Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 8608 | 11 Dec 2024
Klinis : Kasus: Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL eGFR 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo. Buatkan askep sesuai kasus di atas (format sesuai yang diajarkan saat kuliah)
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Assalamu'alaikum. Berikut adalah asuhan keperawatan yang dapat diberikan berdasarkan kasus di atas:
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Gangguan Perfusi Jaringan Perifer berhubungan dengan penurunan curah jantung dan syok kardiogenik, ditandai dengan ekstremitas perifer yang terasa dingin.
2. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas berhubungan dengan edema paru dan efusi pleura, ditandai dengan suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan.
3. Risiko Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan malnutrisi dan penurunan aliran darah perifer, ditandai dengan konjungtiva pucat dan penurunan asupan makanan.
4. Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan penurunan tenaga dan kelemahan, ditandai dengan pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Gangguan Perfusi Jaringan Perifer:
- Pasien akan menunjukkan ekstremitas yang hangat dan berwarna merah muda.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan pengisian kapiler kurang dari 3 detik.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan suhu ekstremitas.
2. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas:
- Pasien akan menunjukkan suara napas yang jernih di seluruh lapangan paru.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan kemampuan batuk dan mengeluarkan sekret.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan oksigenasi (SpO2 ≥ 95% pada udara ruangan).
3. Risiko Kerusakan Integritas Kulit:
- Pasien akan menunjukkan kondisi kulit yang sehat dan tidak terdapat lesi.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan turgor kulit.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan asupan nutrisi yang adekuat.
4. Defisit Perawatan Diri:
- Pasien akan dapat melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.
- Pasien akan menunjukkan peningkatan energi dan kekuatan.
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Gangguan Perfusi Jaringan Perifer:
- Lakukan pemantauan tanda-tanda vital secara berkala.
- Berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan.
- Berikan cairan IV dan vasopressor sesuai indikasi untuk meningkatkan perfusi jaringan.
- Lakukan pemijatan ekstremitas untuk meningkatkan sirkulasi darah.
- Edukasi pasien dan keluarga tentang pentingnya menjaga kehangatan tubuh.
2. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas:
- Lakukan suction untuk mengeluarkan sekret jika diperlukan.
- Berikan posisi semifowler untuk memfasilitasi drainase sekret.
- Ajarkan teknik batuk efektif dan latihan pernapasan.
- Berikan nebulizer atau terapi inhalasi sesuai indikasi.
- Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian bronkodilator atau mukolitik.
3. Risiko Kerusakan Integritas Kulit:
- Pertahankan kebersihan dan kelembapan kulit.
- Berikan nutrisi yang adekuat melalui parenteral atau enteral.
- Lakukan mobilisasi dan perubahan posisi secara teratur.
- Edukasi pasien dan keluarga tentang perawatan kulit yang baik.
- Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi.
4. Defisit Perawatan Diri:
- Bantu pasien dalam melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kemampuan.
- Berikan alat bantu perawatan diri jika diperlukan.
- Lakukan latihan dan rehabilitasi untuk meningkatkan kemandirian.
- Berikan motivasi dan dukungan kepada pasien untuk meningkatkan partisipasi.
- Edukasi pasien dan keluarga tentang strategi meningkatkan kemandirian.
Penjelasan:
Diagnosa keperawatan SDKI disusun berdasarkan data yang tersedia pada kasus, dengan mempertimbangkan masalah-masalah kesehatan yang dialami pasien. Luaran/Output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan (SLKI) disusun untuk menggambarkan kondisi ideal yang ingin dicapai setelah intervensi keperawatan dilakukan. Intervensi keperawatan (SIKI) merupakan tindakan-tindakan keperawatan yang diperlukan untuk mencapai luaran yang diharapkan, dengan mempertimbangkan kondisi pasien secara komprehensif. Semua poin di atas disusun dengan nada akademis dan persona pakar/perawat, serta memberikan penjelasan yang rinci dan terperinci. -
Article No. 8609 | 11 Dec 2024
Klinis : Kasus: Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL eGFR 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo. Buatkan askep sesuai kasus di atas (format sesuai yang diajarkan saat kuliah)
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan menyusun diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat terkait SDKI, SLKI, dan SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kasus yang diberikan.
Diagnosa Keperawatan:
1. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan penurunan fungsi kardiovaskular, ditandai dengan kelelahan, dispnea saat beraktivitas, dan intoleransi terhadap aktivitas sehari-hari.
2. Penurunan Intake Nutrisi berhubungan dengan anoreksia, ditandai dengan penurunan berat badan dan asupan makanan yang menurun.
3. Nyeri Kronis berhubungan dengan vaskulitis autoimun, ditandai dengan nyeri pada hipokondrium kanan dan ekstremitas perifer.
4. Risiko Perfusi Jaringan Perifer Tidak Efektif berhubungan dengan gagal jantung kongestif, ditandai dengan dingin pada ekstremitas perifer dan peningkatan kadar laktat serum.
Penjelasan Singkat SDKI, SLKI, dan SIKI:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
1. Intoleransi Aktivitas: Keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik yang diinginkan atau dibutuhkan akibat ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
2. Penurunan Intake Nutrisi: Asupan makanan dan/atau cairan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
3. Nyeri Kronis: Rasa tidak nyaman yang berkepanjangan dan terus-menerus akibat stimulasi reseptor nyeri.
4. Risiko Perfusi Jaringan Perifer Tidak Efektif: Risiko penurunan sirkulasi darah ke jaringan perifer yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
1. Toleransi Aktivitas: Kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik tanpa mengalami kelelahan yang berlebihan.
2. Status Nutrisi: Keadaan yang mencerminkan jumlah dan proporsi makronutrien dan mikronutrien yang dikonsumsi dalam memenuhi kebutuhan tubuh.
3. Kontrol Nyeri: Kemampuan untuk mengendalikan rasa sakit yang dirasakan.
4. Perfusi Jaringan Perifer: Kemampuan untuk mempertahankan suplai darah yang adekuat ke jaringan perifer.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
1. Manajemen Aktivitas: Upaya untuk mengatur aktivitas fisik agar sesuai dengan kemampuan pasien.
2. Manajemen Nutrisi: Upaya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
3. Manajemen Nyeri: Upaya untuk mengendalikan rasa sakit yang dialami pasien.
4. Manajemen Sirkulasi: Upaya untuk mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat.
Perawat akan menerapkan intervensi keperawatan yang sesuai dengan diagnosa keperawatan pasien, bertujuan untuk mencapai luaran keperawatan yang diharapkan dan memenuhi standar praktik keperawatan yang ditetapkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia. -
Article No. 8610 | 11 Dec 2024
Klinis : syok anafilatik
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI yang sesuai untuk kondisi syok anafilaktik:
Diagnosa Keperawatan: Risiko syok
Definisi: Kondisi yang menunjukkan kemungkinan terjadinya penurunan mendadak dan drastis dalam volume darah yang beredar, yang dapat mengancam kehidupan.
Karakteristik Definisi:
- Penurunan tekanan darah
- Perubahan nadi (cepat, lemah, tak teraba)
- Kulit pucat, dingin, dan lembab
- Kecemasan, bingung, somnolen
- Oliguria atau anuria
Syok anafilaktik merupakan suatu kondisi darurat medis yang dapat menyebabkan penurunan mendadak dan drastis dalam volume darah yang beredar, sehingga diagnosa keperawatan yang sesuai adalah Risiko syok.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Tanda-tanda vital stabil
- Tekanan darah dalam batas normal
- Nadi kuat dan teratur
- Respirasi dalam batas normal
2. Perfusi jaringan adekuat
- Kulit hangat dan berwarna normal
- Capillary refill time < 3 detik
- Urin output adekuat
3. Tidak terjadi komplikasi syok
- Tidak ada penurunan kesadaran
- Tidak terjadi kerusakan organ vital
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Pemantauan ketat tanda-tanda vital
- Ukur tekanan darah, nadi, respirasi, suhu, dan saturasi oksigen secara rutin
- Pantau perubahan tanda-tanda vital
2. Manajemen syok
- Berikan oksigen melalui masker atau kanula nasal
- Berikan cairan intravena untuk resusitasi volume
- Berikan epinefrin sesuai indikasi
- Pantau output urin
3. Manajemen nyeri
- Identifikasi sumber dan karakteristik nyeri
- Berikan analgesik sesuai indikasi
4. Edukasi pasien dan keluarga
- Jelaskan kondisi pasien dan rencana perawatan
- Anjurkan pasien untuk menghindari faktor pemicu reaksi anafilaksis
- Ajarkan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan
Penjelasan:
Syok anafilaktik merupakan reaksi alergi sistemik yang dapat mengancam nyawa dan membutuhkan penanganan segera. Diagnosa keperawatan Risiko syok dipilih karena kondisi ini menunjukkan kemungkinan terjadinya penurunan mendadak dan drastis dalam volume darah yang beredar.
Luaran/output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan mencakup stabilisasi tanda-tanda vital, perfusi jaringan yang adekuat, dan pencegahan komplikasi syok. Intervensi keperawatan yang diperlukan meliputi pemantauan ketat, manajemen syok, manajemen nyeri, serta edukasi pasien dan keluarga. Tujuannya adalah untuk menstabilkan kondisi pasien dan mencegah terjadinya komplikasi yang dapat mengancam jiwa. -
Article No. 8611 | 11 Dec 2024
Klinis : Seorang anak B berusia 10 tahun BB: 32 Kg mengeluh air kencingnya berwarna gelap wajahnya sembab dan edema di perut, Anemis. RR 26x/menit. Dari hasil pemeriksaan kimia darah terjadi peningkatan kreatinin dan urea darah serta penurunan albumin plasma. Pada pemeriksaan urine didapatkan proteinuria dan gross hematuria. Produksi urin 150cc/24 jam. Masalah keperawatan utama pada An. B antara lain..
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi klinis yang Anda uraikan, dapat ditentukan beberapa diagnosa keperawatan utama untuk pasien An. B, sesuai dengan standar SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia), SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia), dan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), sebagai berikut:
1. Diagnosa Keperawatan: Ketidakseimbangan Volume Cairan
- Definisi: Kelebihan atau kekurangan cairan intravaskular, intraseluler, dan/atau ekstravaskular.
- Penjelasan Singkat: Pasien menunjukkan tanda-tanda kelebihan cairan, seperti edema perut, wajah sembab, produksi urin yang rendah, dan peningkatan kadar kreatinin dan urea darah yang mengindikasikan gangguan fungsi ginjal.
2. Diagnosa Keperawatan: Intoleransi Aktivitas
- Definisi: Ketidakmampuan untuk mentoleransi atau menyelesaikan aktivitas rutin.
- Penjelasan Singkat: Pasien memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari akibat gejala-gejala yang dialami, seperti anemia dan edema yang menyebabkan kelelahan dan penurunan kapasitas fungsional.
3. Diagnosa Keperawatan: Perubahan Perfusi Ginjal
- Definisi: Penurunan aliran darah ke ginjal yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal.
- Penjelasan Singkat: Pasien menunjukkan tanda-tanda gangguan fungsi ginjal, seperti penurunan produksi urin, peningkatan kadar kreatinin dan urea darah, serta proteinuria dan hematuria, yang mengindikasikan perubahan perfusi ginjal.
Berdasarkan diagnosa keperawatan di atas, perawat dapat menyusun rencana asuhan keperawatan yang sesuai dengan standar SLKI dan SIKI, serta melakukan intervensi keperawatan yang komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dialami oleh pasien An. B. -
Article No. 8612 | 11 Dec 2024
Klinis : Seorang anak B berusia 10 tahun BB: 32 Kg mengeluh air kencingnya berwarna gelap wajahnya sembab dan edema di perut, Anemis. RR 26x/menit. Dari hasil pemeriksaan kimia darah terjadi peningkatan kreatinin dan urea darah serta penurunan albumin plasma. Pada pemeriksaan urine didapatkan proteinuria dan gross hematuria. Produksi urin 150cc/24 jam. Masalah keperawatan utama pada An. B antara lain..
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat mengenai standar SDKI, SLKI, dan SIKI untuk kondisi yang Anda deskripsikan.
Diagnosa Keperawatan Utama:
1. Ketidakseimbangan Volume Cairan berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal, ditandai dengan edema perut, produksi urin menurun, dan peningkatan kreatinin/urea darah.
Penjelasan Singkat:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Ketidakseimbangan Volume Cairan didefinisikan sebagai kondisi kelebihan atau kekurangan cairan intravaskular, interstitial, dan/atau intraseluler. Tanda dan gejala yang muncul pada kondisi ini termasuk edema, produksi urin yang berlebih atau berkurang, dan perubahan nilai laboratorium seperti peningkatan kreatinin/urea darah.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
Luaran yang diharapkan pada kondisi ini antara lain pemulihan volume cairan yang adekuat, penurunan edema, serta normalisasi parameter laboratorium terkait fungsi ginjal.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan meliputi pemantauan tanda-tanda vital dan intake-output cairan, pemberian cairan intravena, pembatasan asupan cairan, serta edukasi pasien dan keluarga terkait manajemen cairan.
Dengan demikian, berdasarkan kondisi yang Anda deskripsikan, diagnosa keperawatan utama yang sesuai adalah Ketidakseimbangan Volume Cairan. Penjelasan singkat mengenai standar SDKI, SLKI, dan SIKI juga telah saya sampaikan. Semoga informasi ini bermanfaat. -
Article No. 8613 | 11 Dec 2024
Klinis : Pasien An. A usia 6 bln, jenis kelamin Perempuan, Alamat Sewon, Bantul, DIY mengalami demam selama dua hari sebelum kejang, demam disertai menggigil, pasien sempat diberi obat penurun panas oleh ibunya tapi tidak ada perubahan dan selama demam pasien rewel dan tidak mau menyusu. Lalu pasien sempat kejang 1 kali selama 30 menit sebelum masuk Rumah Sakit Respati Jogjakarta, kejang seluruh tubuh dengan mata keatas, tanpa disertai muntah, Setelah kejang pasien tetap sadar (menangis / rewel) sampai MRS. Lalu pasien kejang lagi 1 kali selama 5 menit saat sampai di rumah sakit. Pasien masuk ke RS tanggal 09 Desember 2024. Riwayat kejang sebelumnya (-), riwayat trauma (-), BAB (+), BAK (+) normal. Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit kejang. BB 7,2 kg, TB 66 cm, BB lahir 3000 gr, panjang lahir 49 cm, saat ini pasien sudah bisa tengkurap. Suhu 38˚ C, Frekuensi nafas 36 x / menit, Nadi 136 x/ menit. Hasil pemeriksaan laboratorium Leukosit 25.100 /mm3 , Hb 10,7 gr/dl, hematokrit 31,0 %, Trombosit 489.000 / mm3, SGOT 69 U/L, SGPT 74 U/L, Ureum 46,9 gr/dl , Creatinin 1, 4 gr/dl.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang diberikan, pasien An. A usia 6 bulan mengalami kondisi demam, kejang, dan gejala lainnya. Berikut adalah diagnosa keperawatan beserta penjelasan singkat SDKI, SLKI, dan SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
Diagnosa Keperawatan:
1. Risiko Kejang Berulang (NANDA-I)
Penjelasan:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
- Definisi: Keadaan di mana individu berisiko mengalami kejang berulang.
- Faktor Risiko: Demam, riwayat kejang sebelumnya, pemberian obat penurun panas yang tidak efektif, dan hasil pemeriksaan lab yang menunjukkan peningkatan.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
- Luaran yang diharapkan: Kejang tidak terjadi, tingkat kecemasan keluarga menurun, dan pengetahuan keluarga tentang perawatan saat kejang meningkat.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
- Intervensi Keperawatan: Pemantauan tanda-tanda vital, pemberian obat antikonvulsan sesuai instruksi, edukasi keluarga tentang penanganan saat kejang, dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain.
2. Hipertermia (NANDA-I)
Penjelasan:
SDKI:
- Definisi: Keadaan di mana individu mengalami peningkatan suhu tubuh di atas 37,8°C.
- Faktor Risiko: Infeksi, dehidrasi, dan pemberian obat penurun panas yang tidak efektif.
SLKI:
- Luaran yang diharapkan: Suhu tubuh kembali normal, tanda-tanda vital stabil, dan ketidaknyamanan akibat demam berkurang.
SIKI:
- Intervensi Keperawatan: Pemantauan tanda-tanda vital, pemberian kompres dingin, pemberian obat penurun panas sesuai instruksi, dan manajemen cairan dan elektrolit.
3. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh (NANDA-I)
Penjelasan:
SDKI:
- Definisi: Keadaan di mana asupan nutrisi tidak memenuhi kebutuhan metabolik.
- Faktor Risiko: Demam, kejang, dan rewel/tidak mau menyusu.
SLKI:
- Luaran yang diharapkan: Berat badan membaik, tidak ada tanda-tanda malnutrisi, dan asupan nutrisi adekuat.
SIKI:
- Intervensi Keperawatan: Pemantauan berat badan dan status nutrisi, pemberian asupan nutrisi melalui oral atau parenteral, dan kolaborasi dengan tenaga gizi. -
Article No. 8614 | 11 Dec 2024
Klinis : Pasien An. A usia 6 bln, jenis kelamin Perempuan, Alamat Sewon, Bantul, DIY mengalami demam selama dua hari sebelum kejang, demam disertai menggigil, pasien sempat diberi obat penurun panas oleh ibunya tapi tidak ada perubahan dan selama demam pasien rewel dan tidak mau menyusu. Lalu pasien sempat kejang 1 kali selama 30 menit sebelum masuk Rumah Sakit Respati Jogjakarta, kejang seluruh tubuh dengan mata keatas, tanpa disertai muntah, Setelah kejang pasien tetap sadar (menangis / rewel) sampai MRS. Lalu pasien kejang lagi 1 kali selama 5 menit saat sampai di rumah sakit. Pasien masuk ke RS tanggal 09 Desember 2024. Riwayat kejang sebelumnya (-), riwayat trauma (-), BAB (+), BAK (+) normal. Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit kejang. BB 7,2 kg, TB 66 cm, BB lahir 3000 gr, panjang lahir 49 cm, saat ini pasien sudah bisa tengkurap. Suhu 38˚ C, Frekuensi nafas 36 x / menit, Nadi 136 x/ menit. Hasil pemeriksaan laboratorium Leukosit 25.100 /mm3 , Hb 10,7 gr/dl, hematokrit 31,0 %, Trombosit 489.000 / mm3, SGOT 69 U/L, SGPT 74 U/L, Ureum 46,9 gr/dl , Creatinin 1, 4 gr/dl.
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi yang dipaparkan, diagnosis keperawatan SDKI yang sesuai adalah:
1. Risiko kejang berhubungan dengan demam
- Definisi: Keadaan berisiko mengalami kontraksi otot yang tidak terkendali dan abnormal, disertai dengan penurunan kesadaran.
- Faktor risiko: Demam, riwayat kejang sebelumnya.
2. Hipertermia berhubungan dengan proses patologis
- Definisi: Peningkatan suhu tubuh di atas batas normal.
- Penyebab: Proses infeksi.
3. Perubahan pola tidur berhubungan dengan rasa tidak nyaman akibat demam
- Definisi: Gangguan durasi dan kualitas tidur yang menyebabkan ketidaknyamanan.
- Penyebab: Demam dan rasa tidak nyaman.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Risiko kejang berhubungan dengan demam:
- Tanda-tanda vital dalam batas normal
- Tidak terjadi kejang selama perawatan
- Pasien dan keluarga dapat mengidentifikasi tanda-tanda awal kejang
2. Hipertermia berhubungan dengan proses patologis:
- Suhu tubuh kembali dalam batas normal
- Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh selama perawatan
- Pasien dan keluarga dapat menggunakan metode penurunan suhu yang efektif
3. Perubahan pola tidur berhubungan dengan rasa tidak nyaman akibat demam:
- Pasien dapat tidur dengan nyenyak
- Pasien terlihat segar dan bugar saat bangun
- Pasien dan keluarga merasa puas dengan kualitas dan kuantitas tidur
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Risiko kejang berhubungan dengan demam:
- Monitor tanda-tanda vital secara berkala
- Berikan obat antikonvulsan sesuai indikasi
- Edukasi pasien dan keluarga tentang tanda-tanda awal kejang dan tindakan yang harus dilakukan
- Ciptakan lingkungan yang aman untuk mencegah cedera saat kejang
2. Hipertermia berhubungan dengan proses patologis:
- Monitor suhu tubuh secara berkala
- Berikan intervensi penurunan suhu (kompres hangat, antipiretik)
- Pastikan asupan cairan yang adekuat
- Edukasi pasien dan keluarga tentang metode penurunan suhu yang efektif
3. Perubahan pola tidur berhubungan dengan rasa tidak nyaman akibat demam:
- Bantu pasien mencapai kenyamanan fisik (kompres hangat, analgetik)
- Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang untuk tidur
- Ajarkan teknik relaksasi untuk membantu pasien tidur
- Edukasi pasien dan keluarga tentang pentingnya tidur yang cukup dan nyenyak -
Article No. 8615 | 11 Dec 2024
Klinis : Seorang anak C laki-laki usia 6 tahun dirawat di RSUA dengan keluhan mudah Lelah saat beraktifitas. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan data: Konjunctiva pucat, pasien mengatakan Sakit kepala dan pusing. Detak jantung tidak teratur, teraba dingin pada ekstremitas, dan kulit terlihat pucat. Frekuensi napas saat beraktifitas: 40x/menit, Frekuensi nadi 125x/menit. HB: 4,1g/dl. Ibu pasien mengatakan Anak C mempunyai Riwayat Kehilangan darah yang banyak akibat adanya lesi pada saluran pencernaan, An. C tidak mau mengkonsumsi sayuran yang berwarna hijau. Tindakan yang harus segera diberikan pada anak C untuk mengatasi masalah keperawatan prioritas diatas adalah.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, berdasarkan kondisi yang Anda jelaskan, saya dapat memberikan diagnosis keperawatan dan penjelasan singkat mengenai SDKI, SLKI, dan SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) untuk anak C.
Diagnosis Keperawatan Prioritas:
1. Penurunan Volume Cairan Tubuh (Hypovolemia) berhubungan dengan kehilangan darah akibat lesi pada saluran pencernaan.
Penjelasan Singkat:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
- Penurunan Volume Cairan Tubuh (Hypovolemia) adalah kekurangan volume cairan dalam tubuh yang dapat disebabkan oleh kehilangan darah, dehidrasi, atau gangguan keseimbangan cairan.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
- Luaran yang diharapkan adalah Keseimbangan Cairan Tubuh Membaik, yang ditandai dengan tanda-tanda vital dalam batas normal, mukosa lembab, dan tidak ada edema.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
- Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah Pemberian Cairan Intravena, Pemantauan Tanda-Tanda Vital, dan Edukasi Manajemen Cairan.
Tindakan yang harus segera diberikan pada anak C:
Tindakan prioritas yang harus dilakukan adalah Pemberian Cairan Intravena untuk mengatasi Penurunan Volume Cairan Tubuh (Hypovolemia). Hal ini bertujuan untuk mengembalikan volume cairan tubuh yang hilang akibat kehilangan darah, sehingga dapat memperbaiki tanda-tanda vital dan memulihkan kondisi anak C. -
Article No. 8616 | 11 Dec 2024
Klinis : pasien tidur kurang nyenyak, sering haus, banyak kencing penyakit diabetes,
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, dengan senang hati saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat mengenai SDKI, SLKI, dan SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi pasien yang Anda sebutkan.
Diagnosa Keperawatan:
Berdasarkan gejala yang Anda paparkan, yakni pasien tidur kurang nyenyak, sering haus, dan banyak kencing, serta menderita penyakit diabetes, maka dapat ditetapkan diagnosa keperawatan utama adalah:
1. Gangguan Pola Tidur
Definisi: Gangguan dalam jumlah dan kualitas tidur yang mengganggu fungsi sehari-hari.
SDKI (Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia):
- Tanda dan gejala: Tidur tidak nyenyak, sering terbangun di malam hari, sulit untuk kembali tidur.
- Faktor yang berhubungan: Penyakit kronis (diabetes).
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
- Luaran yang diharapkan: Pasien dapat tidur dengan nyenyak selama 6-8 jam per malam.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
- Intervensi keperawatan: Manajemen tidur, edukasi tentang pola tidur yang sehat, pengaturan lingkungan yang kondusif untuk tidur.
Dengan pendekatan berbasis SDKI-SLKI-SIKI, perawat dapat memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dan terstandar untuk mengatasi gangguan pola tidur pada pasien dengan diabetes.
Saya harap penjelasan ini dapat membantu Anda memahami bagaimana diagnosa keperawatan dan standar asuhan keperawatan diterapkan dalam kasus pasien dengan kondisi yang Anda sampaikan. Jika ada pertanyaan lain, jangan ragu untuk menanyakannya. -
Article No. 8617 | 11 Dec 2024
Klinis : Pasangan remaja berusia 17 tahun yang masih duduk dibangku Sekolah Menengah Atas bernama Ny. W dan Tn. R, berlatar belakang pendidikan tamat Sekolah Menengah Pertama, mempunyai anak dari hasil pernikahannya bernama An. N berusia kurang dari satu minggu yang sedang dirawat di RS Citra Bayu Semarang, karena mengalami kelainan fisik yang parah dengan gangguan perkembangan. Mereka tinggal satu rumah dengan orang tua Ny. W, yaitu Ny. A berusia 37 tahun dan Tn. D berusia 44 tahun, keluarga ini adalah keluarga yang paham akan agama. Suatu ketika dipagi hari saat sedang sarapan bersama keluarga, Ny. W merasa mual muntah lalu dia berlari ke kamar mandi, kejadian ini tidak hanya terjadi sekali namun sudah terjadi berkali-kali dalam beberapa hari belakangan. Orang tua Ny. W tidak menyimpan rasa curiga hanya menganggap bahwa itu adalah penyakit magh biasa, karena kebetulan Ny. W mempunyai riwayat penyakit magh. Selang tiga minggu setelahnya saat Ny. A sedang membersihkan kamar anaknya, Ny. A justru mendapati tes kehamilan yang bergaris dua ditempat sampah, dengan rasa yang cemas dan panik Ny. A langsung memanggil Tn. D yang sedang membersihkan halaman depan rumahnya, mendengar panggilan istrinya Tn. D langsung menghampiri istrinya yang duduk lemas diruang tamu, dengan keadaan shok Ny. A memperlihatkan tes kehamilan itu kesuaminya dan mencritakan awal mula menemukan tes kehamilan itu. Tidak berselang lama Ny. W pulang dari sekolah dan langsung ditanya banyak hal oleh orang tuanya tentang tes kehamilan itu, dengan keadaan menangis Ny. W lalu menjelaskan dan menceritakan bahwa itu adalah miliknya, semua berawal saat Ny. W yang seharusnya mengalami haid dibulan tersebut justru tidak kunjung haid sampai dua bulan selanjutnya, lalu Ny. W melakukan tes kehamilan mandiri dirumah dan ternyata hasilnya positif. Ny. W juga mengatakan melakukan perbuatan yang dilarang tersebut dengan pacarnya yaitu Tn. R, dia juga menceritakan bahwa dia terjerumus ke pergaulan bebas. Ny. W langsung dibawa ke Rumah Sakit untuk memastikan kehamilannya, ternyata hasilnya adalah Ny. W hamil sudah berjalan hampir empat bulan. Mendapati anaknya hamil orang tua Ny. W tidak terima dan meminta pertanggung jawab an ke keluarga Tn. R, tidak berselang lama acara pernikahan sederhana pun dilakukan. Tidak berselang lama akhirnya Ny. W melahirkan anak pertamanya yaitu An. N dan Dokter mendiagnosis bahwa An. N mengalami kelainan fisik dan gangguan perkembangan dikarenakan semasa dalam kandungan, gizi yang dibutuhkan tidak tercukupi sehingga pada saat lahir anak mengalami kecacatan. Lalu perawat V menyarankan kekeluarga An. N, agar mereferensikan anak ke fisioterapi dan program terapi yang akan membantu anak untuk menjadi lebih mandiri kedepannya, namun keluarga An. N menolak dan mengatakan itu tugas mereka untuk merawat anaknya, keluarga juga menganggap bahwa kondisi anaknya adalah hukuman dari Allah SWT karena telah dikandung sebelum orang tuanya menikah. Perawat V merasa kesal dan menganggap bahwa keluarga tidak memberikan hal yang terbaik untuk anaknya.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi yang diberikan, berikut adalah diagnosis keperawatan dan penjelasan singkat mengenai SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia), SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia), dan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) yang sesuai dengan Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
Diagnosis Keperawatan:
1. Gangguan proses keluarga berhubungan dengan anggota keluarga yang belum siap untuk memiliki anak.
2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan minimnya pendidikan seksual pada remaja.
3. Risiko ketidakpatuhan berhubungan dengan keyakinan keagamaan yang kuat.
Penjelasan Singkat:
1. Gangguan proses keluarga berhubungan dengan anggota keluarga yang belum siap untuk memiliki anak.
- SDKI: Gangguan proses keluarga adalah ketidakmampuan keluarga untuk melakukan fungsi keluarga secara efektif.
- SLKI: Keluarga mampu beradaptasi dengan perubahan dalam keluarga.
- SIKI: Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah memberikan dukungan emosional, membantu keluarga mengidentifikasi sumber daya, dan memberikan pendidikan kesehatan tentang manajemen konflik keluarga.
2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan minimnya pendidikan seksual pada remaja.
- SDKI: Kurang pengetahuan adalah keterbatasan informasi kognitif yang dibutuhkan untuk pembuatan keputusan atau tindakan.
- SLKI: Keluarga memiliki pengetahuan yang cukup tentang perawatan anak dan kesehatan reproduksi remaja.
- SIKI: Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah memberikan pendidikan kesehatan tentang kesehatan reproduksi remaja, pencegahan kehamilan remaja, dan perawatan anak.
3. Risiko ketidakpatuhan berhubungan dengan keyakinan keagamaan yang kuat.
- SDKI: Risiko ketidakpatuhan adalah keadaan di mana individu atau kelompok berisiko tidak mengikuti rekomendasi terapi.
- SLKI: Keluarga patuh terhadap rencana perawatan anak.
- SIKI: Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah melibatkan pemuka agama dalam proses edukasi, mencari solusi yang sejalan dengan keyakinan keluarga, dan membangun komunikasi yang terbuka antara petugas kesehatan dan keluarga.
Secara keseluruhan, pendekatan yang diperlukan adalah dengan mempertimbangkan aspek psikososial, edukasi, dan kolaborasi dengan pemuka agama untuk membantu keluarga dalam menghadapi situasi ini dan memberikan perawatan terbaik bagi anak.