal dari satu titik yang terisolasi (ditunjukkan dengan panah). (c) Setelah diberikan injeksi 10 cc larutan normal saline-epinefrin (1:10.000), perdarahan masih berlanjut dari titik yang telah diidentifikasi, tanpa adanya lesi yang jelas di bawahnya (ditunjukkan dengan panah). (d) Hemostasis berhasil dicapai setelah beberapa kali penerapan koagulasi bipolar. Tidak ditemukan lesi yang jelas, kecuali adanya tanda-tanda electrocautery iatrogenik (ditunjukkan dengan panah).
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, Berdasarkan kasus yang diberikan, berikut adalah diagnosa keperawatan beserta penjelasan singkat menggunakan standar SDKI, SLKI, dan SIKI dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI):
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Perdarahan Aktif berhubungan dengan efek samping terapi antikoagulan (Apixaban) dan kondisi gagal ginjal.
Penjelasan:
- SDKI: Risiko Perdarahan Aktif adalah keadaan yang menunjukkan kemungkinan terjadinya kehilangan darah yang tidak terkendali dari lokasi tubuh.
- SLKI: Intervensi keperawatan yang diperlukan adalah Manajemen Perdarahan, yaitu tindakan untuk mengendalikan dan mencegah perdarahan.
- SIKI: Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan antara lain memantau tanda-tanda perdarahan, menghentikan sumber perdarahan, memberikan terapi medis (obat, transfusi), dan memantau respons pasien terhadap intervensi.
2. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan kelemahan akibat anemia dan gagal ginjal.
Penjelasan:
- SDKI: Intoleransi Aktivitas adalah keadaan yang ditandai dengan keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang disebabkan oleh kelemahan, kelelahan, atau kurangnya energi.
- SLKI: Intervensi keperawatan yang diperlukan adalah Manajemen Aktivitas, yaitu tindakan untuk memfasilitasi partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas.
- SIKI: Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan antara lain mengkaji kemampuan fungsional pasien, mengatur aktivitas sesuai toleransi, memberikan bantuan aktivitas jika diperlukan, dan mengoptimalkan energi pasien.
3. Ketidakseimbangan Elektrolit berhubungan dengan gagal ginjal dan terlewatnya hemodialisis.
Penjelasan:
- SDKI: Ketidakseimbangan Elektrolit adalah keadaan yang ditandai dengan kadar elektrolit dalam darah yang tidak normal.
- SLKI: Intervensi keperawatan yang diperlukan adalah Manajemen Elektrolit, yaitu tindakan untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit dalam tubuh.
- SIKI: Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan antara lain memantau kadar elektrolit, memberikan terapi penggantian elektrolit jika diperlukan, dan memantau respons pasien terhadap intervensi.
Dengan pendekatan ini, perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan pasien Ny. Y. -
Article No. 14249 | 16 Mar 2025
Klinis : Ny. Y (73 tahun), datang ke rumah sakit dengan keluhan hematochezia (buang air besar berdarah) yang telah berlangsung selama tiga hari. Pasien juga mengeluhkan kelelahan dan kelemahan, yang menyebabkan ia melewatkan jadwal hemodialisis rutinnya. Ny. Y nampak pucat dan lemas, bibir tampak kering, akral teraba dingin, dan turgor kulit menurun. Ny. Y memiliki riwayat end-stage renal disease (ESRD) dan paroxysmal atrial fibrillation, serta sedang menjalani terapi Apixaban, sebuah obat antikoagulan yang meningkatkan risiko perdarahan. Pasien memiliki berat badan 58 kg dan tinggi badan 155 cm, dengan riwayat penyakit keluarga tidak ada yang berkaitan dengan gangguan perdarahan atau penyakit gastrointestinal. Pada saat masuk rumah sakit, tanda-tanda vital pasien sebagai berikut: • Tekanan darah (TD): 110/70 mmHg • Frekuensi napas (RR): 22 kali/menit • Frekuensi nadi (HR): 102 kali/menit (takikardia ringan) • Suhu tubuh: 36,8°C • Glasgow Coma Scale (GCS): 15 (E4V5M6, sadar penuh) Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa abdomen lunak, tidak nyeri, dan tidak distensi, sementara pemeriksaan rektal menemukan feses berwarna merah marun dengan adanya hemoroid eksternal. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hemoglobin 5.6 g/dL, yang mengindikasikan anemia akut dan kronis, serta adanya gangguan elektrolit akibat gagal ginjal dan hemodialisis yang terlewat. Pasien kemudian dirawat di rumah sakit dan menjalani hemodialisis. Namun, perdarahan semakin memburuk, dari maroon stool menjadi frank hematochezia, sehingga memerlukan 5 unit transfusi packed red blood cells (PRC). Pada hari ketiga perawatan, dilakukan kolonoskopi yang mengungkap adanya perdarahan aktif pada mukosa sekum, tanpa adanya lesi Dieulafoy, ulkus, massa, malformasi arteriovenosa, atau divertikula. Awalnya, tindakan injeksi epinefrin tidak berhasil menghentikan perdarahan, tetapi akhirnya bipolar elektrokauter berhasil menghentikan perdarahan tersebut. Setelah tindakan dilakukan, pasien tetap dalam pemantauan untuk memastikan tidak ada perdarahan ulang. Ny. Y kemudian dapat kembali menjalani terapi antikoagulan tanpa komplikasi lebih lanjut. Pada hari keempat, pasien dalam kondisi stabil, tidak mengalami perdarahan ulang, dan kadar hemoglobin meningkat serta stabil. Pasien diperbolehkan pulang dengan pemantauan ketat terhadap risiko perdarahan berulang serta edukasi terkait tanda-tanda bahaya yang perlu segera dilaporkan ke rumah sakit. Temuan endoskopi sebelum dan sesudah intervensi terapeutik: (a) Terlihat perdarahan aktif pada mukosa sekum (ditunjukkan dengan panah). (b) Setelah dilakukan irigasi, perdarahan teridentifikasi berasal dari satu titik yang terisolasi (ditunjukkan dengan panah). (c) Setelah diberikan injeksi 10 cc larutan normal saline-epinefrin (1:10.000), perdarahan masih berlanjut dari titik yang telah diidentifikasi, tanpa adanya lesi yang jelas di bawahnya (ditunjukkan dengan panah). (d) Hemostasis berhasil dicapai setelah beberapa kali penerapan koagulasi bipolar. Tidak ditemukan lesi yang jelas, kecuali adanya tanda-tanda electrocautery iatrogenik (ditunjukkan dengan panah).
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi yang dijelaskan, berikut adalah diagnosa keperawatan, luaran/output, dan intervensi keperawatan yang sesuai:
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Resiko perdarahan akut (SDKI 2017)
- Definisi: Rentan mengalami kehilangan darah dalam jumlah besar yang dapat mengancam jiwa karena faktor risiko yang dimiliki.
- Faktor risiko: Gangguan sistem pembekuan darah (antikoagulan), gagal ginjal, dan riwayat perdarahan gastrointestinal.
Luaran/Output yang diharapkan (SLKI):
1. Kontrol Perdarahan
- Definisi: Kemampuan mengendalikan keluarnya darah dari tubuh sehingga tidak terjadi perdarahan yang tidak terkendali.
- Kriteria Hasil:
a. Tidak terjadi perdarahan aktif
b. Vital sign stabil
c. Kadar Hb stabil atau meningkat
d. Tidak ada tanda-tanda syok hemoragik
Intervensi Keperawatan (SIKI):
1. Pemantauan Perdarahan
- Definisi: Pengumpulan dan analisis data yang berhubungan dengan perdarahan pasien untuk menetapkan dan mempertahankan kontrol perdarahan.
- Aktivitas:
a. Pantau tanda-tanda vital secara berkala
b. Pantau perdarahan aktif (lokasi, jumlah, karakteristik)
c. Pantau kadar Hb dan nilai laboratorium lainnya
d. Pantau tanda-tanda syok hemoragik
2. Manajemen Antikoagulan
- Definisi: Pengelolaan pemberian obat yang memperlambat atau mencegah pembekuan darah.
- Aktivitas:
a. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengelola antikoagulan yang diberikan
b. Pantau tanda-tanda perdarahan akibat antikoagulan
c. Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penggunaan antikoagulan yang aman
3. Manajemen Cairan
- Definisi: Pengelolaan pemberian cairan melalui intravena atau rute lain untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
- Aktivitas:
a. Pantau status cairan dan elektrolit
b. Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk mengatur terapi cairan
c. Berikan cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan pasien
4. Perawatan Luka
- Definisi: Pemeliharaan integritas kulit dan jaringan untuk mempercepat penyembuhan luka.
- Aktivitas:
a. Lakukan perawatan luka sesuai hasil kolonoskopi
b. Pantau tanda-tanda infeksi dan perdarahan lanjut
c. Berikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang perawatan luka
Penjelasan rinci:
Diagnosa keperawatan "Risiko perdarahan akut" dipilih karena pasien memiliki banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan perdarahan, seperti penggunaan antikoagulan, gagal ginjal, dan riwayat perdarahan gastrointestinal. Luaran/output yang diharapkan adalah "Kontrol Perdarahan", yang memastikan bahwa perdarahan dapat dihentikan dan kondisi pasien stabil.
Intervensi keperawatan yang diperlukan meliputi:
1. Pemantauan Perdarahan, untuk mengidentifikasi tanda-tanda perdarahan aktif dan mencegah komplikasi.
2. Manajemen Antikoagulan, untuk mengelola pemberian obat antikoagulan dan mencegah komplikasi perdarahan.
3. Manajemen Cairan, untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat perdarahan.
4. Perawatan Luka, untuk memastikan luka hasil tindakan endoskopi dapat sembuh dengan baik dan tidak terjadi perdarahan ulang.
Implementasi dari intervensi-intervensi ini harus dilakukan secara komprehensif dan kolaboratif dengan tenaga kesehatan lain untuk mencapai luaran yang diharapkan dan memastikan pemulihan pasien yang optimal. -
Article No. 14250 | 16 Mar 2025
Klinis : Ny. Y (73 tahun), datang ke rumah sakit dengan keluhan hematochezia (buang air besar berdarah) yang telah berlangsung selama tiga hari. Pasien juga mengeluhkan kelelahan dan kelemahan, yang menyebabkan ia melewatkan jadwal hemodialisis rutinnya. Ny. Y nampak pucat dan lemas, bibir tampak kering, akral teraba dingin, dan turgor kulit menurun. Ny. Y memiliki riwayat end-stage renal disease (ESRD) dan paroxysmal atrial fibrillation, serta sedang menjalani terapi Apixaban, sebuah obat antikoagulan yang meningkatkan risiko perdarahan. Pasien memiliki berat badan 58 kg dan tinggi badan 155 cm, dengan riwayat penyakit keluarga tidak ada yang berkaitan dengan gangguan perdarahan atau penyakit gastrointestinal. Pada saat masuk rumah sakit, tanda-tanda vital pasien sebagai berikut: • Tekanan darah (TD): 110/70 mmHg • Frekuensi napas (RR): 22 kali/menit • Frekuensi nadi (HR): 102 kali/menit (takikardia ringan) • Suhu tubuh: 36,8°C • Glasgow Coma Scale (GCS): 15 (E4V5M6, sadar penuh) Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa abdomen lunak, tidak nyeri, dan tidak distensi, sementara pemeriksaan rektal menemukan feses berwarna merah marun dengan adanya hemoroid eksternal. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hemoglobin 5.6 g/dL, yang mengindikasikan anemia akut dan kronis, serta adanya gangguan elektrolit akibat gagal ginjal dan hemodialisis yang terlewat. Pasien kemudian dirawat di rumah sakit dan menjalani hemodialisis. Namun, perdarahan semakin memburuk, dari maroon stool menjadi frank hematochezia, sehingga memerlukan 5 unit transfusi packed red blood cells (PRC). Pada hari ketiga perawatan, dilakukan kolonoskopi yang mengungkap adanya perdarahan aktif pada mukosa sekum, tanpa adanya lesi Dieulafoy, ulkus, massa, malformasi arteriovenosa, atau divertikula. Awalnya, tindakan injeksi epinefrin tidak berhasil menghentikan perdarahan, tetapi akhirnya bipolar elektrokauter berhasil menghentikan perdarahan tersebut. Setelah tindakan dilakukan, pasien tetap dalam pemantauan untuk memastikan tidak ada perdarahan ulang. Ny. Y kemudian dapat kembali menjalani terapi antikoagulan tanpa komplikasi lebih lanjut. Pada hari keempat, pasien dalam kondisi stabil, tidak mengalami perdarahan ulang, dan kadar hemoglobin meningkat serta stabil. Pasien diperbolehkan pulang dengan pemantauan ketat terhadap risiko perdarahan berulang serta edukasi terkait tanda-tanda bahaya yang perlu segera dilaporkan ke rumah sakit. Temuan endoskopi sebelum dan sesudah intervensi terapeutik: (a) Terlihat perdarahan aktif pada mukosa sekum (ditunjukkan dengan panah). (b) Setelah dilakukan irigasi, perdarahan teridentifikasi berasal dari satu titik yang terisolasi (ditunjukkan dengan panah). (c) Setelah diberikan injeksi 10 cc larutan normal saline-epinefrin (1:10.000), perdarahan masih berlanjut dari titik yang telah diidentifikasi, tanpa adanya lesi yang jelas di bawahnya (ditunjukkan dengan panah). (d) Hemostasis berhasil dicapai setelah beberapa kali penerapan koagulasi bipolar. Tidak ditemukan lesi yang jelas, kecuali adanya tanda-tanda electrocautery iatrogenik (ditunjukkan dengan panah).
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kasus yang dipaparkan, berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat terkait standar SDKI-SLKI-SIKI dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI):
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Perdarahan Gastrointestinal Berat (SDKI)
Definisi: Risiko terjadinya perdarahan yang berasal dari saluran pencernaan yang dapat mengancam jiwa.
Faktor risiko:
- Riwayat penyakit kronis (ESRD, atrial fibrilasi paroksismal)
- Penggunaan antikoagulan (Apixaban)
- Riwayat perdarahan gastrointestinal saat ini
2. Kurang Volume Cairan (SDKI)
Definisi: Penurunan cairan intravaskular, interstisial, dan/atau intrasellular.
Faktor yang Berhubungan:
- Perdarahan gastrointestinal
- Penurunan intake cairan akibat kelelahan dan melewatkan jadwal hemodialisis
3. Anemia (SDKI)
Definisi: Kondisi kekurangan sel darah merah atau hemoglobin di dalam darah.
Faktor yang Berhubungan:
- Perdarahan gastrointestinal akut
- Gangguan fungsi ginjal kronis (ESRD)
Rencana Keperawatan (SLKI):
1. Pemantauan Perdarahan (SIKI)
2. Manajemen Cairan (SIKI)
3. Manajemen Anemia (SIKI)
Penjelasan Singkat:
- Pemantauan perdarahan untuk mendeteksi tanda-tanda perburukan dan perdarahan aktif.
- Manajemen cairan untuk mengatasi hipovolemia akibat perdarahan.
- Manajemen anemia untuk mengoreksi kadar hemoglobin yang rendah.
Fokus utama asuhan keperawatan adalah mencegah komplikasi dan perburukan kondisi pasien, serta memulihkan status kesehatan pasien secara optimal. -
Article No. 14251 | 16 Mar 2025
Klinis : Gangguan pola tidur manajemen dukungan tidur
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan penjelasan yang rinci dan terperinci untuk setiap poin yang Anda minta, dengan tone akademis dan persona pakar, nurse.
1. Diagnosa Keperawatan SDKI yang sesuai: Gangguan Pola Tidur
Definisi:
Gangguan Pola Tidur adalah ketidakmampuan untuk mempertahankan atau mencapai pola tidur yang normal atau memuaskan.
Karakteristik Definisi:
- Tidur tidak efektif
- Perubahan durasi tidur
- Perubahan kualitas tidur
- Perubahan pola tidur
- Rasa tidak segar saat bangun tidur
Faktor Terkait:
- Faktor fisiologis (penyakit, nyeri, efek obat)
- Faktor psikologis (kecemasan, stres, depresi)
- Faktor lingkungan (suara, cahaya, suhu)
- Gaya hidup (pola aktivitas)
2. Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI)
a. Pola Tidur Membaik
Definisi: Kemampuan untuk mempertahankan pola tidur yang normal atau memuaskan.
Indikator:
- Tidur lebih efektif
- Durasi tidur meningkat
- Kualitas tidur membaik
- Pola tidur stabil
- Merasa segar saat bangun tidur
b. Manajemen Energi
Definisi: Kemampuan untuk mengatur energi yang dimiliki.
Indikator:
- Melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat energi
- Menggunakan teknik manajemen energi
- Mengalokasikan waktu untuk istirahat dan tidur
- Mengelola stres
3. Intervensi Keperawatan yang diperlukan (SIKI)
a. Manajemen Tidur
Tujuan: Membantu klien mempertahankan pola tidur yang normal atau memuaskan.
Aktivitas:
- Identifikasi pola tidur klien
- Atur lingkungan tidur yang nyaman
- Ajarkan teknik relaksasi untuk memfasilitasi tidur
- Berikan edukasi tentang sleep hygiene
- Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain jika diperlukan (contoh: pemberian obat tidur)
b. Manajemen Energi
Tujuan: Membantu klien mengatur energi yang dimiliki.
Aktivitas:
- Evaluasi tingkat energi klien
- Bantu klien mengidentifikasi aktivitas yang sesuai dengan tingkat energi
- Ajarkan teknik manajemen energi (contoh: pengaturan jadwal aktivitas, perencanaan istirahat)
- Dorong klien untuk mengelola stres
- Monitor dan evaluasi penggunaan energi klien
Penjelasan rinci:
Diagnosa Keperawatan "Gangguan Pola Tidur" dipilih karena sesuai dengan kondisi yang diberikan, yaitu "Gangguan pola tidur manajemen dukungan tidur". Diagnosa ini menggambarkan ketidakmampuan klien untuk mempertahankan atau mencapai pola tidur yang normal atau memuaskan.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan adalah "Pola Tidur Membaik" dan "Manajemen Energi". Pola Tidur Membaik mencakup kemampuan klien untuk mempertahankan pola tidur yang normal atau memuaskan, sedangkan Manajemen Energi mencakup kemampuan klien untuk mengatur energi yang dimiliki.
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran adalah "Manajemen Tidur" dan "Manajemen Energi". Manajemen Tidur bertujuan untuk membantu klien mempertahankan pola tidur yang normal atau memuaskan, sedangkan Manajemen Energi bertujuan untuk membantu klien mengatur energi yang dimiliki.
Melalui intervensi-intervensi ini, diharapkan klien dapat mencapai tujuan Luaran yang telah ditetapkan, yaitu Pola Tidur Membaik dan Manajemen Energi, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan klien. -
Article No. 14252 | 16 Mar 2025
Klinis : Berdasarkan data kuisioner didaptkan bahwa warga yang tidak pernah melakukan olahraga sebanyak 22%
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan data yang diberikan, dimana terdapat 22% warga yang tidak pernah melakukan olahraga, maka dapat diidentifikasi beberapa diagnosa keperawatan yang sesuai dengan standar SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia), SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia), dan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
Diagnosa Keperawatan:
1. Ketidakaktifan Fisik
- Definisi: Penurunan jumlah dan durasi aktivitas fisik yang disengaja.
- Faktor Risiko: Kurangnya motivasi, kurangnya dukungan sosial, dan kurangnya fasilitas.
- Tanda dan Gejala: Penurunan aktivitas fisik.
2. Gaya Hidup Sedentari
- Definisi: Pola aktivitas yang didominasi oleh perilaku tidak aktif atau diam.
- Faktor Risiko: Kurangnya pengetahuan tentang manfaat aktivitas fisik, kurangnya motivasi, dan kurangnya dukungan sosial.
- Tanda dan Gejala: Perilaku duduk atau berbaring dalam jangka waktu yang lama.
Penjelasan Singkat:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia) merupakan sistem klasifikasi diagnosis keperawatan yang dikembangkan oleh PPNI. Diagnosa keperawatan yang sesuai dengan kondisi yang diberikan adalah Ketidakaktifan Fisik dan Gaya Hidup Sedentari, dimana kedua diagnosa tersebut menggambarkan adanya penurunan aktivitas fisik dan perilaku tidak aktif atau diam pada warga.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia) adalah sistem klasifikasi luaran keperawatan yang dikembangkan oleh PPNI. Luaran yang mungkin dapat dicapai untuk diagnosa Ketidakaktifan Fisik dan Gaya Hidup Sedentari antara lain Peningkatan Aktivitas Fisik, Peningkatan Motivasi, dan Peningkatan Pengetahuan tentang Manfaat Aktivitas Fisik.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) adalah sistem klasifikasi intervensi keperawatan yang dikembangkan oleh PPNI. Intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi diagnosa Ketidakaktifan Fisik dan Gaya Hidup Sedentari antara lain Manajemen Aktivitas, Edukasi Kesehatan, dan Terapi Aktivitas.
Dengan menggunakan standar SDKI, SLKI, dan SIKI dari PPNI, perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang terstruktur, sistematis, dan sesuai dengan praktik keperawatan di Indonesia. -
Article No. 14253 | 16 Mar 2025
Klinis : kesadaran composmentis, hemodinamik TD: 118/72 mmHg, HR: 61 x/menit, RR: 21 x/menit, Spo2: 98% dengan menggunakan binasal 3 lpm, Terpasang IV line di Vena metacarpal Sinistra No. 20 (16-03-25) dengan cairan infuse Nacl 0,9% 1000 ml/24 jam, drip heparine 12.000ui/24 jam, terpasang DC no. 16 (16-03-25) dengan produksi urine ada, Post PPCI terpasang 1 stent DES ke LAD hasil (+), niciban di radial dextra, Skala nyeri 0
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, dengan senang hati saya akan memberikan rincian yang diminta.
Diagnosa Keperawatan SDKI yang Sesuai:
1. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Kardiak
- Definisi: Pengurangan aliran darah ke otot jantung yang dapat membahayakan kesehatan.
- Penyebab: Penyakit jantung koroner, prosedur invasif, pengurangan suplai oksigen.
- Tanda dan Gejala: Nyeri dada, perubahan EKG, penurunan curah jantung, perubahan tanda-tanda vital.
Luaran/Output yang Diharapkan (SLKI):
1. Pemulihan Perfusi Jaringan Kardiak
- Definisi: Mempertahankan aliran darah yang adekuat ke otot jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
- Indikator:
- Tanda-tanda vital stabil
- Tidak ada tanda-tanda kekurangan oksigen
- Tidak ada nyeri dada
- Fungsi jantung membaik
Intervensi Keperawatan (SIKI):
1. Pemantauan Kardiovaskular
- Definisi: Pengumpulan dan analisis data terkait fungsi jantung dan sirkulasi.
- Kegiatan:
- Ukur dan pantau tanda-tanda vital secara teratur
- Pantau EKG dan respon terhadap pengobatan
- Identifikasi tanda-tanda kekurangan oksigen
2. Manajemen Perifer
- Definisi: Pengaturan aliran darah perifer untuk memfasilitasi pemulihan perfusi.
- Kegiatan:
- Jaga kenyamanan dan posisi ekstremitas
- Pantau tanda-tanda sirkulasi perifer
- Lakukan perawatan IV line dan DC
3. Pemberian Terapi Oksigen
- Definisi: Pemberian oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen yang adekuat.
- Kegiatan:
- Berikan oksigen melalui kanul nasal sesuai kebutuhan
- Pantau saturasi oksigen
4. Manajemen Nyeri
- Definisi: Pengkajian dan pengelolaan nyeri untuk memfasilitasi pemulihan.
- Kegiatan:
- Kaji nyeri secara komprehensif
- Berikan intervensi farmakologis dan non-farmakologis untuk mengelola nyeri
Penjelasan Rinci:
Berdasarkan kondisi pasien yang disajikan, dengan kesadaran compos mentis, hemodinamik yang stabil, serta riwayat post-PPCI dengan pemasangan stent di LAD, diagnosa keperawatan yang paling sesuai adalah Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Kardiak. Hal ini dikarenakan pasien berisiko mengalami penurunan aliran darah ke otot jantung yang dapat membahayakan kesehatan.
Luaran yang diharapkan adalah Pemulihan Perfusi Jaringan Kardiak, di mana pasien dapat mempertahankan aliran darah yang adekuat ke otot jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Indikator keberhasilan antara lain tanda-tanda vital yang stabil, tidak ada tanda-tanda kekurangan oksigen, tidak ada nyeri dada, dan fungsi jantung yang membaik.
Intervensi keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan luaran tersebut meliputi Pemantauan Kardiovaskular (untuk mengumpulkan dan menganalisis data terkait fungsi jantung dan sirkulasi), Manajemen Perifer (untuk mengatur aliran darah perifer dan memfasilitasi pemulihan perfusi), Pemberian Terapi Oksigen (untuk mempertahankan saturasi oksigen yang adekuat), dan Manajemen Nyeri (untuk mengkaji dan mengelola nyeri yang mungkin timbul).
Dengan intervensi keperawatan yang komprehensif dan berfokus pada pemulihan perfusi jaringan kardiak, diharapkan pasien dapat memulihkan fungsi jantungnya secara optimal dan mencapai luaran yang diharapkan. -
Article No. 14254 | 16 Mar 2025
Klinis : Seorang bayi perempuan usia 1 hari lahir melalui persalinan spontan di Rumah Sakit X Kota Pontianak dengan berat badan 2900 gram dan panjang badan 48 cm (usia gestasi 39 minggu). Saat pemeriksaan awal oleh dokter, ditemukan adanya benjolan berisi cairan di bagian punggung bawah (lumbo-sakral). Orang tua bayi tidak mengetahui adanya kelainan ini selama kehamilan karena tidak pernah melakukan USG secara rutin. Ibu bayi yaitu Ny. S berusia 22 tahun mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit genetik dalam keluarga, dan jarang mengonsumsi asam folat selama kehamilan. Perawat melakukan pemeriksaan fisik pada vital sign bayi dengan T 36,7°C, HR 140 kali per menit, RR 45 kali per menit, SpO2 98%. Bayi tampak aktif, respons alert, reflek primitif normal, terdapat benjolan berisi cairan diarea lumbosacral dengan kulit tipis dan transparan, kaki tampak lemah, reflek plantar menurun, anus paten, namun tidak ada refleks anal yang jelas, dan tidak ada kelainan kraniofasial. Dari hasil pemeriksaan tersebut, Dokter Spesialis Anak menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan radiologi tulang belakang dan MRI tulang belakang. Hasil pemeriksaan tersebut ditegakkan diagnosis Spina Bifida Occulta.
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10: Berdasarkan informasi yang diberikan, diagnosis untuk kondisi bayi perempuan usia 1 hari dengan spina bifida okult dapat diberikan kode sebagai berikut:
1. Kode ICD-10:
- Kode: Q76.0
- Deskripsi: Spina bifida okult
Tidak ada kode ICD-9-CM Procedure yang spesifik untuk kasus ini, karena pemeriksaan radiologi tulang belakang dan MRI tulang belakang yang dianjurkan oleh dokter spesialis anak belum dilakukan. Setelah pemeriksaan lanjutan tersebut, dapat ditentukan tindakan medis yang sesuai dan dicatat kode ICD-9-CM Procedure-nya.
Penjelasan detail:
- Kode ICD-10 Q76.0 (Spina bifida okult) sesuai dengan deskripsi kondisi bayi yang memiliki benjolan berisi cairan di bagian punggung bawah (lumbo-sakral) tanpa adanya kelainan kraniofasial lainnya.
- Pemeriksaan radiologi tulang belakang dan MRI tulang belakang yang dianjurkan oleh dokter spesialis anak bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan menentukan tindakan medis yang tepat untuk mengelola kondisi spina bifida okult pada bayi.
- Tidak ada riwayat penyakit genetik dalam keluarga dan jarangnya konsumsi asam folat selama kehamilan dapat menjadi faktor risiko terjadinya spina bifida okult pada bayi.
- Vital sign bayi yang stabil dan reflek primitif yang normal menunjukkan bahwa kondisi bayi saat ini masih stabil, namun perlu pemantauan lebih lanjut. -
Article No. 14255 | 16 Mar 2025
Klinis : Seorang bayi perempuan usia 1 hari lahir melalui persalinan spontan di Rumah Sakit X Kota Pontianak dengan berat badan 2900 gram dan panjang badan 48 cm (usia gestasi 39 minggu). Saat pemeriksaan awal oleh dokter, ditemukan adanya benjolan berisi cairan di bagian punggung bawah (lumbo-sakral). Orang tua bayi tidak mengetahui adanya kelainan ini selama kehamilan karena tidak pernah melakukan USG secara rutin. Ibu bayi yaitu Ny. S berusia 22 tahun mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit genetik dalam keluarga, dan jarang mengonsumsi asam folat selama kehamilan. Perawat melakukan pemeriksaan fisik pada vital sign bayi dengan T 36,7°C, HR 140 kali per menit, RR 45 kali per menit, SpO2 98%. Bayi tampak aktif, respons alert, reflek primitif normal, terdapat benjolan berisi cairan diarea lumbosacral dengan kulit tipis dan transparan, kaki tampak lemah, reflek plantar menurun, anus paten, namun tidak ada refleks anal yang jelas, dan tidak ada kelainan kraniofasial. Dari hasil pemeriksaan tersebut, Dokter Spesialis Anak menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan radiologi tulang belakang dan MRI tulang belakang. Hasil pemeriksaan tersebut ditegakkan diagnosis Spina Bifida Occulta.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang diberikan, dapat disimpulkan bahwa bayi perempuan usia 1 hari ini mengalami kondisi Spina Bifida Occulta. Berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Cedera Tulang Belakang berhubungan dengan adanya defek kongenital pada tulang belakang (Spina Bifida Occulta).
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
- Definisi: Kemungkinan terjadinya kerusakan struktur atau fungsi tulang belakang akibat adanya kelainan bawaan pada tulang belakang.
- Faktor risiko: Defek kongenital pada tulang belakang (Spina Bifida Occulta).
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
- Luaran yang diharapkan:
1. Bayi tidak mengalami cedera tulang belakang selama perawatan.
2. Bayi tidak mengalami komplikasi akibat Spina Bifida Occulta.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
- Intervensi keperawatan:
1. Observasi tanda-tanda vital secara berkala.
2. Pemantauan kondisi fisik bayi, terutama kondisi benjolan di area lumbosacral.
3. Kolaborasi dengan dokter spesialis untuk pemeriksaan radiologi dan MRI tulang belakang.
4. Perawatan luka pada area benjolan dengan teknik aseptik.
5. Pencegahan infeksi pada area lesi.
6. Edukasi dan dukungan kepada orang tua terkait kondisi bayi dan rencana penanganan selanjutnya.
Penjelasan Singkat:
Spina Bifida Occulta adalah jenis kelainan bawaan pada tulang belakang di mana terjadi defek pada satu atau lebih vertebra, namun tidak ada kebocoran cairan serebrospinal atau medula spinalis yang terbuka. Kondisi ini membutuhkan pemantauan yang ketat dan penanganan yang sesuai untuk mencegah komplikasi. Peran perawat sangat penting dalam observasi, perawatan, dan edukasi kepada keluarga dalam mengelola kondisi bayi ini.