Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 21902 | 02 Oct 2025
Klinis : Perempuan berusia 68 tahun dirawat di Ruang Perawatan intermediate dengan keluhan sesak napas dan mudah lelah. Riwayat hipertensi sejak 20 tahun yang lalu dan riwayat infark miokard 10 tahun yang lalu, tekanan darah 160/100 mmHg, frekuensi nadi 98 x/menit, frekuensi napas 24 x/menit, distensi vena jugularis, terdengar ronchi dan edema ekstremitas+2, sianosis, CRT >3 detik.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Penurunan Curah Jantung
Kode SDKI: D.0008
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Penurunan curah jantung didefinisikan sebagai ketidakadekuatan jantung dalam memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Kondisi ini merupakan masalah keperawatan yang kritis, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular seperti yang dialami oleh pasien ini. Curah jantung (Cardiac Output) adalah volume darah yang dipompa oleh ventrikel kiri ke aorta setiap menitnya, yang merupakan hasil perkalian antara frekuensi jantung (Heart Rate) dan volume sekuncup (Stroke Volume). Penurunan curah jantung dapat disebabkan oleh gangguan pada salah satu atau kedua komponen tersebut. Pada kasus perempuan berusia 68 tahun ini, beberapa faktor berkontribusi secara signifikan terhadap penurunan curah jantung. Riwayat hipertensi selama 20 tahun telah menyebabkan peningkatan beban kerja jantung secara kronis. Hipertensi meningkatkan afterload, yaitu resistensi yang harus dilawan oleh ventrikel saat memompa darah. Seiring waktu, kondisi ini menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, di mana otot jantung menebal untuk mengkompensasi beban kerja yang berat. Namun, penebalan ini juga membuat otot
Article No. 21903 | 02 Oct 2025
Klinis : Seorang laki-laki berusia 57 tahun dirawat dengan keluhan perut membesar dan terasa tidak nyaman. Hasil pengkajian: mual sejak 2 minggu yang lalu, nafsu makan menurun, BB menurun ± 5 kg (dalam 1 bulan), frekuensi napas 21 x/menit, frekuensi nadi 89 x/menit, TD 100/75 mmHg. Pasien riwayat minum alkohol sejak 20 tahun yang lalu.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Hipervolemia
Kode SDKI: D.0022
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Hipervolemia adalah suatu kondisi klinis yang ditandai dengan peningkatan volume cairan intravaskular, interstisial, dan/atau intraselular. Pada kasus laki-laki berusia 57 tahun dengan riwayat konsumsi alkohol selama 20 tahun, keluhan perut membesar, mual, dan penurunan nafsu makan, diagnosis keperawatan hipervolemia menjadi sangat relevan. Manifestasi utama hipervolemia pada pasien ini kemungkinan besar adalah asites, yaitu akumulasi cairan patologis di dalam rongga peritoneum, yang merupakan komplikasi umum dari sirosis hati dekompensata akibat alkoholisme kronis.
Mekanisme patofisiologi yang mendasari hipervolemia pada pasien dengan sirosis hati sangat kompleks dan multifaktorial. Pertama, kerusakan hati kronis akibat alkohol menyebabkan fibrosis dan pembentukan jaringan parut, yang mengganggu arsitektur normal hati. Hal ini menghambat aliran darah melalui vena porta, yaitu pembuluh darah besar yang membawa darah dari usus dan limpa ke hati. Akibatnya, terjadi peningkatanArticle No. 21904 | 02 Oct 2025
Klinis : defisit pengetahuan kurang terpapar informasi
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.
Article No. 21905 | 02 Oct 2025
Klinis : Seorang laki-laki berusia 48 tahun dirawat dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu dan memberat sejak 6 jam yang lalu. Hasil pengkajian didapatkan adanya produksi sputum, batuk tidak efektif, frekuensi nafas 30 kali/menit, frekuensi nadi 100 kali/menit, tekanan darah 130/90 mmHg.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Kode SDKI: D.0001
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif adalah suatu kondisi klinis yang didefinisikan sebagai ketidakmampuan individu untuk membersihkan sekret atau obstruksi dari saluran pernapasan guna mempertahankan jalan napas yang paten. Kepatenan jalan napas merupakan prasyarat fundamental bagi proses respirasi yang adekuat, yang mencakup ventilasi (pergerakan udara masuk dan keluar paru), difusi (pertukaran gas di alveoli), dan perfusi (aliran darah melalui kapiler paru). Gangguan pada salah satu komponen ini, terutama pada tingkat kepatenan jalan napas, dapat secara signifikan mengganggu oksigenasi jaringan dan eliminasi karbon dioksida, yang berpotensi menyebabkan kondisi hipoksemia dan hiperkapnia yang mengancam jiwa. Diagnosis ini berfokus pada masalah fisiologis yang menghalangi aliran udara yang bebas dan bersih dari lingkungan eksternal ke alveoli.
Penyebab yang mendasari bersihan jalan napArticle No. 21860 | 01 Oct 2025
Klinis : Gangguan Citra Tubuh
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Gangguan Citra Tubuh
Kode SDKI: D.0083
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Gangguan Citra Tubuh didefinisikan sebagai konfusi dalam persepsi mental tentang diri fisik seseorang. Ini adalah diagnosis keperawatan yang kompleks dan multifaset, mencakup dimensi perseptual, kognitif, afektif, dan perilaku individu terhadap tubuhnya. Citra tubuh bukan sekadar apa yang kita lihat di cermin, melainkan totalitas pikiran, perasaan, keyakinan, dan tindakan yang kita miliki tentang penampilan fisik kita. Gangguan ini dapat muncul ketika ada ketidaksesuaian antara citra tubuh ideal (bagaimana seseorang ingin terlihat) dengan citra tubuh aktual (bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri).
Penyebab dan Faktor Risiko:
Penyebab gangguan citra tubuh sangat bervariasi dan sering kali merupakan hasil interaksi dari beberapa faktor. Secara umum, penyebabnya dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Perubahan Struktur atau Fungsi Tubuh: Ini adalah pemicu yang paling umum. Kondisi seperti amputasi, luka bakar yang meninggalkan bekas luka parah, mastektomi, kolostomi, obesitas, atau bahkan perubahan yang lebih umum seperti jerawat parah atau penuaan dapat secara drastis mengubah penampilan dan fungsi tubuh, yang mengarah pada persepsi negatif.
2. Proses Penyakit dan Pengobatan: Penyakit kronis (misalnya, kanker, gagal ginjal, stroke) dan efek samping pengobatannya (misalnya, rambut rontok akibat kemoterapi, perubahan berat badan akibat steroid, bekas luka operasi) dapat mengubah penampilan fisik dan kemampuan fungsional, yang berdampak signifikan pada citra tubuh.
3. Transisi Perkembangan: Tahapan kehidupan seperti pubertas, kehamilan, dan menopause membawa perubahan fisik yang signifikan. Jika individu tidak dapat beradaptasi dengan perubahan ini, gangguan citra tubuh dapat berkembang.
4. Faktor Psikososial dan Budaya: Tekanan dari media massa dan masyarakat yang sering kali menampilkan standar kecantikan yang tidak realistis merupakan faktor risiko utama. Individu mungkin merasa tidak memadai jika tubuh mereka tidak sesuai dengan "ideal" yang dipromosikan. Selain itu, riwayat pelecehan, penelantaran, atau kritik terhadap penampilan di masa lalu juga dapat menanamkan citra tubuh yang negatif.
Tanda dan Gejala:
Perawat dapat mengidentifikasi gangguan citra tubuh melalui pengkajian data subjektif dan objektif.
Gejala dan Tanda Mayor:- Subjektif: Pasien secara verbal mengungkapkan perasaan negatif, kecacatan, atau kehilangan bagian tubuh. Contohnya, "Saya merasa jijik dengan bekas luka ini," atau "Saya bukan orang yang utuh lagi setelah amputasi."
- Objektif: Adanya kehilangan bagian tubuh yang nyata (misalnya, amputasi), atau perubahan signifikan pada fungsi atau struktur tubuh (misalnya, kelumpuhan, bekas luka bakar).
- Subjektif: Pasien mungkin menolak untuk membicarakan perubahan tubuhnya, mengungkapkan kekhawatiran yang mendalam tentang bagaimana orang lain akan bereaksi, atau menyatakan bahwa perubahan tersebut telah memaksanya mengubah gaya hidup secara drastis.
- Objektif: Perilaku menghindar, seperti menolak untuk melihat atau menyentuh bagian tubuh yang terpengaruh. Sebaliknya, bisa juga terjadi fokus yang berlebihan, di mana pasien terus-menerus memeriksa atau membicarakan bagian tubuh tersebut. Perilaku lain termasuk menyembunyikan bagian tubuh (misalnya, selalu memakai lengan panjang untuk menutupi bekas luka), kurangnya kontak mata, dan menarik diri dari interaksi sosial.
Gangguan citra tubuh yang tidak ditangani dapat menyebabkan konsekuensi serius, termasuk depresi, kecemasan, isolasi sosial, gangguan makan, dan bahkan pemikiran bunuh diri. Peran perawat sangat penting dalam mengidentifikasi pasien yang berisiko, melakukan pengkajian yang komprehensif, dan merencanakan intervensi yang tepat. Pendekatan holistik yang melibatkan dukungan emosional, edukasi, dan fasilitasi adaptasi sangat diperlukan. Perawat harus menciptakan lingkungan yang aman dan tidak menghakimi di mana pasien merasa nyaman untuk mengekspresikan perasaan mereka. Tujuannya adalah membantu pasien untuk berduka atas kehilangan atau perubahan yang terjadi, mengembangkan mekanisme koping yang sehat, dan secara bertahap mengintegrasikan perubahan tersebut ke dalam konsep diri yang baru dan positif.Kode SLKI: L.09067
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan Citra Tubuh pasien membaik, dengan kriteria hasil:
- Verbalisasi perasaan negatif tentang perubahan tubuh menurun.
- Verbalisasi kekhawatiran pada penolakan atau reaksi orang lain menurun.
- Fokus berlebihan pada perubahan tubuh menurun.
- Perilaku menyembunyikan atau menunjukkan bagian tubuh secara berlebihan menurun.
- Respons nonverbal pada perubahan tubuh membaik.
- Kemampuan melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah meningkat.
- Verbalisasi kepuasan terhadap penampilan tubuh meningkat.
- Adaptasi terhadap perubahan fungsi tubuh meningkat.
- Hubungan sosial meningkat.
Kode SIKI: I.09305
Intervensi Utama: Promosi Citra Tubuh
Tindakan:
Observasi:- Identifikasi harapan citra tubuh pasien berdasarkan tahap perkembangan.
- Identifikasi pengaruh budaya, agama, dan jenis kelamin terhadap persepsi citra tubuh.
- Identifikasi perubahan citra tubuh yang mengakibatkan isolasi sosial.
- Monitor frekuensi pasien mengkritik diri sendiri dan pernyataan negatif tentang tubuhnya.
- Monitor apakah pasien bersedia melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah.
- Diskusikan perubahan pada tubuh dan fungsinya secara terbuka dan realistis.
- Diskusikan persepsi pasien dan keluarga tentang perubahan citra tubuh.
- Diskusikan perbedaan penampilan fisik terhadap harga diri dan peran sosial.
- Fasilitasi diskusi mengenai cara mengembangkan harapan citra tubuh yang realistis.
- Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan untuk membangun hubungan saling percaya.
- Jelaskan mengenai pengobatan, perawatan, dan prognosis penyakit yang menyebabkan perubahan tubuh.
- Anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan dan persepsinya mengenai citra tubuhnya.
- Anjurkan pasien untuk melihat bagian tubuh yang berubah secara bertahap dan menyentuhnya jika memungkinkan.
- Anjurkan penggunaan alat bantu seperti pakaian, wig, atau kosmetik untuk meningkatkan penampilan dan rasa percaya diri.
- Latih pasien untuk meningkatkan penampilan diri (misalnya, berdandan, merawat diri).
- Latih keterampilan sosial dan pengungkapan kemampuan diri kepada orang lain untuk membangun kembali interaksi sosial.
- Rujuk ke kelompok pendukung atau konselor/psikolog, jika perlu, untuk memberikan dukungan sebaya dan profesional.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti diagnosis atau kodifikasi resmi.***
Article No. 21861 | 01 Oct 2025
Klinis : Intoleransi aktivitas
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: ```html
Diagnosa Keperawatan: Intoleransi Aktivitas (SDKI - SLKI - SIKI)
Diagnosa Keperawatan: Intoleransi Aktivitas
Sebagai seorang perawat profesional, pemahaman mendalam mengenai standar diagnosa, luaran, dan intervensi keperawatan yang ditetapkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) melalui SDKI, SLKI, dan SIKI adalah esensial untuk memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dan berbasis bukti. Berikut adalah penjabaran untuk kondisi pasien dengan "Intoleransi Aktivitas" sesuai standar PPNI.
1. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI)
Diagnosa Keperawatan: Intoleransi Aktivitas (D.0056)
Definisi: Penurunan kapasitas fisiologis individu untuk melakukan aktivitas fisik yang diperlukan atau diinginkan. Kondisi ini mencerminkan ketidakmampuan tubuh untuk memenuhi kebutuhan energi selama aktivitas, seringkali akibat ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan otot, atau faktor lain yang membatasi fungsi fisik. Diagnosa ini relevan ketika pasien menunjukkan gejala kelelahan atau respons fisiologis abnormal terhadap aktivitas.
Etiologi (Penyebab) yang Mungkin Terkait (SDKI):
Penyebab intoleransi aktivitas dapat bervariasi dan seringkali multifaktorial, meliputi:
- Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (misalnya, pada kondisi penyakit jantung koroner, gagal jantung, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), anemia berat).
- Tirah baring lama atau imobilitas yang menyebabkan dekondisi fisik.
- Kelemahan umum akibat penyakit kronis, malnutrisi, atau proses penuaan.
- Nyeri akut atau kronis yang tidak terkontrol, menghambat pergerakan.
- Gaya hidup monoton atau kurang gerak yang menyebabkan penurunan kebugaran fisik.
- Malnutrisi atau defisiensi nutrisi yang berdampak pada cadangan energi dan kekuatan otot.
- Depresi atau motivasi kurang, yang dapat mengurangi inisiatif untuk beraktivitas.
- Efek samping obat-obatan tertentu (misalnya, sedatif, beta-blocker) yang dapat menyebabkan kelelahan atau bradikardia.
Gejala dan Tanda Mayor (Karakteristik Mayor) (SDKI):
Data ini harus ditemukan pada pasien untuk menegakkan diagnosa Intoleransi Aktivitas. Kehadiran setidaknya satu karakteristik mayor subjektif dan satu karakteristik mayor objektif sangat mendukung penegakan diagnosa.
- Subjektif:
- Mengeluh lelah yang signifikan dan persisten.
- Mengeluh dispnea (sesak napas) saat atau setelah melakukan aktivitas fisik.
- Objektif:
- Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat saat beraktivitas.
- Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat (peningkatan atau penurunan yang signifikan) saat beraktivitas.
- Gambaran EKG menunjukkan aritmia (gangguan irama jantung) saat atau setelah aktivitas.
- Gambaran EKG menunjukkan iskemia (kekurangan suplai darah ke otot jantung, misalnya, depresi segmen ST) saat atau setelah aktivitas.
Gejala dan Tanda Minor (Karakteristik Minor) (SDKI):
Data ini dapat ditemukan untuk mendukung diagnosa, namun tidak harus ada. Kehadiran karakteristik minor dapat memperkuat bukti adanya intoleransi aktivitas.
- Subjektif:
- Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas.
- Merasa lemah secara fisik.
- Objektif:
- Dispnea saat istirahat (pada kasus yang lebih berat).
- Merasa pusing atau vertigo.
- Berkeringat berlebihan (diaphoresis).
- Sulit berkonsentrasi.
- Sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).
2. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI)
Setelah diagnosa ditegakkan, perawat menetapkan luaran keperawatan yang diharapkan. Luaran ini berfungsi sebagai target evaluasi keberhasilan intervensi dan harus spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan, dan berbatas waktu (SMART).
Luaran Utama: Toleransi Aktivitas (L.05047)
Definisi: Kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik tanpa mengalami kelelahan berlebihan atau tanda-tanda intoleransi. Luaran ini secara langsung berfokus pada peningkatan kapasitas fungsional pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan mengurangi gejala yang membatasi. Penilaian dilakukan menggunakan skala 1 (menurun/memburuk) hingga 5 (meningkat/membaik).
Kriteria Hasil (Indikator) (SLKI):
Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan Toleransi Aktivitas pasien meningkat dengan kriteria hasil sebagai berikut:
Indikator
Skala Awal (misal: 1=Menurun/Memburuk)
Skala Target (misal: 5=Meningkat/Membaik)
Keluhan lelah
Menurun
Meningkat
Dispnea saat aktivitas
Menurun
Meningkat
Dispnea setelah aktivitas
Menurun
Meningkat
Perasaan lemah
Menurun
Meningkat
Aritmia saat aktivitas
Menurun
Meningkat
Sianosis
Menurun
Meningkat
Tekanan darah saat aktivitas
Memburuk
Membaik
Frekuensi napas saat aktivitas
Memburuk
Membaik
Kemudahan melakukan aktivitas sehari-hari
Menurun
Meningkat
Jarak tempuh jalan
Menurun
Meningkat
Kekuatan tubuh bagian atas
Menurun
Meningkat
Kekuatan tubuh bagian bawah
Menurun
Meningkat
3. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)
Untuk mencapai luaran yang diharapkan, perawat merencanakan dan melaksanakan intervensi keperawatan yang spesifik, terarah, dan berbasis bukti. Intervensi ini dikategorikan menjadi Observasi, Terapeutik, Edukasi, dan Kolaborasi.
Intervensi Utama: Manajemen Energi (I.05178)
Definisi: Mengidentifikasi dan mengelola penggunaan energi untuk mencegah atau mengurangi kelelahan. Intervensi ini berfokus pada optimalisasi energi pasien melalui strategi konservasi, modifikasi aktivitas, dan dukungan fisiologis untuk meningkatkan toleransi aktivitas.
Tindakan Keperawatan (SIKI):
- Observasi:
- Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan (misalnya, anemia, hipotiroid, gangguan jantung, gangguan paru, malnutrisi).
- Monitor pola dan jam tidur pasien untuk menilai kualitas istirahat.
- Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas untuk mengidentifikasi pemicu.
- Monitor asupan nutrisi untuk memastikan kecukupan energi dan protein.
- Monitor tanda-tanda vital (frekuensi jantung, tekanan darah, frekuensi napas) sebelum, selama, dan setelah aktivitas untuk menilai respons fisiologis.
- Terapeutik:
- Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah stimulus (misalnya, cahaya redup, suhu ruangan yang optimal, minimalkan kebisingan) untuk mendukung istirahat.
- Lakukan latihan rentang gerak pasif/aktif secara teratur sesuai toleransi pasien untuk mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot.
- Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan (misalnya, membaca, mendengarkan musik ringan) untuk mengurangi stres dan kelelahan mental.
- Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur jika pasien tidak dapat berpindah atau berjalan, sebagai langkah awal mobilisasi.
- Bantu pasien untuk membatasi aktivitas fisik jika diperlukan, dengan memprioritaskan aktivitas esensial untuk menghemat energi.
- Atur jadwal aktivitas dan istirahat yang seimbang untuk mencegah kelelahan berlebihan dan memungkinkan pemulihan.
- Berikan bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (ADL) sesuai kebutuhan untuk mengurangi beban energi pasien.
- Edukasi:
- Anjurkan tirah baring yang adekuat untuk pemulihan energi.
- Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap, dimulai dari yang ringan dan ditingkatkan sesuai toleransi, menggunakan prinsip pacing.
- Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak berkurang atau memburuk, untuk intervensi lebih lanjut.
- Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan (misalnya, teknik relaksasi, manajemen stres, perencanaan aktivitas) kepada pasien dan keluarga.
- Anjurkan diet tinggi energi dan protein untuk mendukung pemulihan dan kekuatan otot.
- Jelaskan pentingnya istirahat dan tidur yang cukup untuk regenerasi sel dan energi.
- Kolaborasi:
- Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan makanan dan suplemen yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
- Kolaborasi dengan dokter untuk penanganan penyebab kelelahan (misalnya, transfusi darah untuk anemia, terapi oksigen, penyesuaian dosis obat) dan manajemen kondisi medis yang mendasari.
- Kolaborasi dengan fisioterapis untuk program latihan fisik yang terstruktur dan aman, disesuaikan dengan kondisi pasien.
Intervensi Tambahan (jika diperlukan): Dukungan Mobilisasi (I.05173)
Definisi: Memfasilitasi pergerakan untuk mempertahankan atau meningkatkan fungsi fisik. Intervensi ini melengkapi Manajemen Energi dengan fokus pada aspek mekanis dan dukungan fisik untuk mobilisasi, sangat penting untuk pasien dengan keterbatasan gerak.
Tindakan Keperawatan (SIKI):
- Observasi:
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lain yang menghambat mobilisasi.
- Monitor kondisi umum pasien selama mobilisasi (misalnya, tanda-tanda vital, tingkat kesadaran, toleransi terhadap aktivitas).
- Terapeutik:
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (misalnya, tongkat, kursi roda, walker) sesuai kebutuhan dan kemampuan pasien.
- Libatkan keluarga dalam membantu mobilisasi pasien untuk dukungan berkelanjutan.
- Berikan posisi yang nyaman dan aman untuk mobilisasi, serta bantu perubahan posisi secara berkala.
- Pindahkan pasien secara bertahap dari posisi berbaring ke duduk, lalu berdiri, dan berjalan, sesuai toleransi.
- Edukasi:
- Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi kepada pasien dan keluarga untuk meningkatkan kepatuhan dan partisipasi.
- Anjurkan melakukan mobilisasi dini sesuai kemampuan pasien untuk mencegah komplikasi imobilitas.
- Ajarkan teknik mobilisasi yang aman dan efektif kepada pasien dan keluarga.
Penerapan SDKI, SLKI, dan SIKI secara terintegrasi memungkinkan perawat untuk memberikan asuhan yang terstruktur, terukur, dan berpusat pada pasien, sehingga meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan dan mendukung pemulihan optimal pasien dengan intoleransi aktivitas.
```Article No. 21862 | 01 Oct 2025
Klinis : Pasien mengeluh pusing sekali nyeri 5 sudah 3 bulan tidak mual tidak muntah TD 150/80 Suhu 36 Nadi 74
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
Kode SDKI: D.0017
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif didefinisikan sebagai kondisi di mana seorang individu berisiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke otak. Otak merupakan organ yang sangat bergantung pada suplai darah yang konstan dan adekuat untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan glukosa yang tinggi. Aliran darah serebral yang normal memastikan fungsi neurologis yang optimal, termasuk kesadaran, fungsi kognitif, motorik, dan sensorik. Ketika perfusi serebral terganggu, sel-sel otak dapat mengalami cedera iskemik, yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan kerusakan permanen atau bahkan kematian jaringan otak (infark serebral atau stroke). Diagnosis ini bersifat "risiko", yang berarti masalah aktual belum terjadi, tetapi terdapat faktor-faktor signifikan yang membuat pasien rentan mengalaminya. Dalam kasus ini, keluhan pusing yang berat, nyeri kepala dengan skala 5, dan riwayat kondisi selama tiga bulan, yang disertai dengan tekanan darah 150/80 mmHg, merupakan tanda peringatan klinis yang kuat akan adanya risiko ini. Hipertensi kronis adalah faktor risiko utama yang mendasari kondisi ini. Tekanan darah yang tinggi secara persisten menyebabkan kerusakan pada dinding pembuluh darah arteri di seluruh tubuh, termasuk arteri serebral yang memasok darah ke otak. Proses ini, yang dikenal sebagai aterosklerosis, menyebabkan pembuluh darah menjadi kaku, menyempit, dan kurang elastis. Akibatnya, kemampuan pembuluh darah untuk berdilatasi dan berkonstriksi (autoregulasi) sebagai respons terhadap kebutuhan metabolik otak menjadi terganggu. Aliran darah menjadi lebih sulit melewati arteri yang menyempit, sehingga meningkatkan risiko terjadinya iskemia. Selain itu, hipertensi dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil (arteriol) di dalam otak, suatu kondisi yang disebut lipohialinosis, yang dapat menyebabkan stroke lakunar. Keluhan pusing (vertigo atau dizziness) dan sakit kepala adalah gejala umum yang timbul akibat perubahan aliran darah ke otak. Pusing dapat terjadi karena suplai darah yang tidak stabil ke pusat keseimbangan di otak kecil (serebelum) dan batang otak. Sakit kepala, terutama yang bersifat pulsatil atau berdenyut, sering kali merupakan manifestasi langsung dari tekanan darah yang tinggi yang menekan dinding pembuluh darah serebral. Fakta bahwa gejala ini telah berlangsung selama tiga bulan menunjukkan bahwa proses patologis yang mendasarinya bersifat kronis dan memerlukan manajemen jangka panjang. Faktor risiko lain yang dapat memperburuk kondisi ini meliputi hiperlipidemia (kadar kolesterol tinggi), diabetes melitus, merokok, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung, dan riwayat keluarga dengan penyakit serebrovaskular. Peran perawat dalam mengelola diagnosis ini sangat krusial, berfokus pada identifikasi dini, pemantauan ketat, dan intervensi untuk mengendalikan faktor risiko. Pemantauan tekanan darah secara teratur adalah tindakan fundamental. Selain itu, perawat harus melakukan pengkajian neurologis secara berkala untuk mendeteksi perubahan subtil dalam tingkat kesadaran, fungsi motorik, kekuatan genggaman, orientasi, atau kemampuan bicara pasien. Edukasi pasien dan keluarga menjadi pilar utama dalam pencegahan. Pasien perlu memahami hubungan antara tekanan darah tinggi dengan gejala pusing dan sakit kepala yang dialaminya, serta risiko stroke yang mengancam. Edukasi mencakup pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan antihipertensi, modifikasi gaya hidup seperti diet rendah garam dan rendah lemak, peningkatan aktivitas fisik sesuai toleransi, berhenti merokok, dan manajemen stres. Dengan mengelola faktor risiko secara proaktif, terutama hipertensi, risiko terjadinya penurunan perfusi serebral yang aktual dapat diminimalkan, sehingga mencegah komplikasi neurologis yang serius dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Kode SLKI: L.02014
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan Perfusi Serebral meningkat dengan kriteria hasil:
- Tingkat kesadaran meningkat
- Kognitif meningkat
- Sakit kepala menurun
- Gelisah menurun
- Kecemasan menurun
- Tekanan darah sistolik membaik
- Tekanan darah diastolik membaik
Kode SIKI: I.02043
Intervensi Utama: Manajemen Hipertensi
Observasi
- Identifikasi faktor risiko hipertensi (mis. riwayat keluarga, merokok, obesitas, pola makan).
- Monitor tekanan darah secara teratur, catat waktu dan hasil pengukuran.
- Monitor tanda dan gejala hipertensi (mis. sakit kepala, pusing, penglihatan kabur, epistaksis).
- Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis. elektrolit, kolesterol, fungsi ginjal).
Terapeutik
- Atur jadwal pengukuran tekanan darah sesuai kondisi pasien.
- Berikan posisi yang nyaman untuk pengukuran tekanan darah.
Edukasi
- Jelaskan tentang kondisi hipertensi, penyebab, dan faktor risiko.
- Anjurkan untuk mengurangi asupan garam dalam diet.
- Anjurkan untuk berhenti merokok dan membatasi konsumsi alkohol.
- Anjurkan untuk melakukan aktivitas fisik secara teratur sesuai kemampuan.
- Ajarkan pentingnya kepatuhan dalam mengonsumsi obat antihipertensi sesuai resep.
- Ajarkan cara mengelola stres (mis. teknik relaksasi, meditasi).
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antihipertensi.
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk penyesuaian diet.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti diagnosis atau kodifikasi resmi.***
Article No. 21863 | 01 Oct 2025
Klinis : Batuk, napas sesak
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10:
Kondisi: Batuk dan Sesak Napas (Gejala)
Kode ICD-10: R05, R06.0
Deskripsi Singkat : Kode ini digunakan untuk mengklasifikasikan gejala batuk (R05) dan sesak napas (R06.0) ketika tidak ada diagnosis definitif yang ditegakkan. R05 secara spesifik mengacu pada batuk, refleks tubuh untuk membersihkan tenggorokan dan saluran napas dari iritan. R06.0, atau Dispnea, merujuk pada perasaan subjektif sulit bernapas atau napas yang pendek. Penggunaan kedua kode ini secara bersamaan menunjukkan bahwa pasien datang dengan keluhan ganda pada sistem pernapasan, yang memerlukan investigasi lebih lanjut untuk menentukan penyebab utamanya, seperti asma, PPOK, infeksi pernapasan, atau kondisi jantung.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti kodifikasi resmi oleh profesional medis.***
Article No. 21864 | 01 Oct 2025
Klinis : Batuk, napas sesak
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif
Kode SDKI: D.0001
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif adalah diagnosis keperawatan yang didefinisikan sebagai ketidakmampuan individu untuk membersihkan sekret atau obstruksi dari saluran pernapasan guna mempertahankan jalan napas yang paten (terbuka dan bebas hambatan). Kondisi ini merupakan salah satu masalah pernapasan yang paling fundamental dan sering ditemui dalam praktik klinis, karena jalan napas yang paten adalah prasyarat utama untuk proses ventilasi dan oksigenasi yang adekuat. Kegagalan dalam mempertahankan kebersihan jalan napas dapat menyebabkan komplikasi serius, termasuk atelektasis (kolapsnya sebagian atau seluruh paru-paru), pneumonia (infeksi paru-paru), dan gagal napas akut.
Penyebab (etiologi) dari bersihan jalan napas tidak efektif sangat bervariasi dan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama: fisiologis dan situasional. Dari sisi fisiologis, penyebab yang paling umum adalah hipersekresi jalan napas, di mana kelenjar mukosa memproduksi lendir atau sputum secara berlebihan. Kondisi ini sering terjadi pada penyakit seperti bronkitis kronis, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), pneumonia, dan asma. Penyebab fisiologis lainnya termasuk spasme jalan napas (bronkospasme) yang menyempitkan lumen bronkus, disfungsi neuromuskular yang melemahkan otot-otot pernapasan dan kemampuan batuk (misalnya pada pasien stroke, cedera tulang belakang, atau penyakit Guillain-Barré), serta adanya benda asing yang menyumbat saluran napas. Selain itu, kondisi seperti sekresi yang tertahan akibat imobilitas, dehidrasi yang membuat sekret menjadi kental, atau adanya jalan napas buatan seperti selang endotrakeal (ETT) juga dapat mengganggu mekanisme pembersihan alami.
Dari sisi situasional, faktor eksternal dan gaya hidup memainkan peran penting. Merokok, baik aktif maupun pasif, adalah penyebab utama kerusakan sistem mukosiliar, yaitu mekanisme pertahanan paru yang terdiri dari silia (rambut-rambut kecil) yang berfungsi mendorong mukus keluar. Paparan polutan lingkungan, asap, atau bahan kimia iritan juga dapat memicu inflamasi dan produksi mukus berlebih.
Tanda dan gejala yang menjadi dasar penegakan diagnosis ini dibagi menjadi mayor dan minor. Gejala mayor bersifat objektif dan menjadi bukti kuat adanya masalah. Ini termasuk batuk yang tidak efektif atau ketidakmampuan untuk batuk sama sekali, adanya produksi sputum yang berlebihan, dan terdengarnya suara napas tambahan seperti mengi (suara siulan bernada tinggi saat ekspirasi), wheezing (serupa dengan mengi), atau ronkhi kering (suara kasar seperti mendengkur yang menandakan adanya sekret kental di saluran napas besar). Pada neonatus, adanya mekonium di jalan napas juga merupakan tanda mayor.
Gejala minor dapat bersifat subjektif (dirasakan oleh pasien) maupun objektif (teramati oleh perawat). Gejala subjektif meliputi dispnea (perasaan sesak napas), sulit bicara karena napas yang pendek, dan ortopnea (kesulitan bernapas saat berbaring datar). Gejala objektif minor mencakup gelisah (seringkali merupakan tanda awal hipoksia), sianosis (warna kebiruan pada kulit dan membran mukosa akibat kekurangan oksigen), bunyi napas yang menurun (menandakan ventilasi yang buruk di area paru tertentu), serta perubahan pada frekuensi dan pola napas sebagai upaya kompensasi tubuh.
Penilaian keperawatan yang komprehensif sangat penting. Perawat harus melakukan auskultasi paru untuk mengidentifikasi suara napas tambahan, mengobservasi pola dan kedalaman pernapasan, serta menilai kemampuan pasien untuk batuk secara efektif. Karakteristik sputum—termasuk jumlah, warna (bening, putih, kuning, hijau, atau bercak darah), konsistensi (encer atau kental), dan bau—harus didokumentasikan karena dapat memberikan petunjuk mengenai penyebab yang mendasari, seperti adanya infeksi. Kondisi klinis yang sering terkait dengan diagnosis ini meliputi berbagai penyakit pernapasan (asma, PPOK, fibrosis kistik, tuberkulosis), infeksi saluran napas, kondisi neurologis, dan pasien pasca-operasi yang mengalami imobilitas dan efek anestesi.Kode SLKI: L.01001
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, maka Bersihan Jalan Napas Meningkat, dengan kriteria hasil:
- Kemampuan batuk efektif meningkat (Skala 5)
- Produksi sputum menurun (Skala 5)
- Mengi menurun (Skala 5)
- Wheezing menurun (Skala 5)
- Dispnea (sesak napas) menurun (Skala 5)
- Gelisah menurun (Skala 5)
- Frekuensi napas membaik (Skala 5, dalam rentang normal 16-20x/menit)
- Pola napas membaik (Skala 5, eupnea)
Kode SIKI: I.01011
Intervensi Utama: Manajemen Jalan Napas
Tindakan:
Observasi
- Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas).
- Monitor bunyi napas tambahan (misalnya, gurgling, mengi, wheezing, ronkhi kering).
- Monitor sputum (jumlah, warna, aroma, konsistensi).
Terapeutik
- Posisikan pasien semi-Fowler atau Fowler untuk memaksimalkan ekspansi paru dan mengurangi sesak.
- Berikan minum air hangat untuk membantu mengencerkan sekret.
- Lakukan fisioterapi dada (klapping dan vibrasi), jika tidak ada kontraindikasi.
- Lakukan penghisapan lendir (suctioning) kurang dari 15 detik jika pasien tidak mampu mengeluarkan sekret secara mandiri.
- Berikan oksigen sesuai kebutuhan dan indikasi medis.
Edukasi
- Anjurkan asupan cairan yang adekuat (misalnya, 2000 ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi) untuk mengencerkan sputum.
- Ajarkan teknik batuk efektif untuk memaksimalkan pengeluaran sekret.
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat bronkodilator, ekspektoran, atau mukolitik sesuai indikasi untuk membantu melebarkan jalan napas dan mengencerkan dahak.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti diagnosis atau kodifikasi resmi.***
Article No. 21865 | 01 Oct 2025
Klinis : Batuk, napas sesak
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Batuk, napas sesak
Kode SDKI: D.0001
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Bersihan Jalan Napas Tidak Efektif didefinisikan sebagai ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan jalan napas tetap paten. Diagnosis ini merupakan salah satu diagnosis keperawatan fundamental yang berfokus pada fungsi fisiologis paling dasar, yaitu respirasi. Jalan napas yang paten (terbuka dan bebas hambatan) adalah prasyarat mutlak untuk terjadinya pertukaran gas yang adekuat di alveoli, yang memungkinkan oksigen masuk ke dalam sirkulasi darah dan karbon dioksida dikeluarkan dari tubuh. Ketika mekanisme pembersihan jalan napas terganggu, dapat terjadi serangkaian komplikasi serius, mulai dari hipoksemia (kadar oksigen darah rendah), hiperkapnia (kadar karbon dioksida darah tinggi), atelektasis (kolapsnya sebagian atau seluruh paru-paru), hingga infeksi pernapasan berat seperti pneumonia.
Penyebab dari bersihan jalan napas tidak efektif dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama: fisiologis dan situasional. Dari sisi fisiologis, kondisi seperti spasme jalan napas (bronkospasme), yang umum terjadi pada pasien asma, menyebabkan penyempitan lumen bronkus secara tiba-tiba, menjebak sekret di dalamnya dan menyulitkan proses ekspirasi maupun pengeluaran dahak. Hipersekresi jalan napas, seperti yang ditemukan pada bronkitis kronis atau fibrosis kistik, mengakibatkan produksi mukus yang berlebihan dan seringkali lebih kental (viskositas tinggi), sehingga melampaui kapasitas kerja sistem mukosiliar (rambut-rambut halus yang berfungsi menyapu sekret ke arah faring). Disfungsi neuromuskular juga menjadi penyebab signifikan; kondisi seperti sindrom Guillain-Barré, miastenia gravis, atau cedera medula spinalis dapat melemahkan otot-otot pernapasan utama (diafragma dan interkostal) serta otot bantu, yang mengakibatkan penurunan kekuatan batuk secara drastis. Adanya benda asing dalam jalan napas, baik akibat aspirasi makanan atau objek lain, dapat menyebabkan obstruksi mekanis akut. Selain itu, pemasangan jalan napas buatan seperti pipa endotrakeal (ETT) atau trakeostomi, meskipun bertujuan untuk mengamankan jalan napas, justru dapat menjadi penyebab. Alat-alat ini mengganggu fungsi laring, menghambat penutupan glotis yang esensial untuk membangun tekanan intratorakal tinggi saat batuk, serta dapat merangsang produksi sekret yang lebih kental.
Dari sisi situasional, faktor lingkungan dan gaya hidup memainkan peran penting. Merokok, baik aktif maupun pasif, secara kronis merusak silia dan merangsang hipertrofi kelenjar mukus, yang merupakan mekanisme patofisiologis utama pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Paparan polutan lingkungan, seperti debu, asap industri, atau alergen, dapat memicu respons inflamasi pada saluran napas, menyebabkan edema mukosa dan peningkatan produksi sekret. Efek agen farmakologis, terutama obat-obatan yang menekan sistem saraf pusat seperti opioid atau sedatif, dapat menumpulkan refleks batuk dan menurunkan laju pernapasan, sehingga sekret cenderung terakumulasi.
Gejala dan tanda yang muncul pada pasien dengan diagnosis ini dibagi menjadi mayor dan minor. Gejala dan Tanda Mayor yang bersifat objektif dan subjektif meliputi: batuk tidak efektif atau ketidakmampuan untuk batuk sama sekali, yang merupakan manifestasi utama dari kelemahan otot atau obstruksi berat; adanya sputum berlebih yang sulit dikeluarkan; terdengarnya suara napas tambahan seperti mengi (wheezing) yang bernada tinggi akibat udara melewati saluran napas yang menyempit, atau ronkhi kering yang bernada rendah akibat getaran sekret kental di saluran napas besar; serta keluhan subjektif berupa dispnea (sesak napas). Gejala dan Tanda Minor seringkali merupakan manifestasi kompensasi atau akibat dari kondisi hipoksia, seperti gelisah (tanda awal hipoksia serebral), sianosis (kebiruan pada kulit dan membran mukosa, merupakan tanda lanjut), bunyi napas menurun (menandakan ventilasi yang buruk atau atelektasis), serta perubahan frekuensi dan pola napas (misalnya, takipnea sebagai upaya kompensasi untuk memenuhi kebutuhan oksigen). Penegakan diagnosis ini memerlukan pengkajian yang cermat terhadap riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik yang terfokus pada sistem pernapasan (auskultasi, perkusi, palpasi), serta pemantauan tanda-tanda vital secara berkelanjutan.Kode SLKI: L.01001
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan Bersihan Jalan Napas meningkat dengan kriteria hasil:
- Kemampuan batuk efektif meningkat
- Produksi sputum menurun
- Mengi menurun
- Wheezing menurun
- Dispnea (sesak napas) menurun
- Gelisah menurun
- Frekuensi napas membaik
- Pola napas membaik
Kode SIKI: I.01006
Intervensi Utama: Latihan Batuk Efektif
Definisi: Melatih pasien yang tidak memiliki kemampuan batuk secara efektif untuk membersihkan laring dan faring dari sekret.
Tindakan:
Observasi
- Identifikasi kemampuan batuk.
- Monitor adanya retensi sputum.
- Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas.
- Monitor input dan output cairan (mis. jumlah dan karakteristik).
Terapeutik
- Atur posisi semi-Fowler atau Fowler.
- Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien.
- Buang sekret pada tempat sputum.
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif.
- Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik.
- Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali.
- Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam yang ke-3.
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti diagnosis atau kodifikasi resmi.***