Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 8790 | 12 Dec 2024
Klinis : Pasien datang ke UGD tgl 12/12/2024 pkl 14.30 wita dengn keluhan lemas sejak sekitar 1 minggu yang lalu dan memberat saat ini. Lemas dikatakan di seluruh tubuh. Makan dan minum dikatakan masih biasa, BAK dan BAB dikatakan masih normal GCS: 15, Tekanan darah : 80/0 mmHg, Nadi : 70 x/mnt, Suhu : 36 C, RR : 20 x/mnt, Saturasi O2: 98% Hb : 8,4 Natrium : 127 WBC : 14,92
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Dengan mempertimbangkan kondisi pasien yang disajikan, berikut adalah diagnosa keperawatan SDKI, luaran/output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan (SLKI), dan intervensi keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan luaran (SIKI):
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Kekurangan volume cairan terkait kehilangan cairan yang berlebihan yang ditandai dengan tekanan darah rendah, lemas, dan nilai laboratorium yang menyimpang.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Keseimbangan volume cairan yang ditandai dengan:
- Tekanan darah dalam rentang normal (120/80 mmHg)
- Nadi dalam rentang normal (60-100 x/menit)
- Saturasi oksigen dalam rentang normal (≥95%)
- Laboratorium dalam batas normal (Hb ≥12 g/dL, Natrium 135-145 mmol/L, WBC 4,5-11 x10^3/μL)
- Pasien tidak mengeluhkan lemas
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Pemantauan tanda-tanda vital secara berkala
2. Pemberian cairan intravena sesuai dengan kebutuhan dan status hemodinamik pasien
3. Pemberian terapi oksigen, jika diperlukan
4. Pemantauan status cairan, keseimbangan cairan, dan elektrolit
5. Pemberian nutrisi yang adekuat sesuai dengan kebutuhan pasien
6. Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang pentingnya intake cairan dan nutrisi yang adekuat
7. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi tambahan, jika diperlukan
Penjelasan:
Pasien datang dengan keluhan lemas yang dirasakan di seluruh tubuh sejak sekitar 1 minggu yang lalu dan memberat saat ini. Berdasarkan data yang diberikan, pasien mengalami hipovolemia yang ditandai dengan tekanan darah rendah (80/0 mmHg), nilai Hb rendah (8,4 g/dL), dan nilai Natrium rendah (127 mmol/L). Diagnosa keperawatan yang sesuai adalah kekurangan volume cairan. Tujuan asuhan keperawatan adalah mencapai keseimbangan volume cairan yang ditandai dengan stabilnya tanda-tanda vital dan nilai laboratorium dalam batas normal. Intervensi keperawatan yang diperlukan mencakup pemantauan tanda-tanda vital, pemberian cairan intravena, pemberian oksigen, pemantauan status cairan dan elektrolit, pemberian nutrisi yang adekuat, edukasi, serta kolaborasi dengan dokter. Semua intervensi ini bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan volume cairan dan elektrolit pada pasien. -
Article No. 8791 | 12 Dec 2024
Klinis : pasien datang dengan keluhan demam selama 3 hari
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan penjelasan yang rinci dan terperinci mengenai diagnosis keperawatan, luaran, dan intervensi keperawatan untuk pasien dengan keluhan demam selama 3 hari.
Diagnosa Keperawatan SDKI:
Berdasarkan keluhan pasien yang datang dengan demam selama 3 hari, diagnosis keperawatan yang sesuai adalah Hipertermia (SDKI 2017). Hipertermia didefinisikan sebagai peningkatan suhu tubuh di atas batas normal yang disebabkan oleh peningkatan produksi panas atau penurunan kemampuan tubuh untuk mengontrol suhu.
Luaran/Output yang diharapkan SLKI:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan pasien dengan hipertermia dapat mencapai luaran sebagai berikut:
1. Suhu tubuh kembali normal: Pasien dapat mempertahankan suhu tubuh dalam rentang normal (36,5°C-37,5°C) selama 3 hari berturut-turut.
2. Tanda-tanda vital stabil: Pasien menunjukkan tanda-tanda vital yang stabil, seperti frekuensi napas, denyut nadi, dan tekanan darah dalam batas normal.
3. Tidak terjadi komplikasi: Pasien tidak mengalami komplikasi yang dapat timbul akibat hipertermia, seperti dehidrasi, kejang, atau kerusakan organ.
4. Tingkat kenyamanan meningkat: Pasien menunjukkan peningkatan kenyamanan, seperti tidak merasakan gejala-gejala yang mengganggu, seperti menggigil, sakit kepala, atau letargi.
Intervensi Keperawatan SIKI:
Untuk mencapai luaran yang diharapkan, intervensi keperawatan yang diperlukan adalah:
1. Manajemen Hipertermia
a. Monitor suhu tubuh pasien secara berkala.
b. Berikan cairan intravena atau berikan minum untuk mencegah dehidrasi.
c. Berikan obat penurun panas (antipiretik) sesuai indikasi.
d. Lakukan tindakan pendinginan, misalnya dengan kompres hangat, kipas angin, atau lingkungan yang sejuk.
e. Anjurkan pasien menggunakan pakaian yang tipis dan tidak menyerap panas.
f. Kolaborasi dengan dokter untuk mengatasi penyebab hipertermia.
2. Manajemen Nyeri
a. Identifikasi faktor-faktor yang menyebabkan nyeri, seperti sakit kepala atau nyeri otot.
b. Berikan analgesik sesuai indikasi untuk mengurangi rasa nyeri.
c. Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mengatasi nyeri, seperti relaksasi, distraksi, atau kompres dingin.
3. Edukasi Kesehatan
a. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyebab, gejala, dan penanganan hipertermia.
b. Ajarkan cara memantau suhu tubuh dan mengenali tanda-tanda komplikasi.
c. Berikan informasi tentang pentingnya istirahat, minum yang cukup, dan menjaga kebersihan diri.
Dengan penerapan intervensi keperawatan yang komprehensif, diharapkan pasien dengan hipertermia dapat memulihkan kondisi kesehatan dan mencapai luaran yang diharapkan. -
Article No. 8792 | 12 Dec 2024
Klinis : Pasien anak perempuan, usia 5 tahun, mengalami demam tinggi selama 3 hari, ruam merah di kulit, bintik Koplik di mukosa mulut, batuk kering, dan mata merah. Hasil pemeriksaan menunjukkan kemungkinan campak.
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10: Berdasarkan gejala yang dialami oleh pasien, yaitu demam tinggi selama 3 hari, ruam merah di kulit, bintik Koplik di mukosa mulut, batuk kering, dan mata merah, maka diagnosis yang paling sesuai adalah kemungkinan campak.
1. Kode ICD-10:
- Kode: B05.9
- Deskripsi: Campak, tanpa komplikasi
Penjelasan:
- Kode ICD-10 B05.9 merupakan kode untuk penyakit campak tanpa komplikasi. Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh virus campak (Morbillivirus) dan ditandai dengan gejala seperti demam, ruam merah, bintik Koplik di mukosa mulut, dan konjungtivitis.
- Pasien anak perempuan usia 5 tahun dengan gejala-gejala yang sesuai dengan diagnosis campak tanpa komplikasi dapat diberi kode ICD-10 B05.9.
2. Kode ICD-9-CM Procedure (jika ada):
- Tidak ada kode ICD-9-CM Procedure yang sesuai, karena tidak ada tindakan medis yang dilakukan untuk mendiagnosis campak pada kasus ini. Diagnosis campak dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik.
Dalam penatalaksanaan kasus ini, pemeriksaan laboratorium seperti deteksi antibodi IgM atau pemeriksaan PCR dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Selain itu, tindakan suportif seperti pemberian cairan dan antipiretik juga perlu dilakukan untuk mengelola gejala yang dialami oleh pasien. -
Article No. 8793 | 12 Dec 2024
Klinis : susah tidur karena nyeri
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan penjelasan yang rinci dan terperinci untuk setiap poin yang Anda minta.
1. Diagnosa Keperawatan SDKI yang sesuai untuk kondisi "susah tidur karena nyeri":
Diagnosa Keperawatan SDKI yang sesuai adalah "Gangguan Pola Tidur" (00198). Gangguan Pola Tidur didefinisikan sebagai gangguan kuantitas dan kualitas tidur yang menganggu fungsi sehari-hari. Kondisi "susah tidur karena nyeri" memenuhi kriteria ini, di mana nyeri yang dirasakan oleh pasien mengganggu kemampuan pasien untuk tidur dengan baik.
2. Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan untuk masalah "susah tidur karena nyeri" adalah:
a. Tidur yang adekuat (0004): Pasien dapat tidur dengan kualitas dan kuantitas yang baik, serta dapat beristirahat dengan cukup.
b. Kontrol Nyeri (1605): Pasien dapat mengontrol nyeri yang dirasakan sehingga tidak mengganggu tidurnya.
c. Kenyamanan (1800): Pasien merasa nyaman dan terbebas dari gangguan nyeri yang dapat mengganggu tidurnya.
3. Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran pada kasus "susah tidur karena nyeri" adalah:
a. Manajemen Nyeri (1400):
- Identifikasi karakteristik nyeri (lokasi, durasi, frekuensi, dan kualitas)
- Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk pemberian analgetik yang sesuai
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (relaksasi, distraksi, kompres hangat/dingin)
- Evaluasi efektivitas intervensi dalam mengurangi nyeri
b. Manajemen Tidur (1850):
- Identifikasi faktor-faktor yang mengganggu tidur (nyeri, lingkungan, stres)
- Ajarkan teknik-teknik untuk meningkatkan kualitas tidur (rutinitas tidur, lingkungan tidur yang nyaman)
- Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk pemberian obat tidur jika diperlukan
- Evaluasi kualitas dan kuantitas tidur pasien
c. Manajemen Kenyamanan (1400):
- Identifikasi sumber-sumber rasa ketidaknyamanan (nyeri)
- Berikan intervensi untuk meningkatkan kenyamanan (posisi yang nyaman, lingkungan yang tenang)
- Kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk pemberian terapi komplementer jika diperlukan
- Evaluasi tingkat kenyamanan pasien
Dengan menerapkan intervensi-intervensi ini secara komprehensif, diharapkan pasien dapat mencapai luaran yang diinginkan, yaitu tidur yang adekuat, kontrol nyeri yang baik, dan kenyamanan yang optimal. -
Article No. 8794 | 12 Dec 2024
Klinis : DS : • Klien mengatakan sesak nafas. • Klien mengatakan pusing. • Klien mengatakan lemas. DO : • Klien tampak masih sesak. • Klien tampak lemas. • TD : 130/80 mmHg Nadi : 107 x/i Suhu : 38 ◦C Pernafasan: 26 x/i
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, saya akan memberikan diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi yang Anda deskripsikan.
Diagnosa Keperawatan:
Pola Napas Tidak Efektif (SDKI)
Definisi: Ketidakmampuan untuk menginspirasi dan/atau mendespirasikan udara secara adekuat.
Penjelasan SDKI - SLKI - SIKI:
1. SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
- Penyebab: Obstruksi jalan napas, nyeri, kecemasan, kelemahan otot pernapasan.
- Gejala dan Tanda: Sesak napas, frekuensi napas tidak normal, irama napas tidak teratur, penggunaan otot bantu pernapasan.
2. SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
- Luaran yang diharapkan: Pasien dapat bernapas dengan irama dan frekuensi normal, tidak ada tanda-tanda sesak napas, dan dapat beraktivitas tanpa kelelahan.
3. SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
- Intervensi Keperawatan: Manajemen jalan napas, terapi oksigen, latihan pernapasan, manajemen kenyamanan.
Berdasarkan data subjektif dan objektif yang Anda berikan, klien mengalami pola napas tidak efektif yang ditandai dengan sesak napas, lemas, dan peningkatan frekuensi napas. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah manajemen jalan napas, terapi oksigen, latihan pernapasan, dan manajemen kenyamanan untuk membantu klien bernapas dengan lebih efektif dan mencapai luaran yang diharapkan. -
Article No. 8795 | 12 Dec 2024
Klinis : susah tidur karena nyeri
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, berikut adalah Diagnosa Keperawatan dan penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi susah tidur karena nyeri:
Diagnosa Keperawatan:
Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan Nyeri
Penjelasan singkat:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Gangguan Pola Tidur didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan kualitas dan kuantitas tidur yang diinginkan.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
Luaran yang diharapkan dari diagnosa ini adalah pasien dapat mencapai dan mempertahankan pola tidur yang adekuat.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan antara lain:
1. Manajemen Nyeri: Intervensi untuk mengurangi atau mengontrol nyeri yang dialami pasien.
2. Terapi Relaksasi: Intervensi untuk memfasilitasi relaksasi fisik dan mental pasien.
3. Edukasi Manajemen Tidur: Intervensi untuk memberikan informasi dan pelatihan kepada pasien dalam mengelola pola tidurnya.
Sebagai perawat profesional, saya akan melakukan pengkajian yang komprehensif terhadap kondisi pasien, mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola tidur, dan kemudian menyusun rencana asuhan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien. Tujuan utamanya adalah membantu pasien mencapai kualitas tidur yang adekuat dan mengatasi permasalahan nyeri yang mengganggu tidurnya. -
Article No. 8797 | 12 Dec 2024
Klinis : DS : Pasien mengatakan tidak ada kelemahan pada ekstremitasnya DO : Kesadaran CM, pupil isokor, Reflek cahaya +/+. TD : 247/122mmhg, nadi : 73x/m, respirasi : 22x/m, suhu : 36, spo2 : 98% IV line no. 20 di vena metacarpal sinistra dengan infus Asering 1000 cc/24 jam Terpasang DC no. 16, produksi urine kuning jernih. Skala nyeri 0. Riwayat Stroke 5 tahun yang lalu ( hemiparese dextra ) Riwayat Hipertensi ( minum Amlodipin 1 x 10 mg ) drip Heparin 10.000 unit/24 jam.
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI yang Sesuai:
1. Ketidakstabilan Hemodinamik
Definisi: Ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu dalam rentang normal.
Faktor Terkait: Riwayat hipertensi, kondisi pasca-stroke.
Karakteristik Mayor: Tekanan darah tinggi, perubahan tanda-tanda vital.
2. Risiko Cedera
Definisi: Berisiko mengalami kerusakan fisik akibat interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Faktor Terkait: Riwayat stroke, hemiparese dextra.
Karakteristik Mayor: Gerakan terbatas, riwayat jatuh/cedera.
Luaran/Output yang Diharapkan (SLKI):
1. Stabilitas Hemodinamik
- Tekanan darah dalam rentang normal
- Nadi dan respirasi dalam rentang normal
- Suhu tubuh dalam rentang normal
2. Integritas Fisik
- Tidak terjadi cedera selama perawatan
- Fungsi motorik ekstremitas membaik
Intervensi Keperawatan yang Diperlukan (SIKI):
1. Manajemen Hemodinamik
- Monitor tanda-tanda vital secara rutin
- Kolaborasi dengan tim medis untuk pengobatan hipertensi
- Atur posisi semi-Fowler untuk meningkatkan aliran darah
2. Manajemen Risiko Cedera
- Identifikasi faktor risiko cedera (riwayat stroke, hemiparese)
- Lakukan latihan fisik dan range of motion untuk ekstremitas
- Edukasi pasien dan keluarga tentang pencegahan jatuh
- Kolaborasi dengan fisioterapi untuk rehabilitasi
Penjelasan Rinci:
Pasien ini memiliki riwayat stroke 5 tahun lalu dengan hemiparese dextra, serta riwayat hipertensi. Tekanan darah yang tinggi (247/122 mmHg) dan tanda-tanda vital lain yang terganggu menunjukkan adanya ketidakstabilan hemodinamik. Selain itu, riwayat stroke dan hemiparese meningkatkan risiko cedera pada pasien.
Oleh karena itu, diagnosa keperawatan yang sesuai adalah Ketidakstabilan Hemodinamik dan Risiko Cedera. Luaran/output yang diharapkan adalah Stabilitas Hemodinamik dan Integritas Fisik. Intervensi keperawatan yang diperlukan meliputi Manajemen Hemodinamik untuk mengendalikan tekanan darah dan tanda-tanda vital, serta Manajemen Risiko Cedera untuk mencegah komplikasi akibat stroke dan memaksimalkan fungsi motorik.
Perawat perlu memantau tanda-tanda vital secara rutin, berkolaborasi dengan tim medis untuk pengobatan hipertensi, dan mengatur posisi pasien untuk meningkatkan aliran darah. Selain itu, perawat juga perlu melakukan identifikasi faktor risiko cedera, memberikan latihan fisik dan range of motion, serta melakukan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang pencegahan jatuh. Kolaborasi dengan fisioterapi juga diperlukan untuk rehabilitasi pasien. -
Article No. 8798 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang diberikan, berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat menggunakan standar SDKI, SLKI, dan SIKI dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
Diagnosa Keperawatan:
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan fungsi kardiovaskular dan respirasi yang ditandai dengan kelelahan, anoreksia, dan napas pendek.
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
Intoleransi aktivitas adalah ketidakmampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas rutin yang diinginkan atau diperlukan, akibat keterbatasan fisik dan/atau psikologis.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
Luaran yang diharapkan:
- Pasien dapat berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari sesuai kemampuan.
- Pasien mencapai tingkat energi yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
Intervensi yang dapat dilakukan:
- Manajemen aktivitas: mengatur dan merencanakan aktivitas sehari-hari pasien.
- Manajemen energi: membantu pasien mengatur penggunaan energi secara efisien.
- Peningkatan aktivitas: membantu pasien meningkatkan toleransi terhadap aktivitas.
2. Malnutrisi berhubungan dengan anoreksia yang ditandai dengan penurunan berat badan.
SDKI:
Malnutrisi adalah status gizi yang tidak seimbang, baik kekurangan maupun kelebihan, yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan.
SLKI:
Luaran yang diharapkan:
- Pasien dapat mempertahankan berat badan yang adekuat.
- Pasien dapat mengonsumsi makanan sesuai kebutuhan.
SIKI:
Intervensi yang dapat dilakukan:
- Manajemen nutrisi: membantu pasien mengatur asupan gizi yang sesuai.
- Konseling gizi: memberikan edukasi dan konseling terkait kebutuhan nutrisi pasien.
- Pemantauan nutrisi: memantau status nutrisi pasien secara berkala.
Penjelasan singkat:
Pasien mengalami anoreksia (penurunan nafsu makan) yang menyebabkan penurunan berat badan. Hal ini terkait dengan kondisi kesehatan pasien, seperti gagal jantung kongestif, pneumonia, dan kemungkinan vaskulitis yang dimediasi imun. Intervensi keperawatan yang dapat diberikan adalah manajemen nutrisi, konseling gizi, dan pemantauan nutrisi untuk memastikan asupan makanan yang adekuat dan mempertahankan status gizi pasien. -
Article No. 8799 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide. Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium. Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang Anda berikan, berikut adalah diagnosis keperawatan, penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI, serta rencana keperawatan untuk kondisi pasien tersebut:
Diagnosis Keperawatan:
1. Risiko Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan peningkatan kehilangan cairan akibat gagal jantung kongestif.
2. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan penurunan kekuatan dan daya tahan akibat anemia dan gagal jantung.
3. Defisit Nutrisi berhubungan dengan anoreksia dan penurunan asupan makanan akibat penyakit.
Penjelasan Singkat SDKI - SLKI - SIKI:
1. Risiko Kekurangan Volume Cairan
- SDKI: Penurunan cairan intravasal yang dapat mengancam kehidupan.
- SLKI: Perawatan Cairan dan Elektrolit
- SIKI: Pemantauan Cairan, Pengelolaan Cairan Intravena, Terapi Diuretik.
2. Intoleransi Aktivitas
- SDKI: Keterbatasan kemampuan untuk mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas rutin.
- SLKI: Manajemen Energi, Peningkatan Aktivitas.
- SIKI: Manajemen Kelelahan, Edukasi Aktivitas.
3. Defisit Nutrisi
- SDKI: Asupan nutrisi tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
- SLKI: Manajemen Nutrisi.
- SIKI: Terapi Nutrisi Enteral, Edukasi Gizi.
Rencana Keperawatan:
1. Pemantauan keseimbangan cairan, intake-output, tanda-tanda vital, dan edema untuk mendeteksi dan mengelola risiko kekurangan volume cairan.
2. Intervensi untuk meningkatkan toleransi aktivitas, seperti latihan fisik bertahap, manajemen energi, dan edukasi.
3. Pemberian nutrisi enteral atau parenteral untuk memenuhi kebutuhan gizi, serta edukasi gizi untuk meningkatkan asupan makanan.
4. Kolaborasi dengan tim medis untuk penanganan penyakit dasar, seperti pengobatan gagal jantung, vaskulitis autoimun, dan komplikasi lainnya.
5. Dukungan psikososial dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan kemandirian pasien.
Implementasi dan evaluasi akan dilakukan secara berkala untuk memantau kemajuan pasien dan menyesuaikan rencana perawatan sesuai kebutuhan. -
Article No. 8800 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk edoksaban (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide. Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium. Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi pasien yang diberikan, berikut adalah diagnosa keperawatan SDKI, luaran/output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan (SLKI), dan intervensi keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan luaran (SIKI):
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Kardiak (SDKI 2017)
Definisi: Penurunan sirkulasi darah ke jantung, yang dapat mengancam kesehatan.
Faktor Berhubungan: Penurunan kontraktilitas miokard, edema paru, regurgitasi katup mitral dan trikuspid.
2. Batas Intoleransi Aktivitas (SDKI 2017)
Definisi: Ketidakmampuan untuk mentoleransi aktivitas fisik.
Faktor Berhubungan: Penurunan kontraktilitas miokard, kelelahan, penurunan nafsu makan.
3. Risiko Gangguan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh (SDKI 2017)
Definisi: Berisiko mengalami asupan nutrisi yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Faktor Berhubungan: Penurunan nafsu makan, mual.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Perfusi Jaringan Jantung (SLKI 2019)
Kriteria Hasil:
- Irama jantung teratur
- Pengisian nadi normal
- Tekanan darah sistolik dan diastolik dalam batas normal
- Tidak ada tanda-tanda gagal jantung
2. Toleransi Aktivitas (SLKI 2019)
Kriteria Hasil:
- Mampu melakukan aktivitas sehari-hari tanpa kelelahan berlebih
- Tidak ada keluhan sesak napas saat aktivitas
- Tidak ada peningkatan denyut nadi yang signifikan saat aktivitas
3. Status Nutrisi (SLKI 2019)
Kriteria Hasil:
- Berat badan dalam batas normal
- Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
- Asupan nutrisi adekuat
- Tidak ada mual atau muntah
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Perfusi Jaringan Jantung (SIKI 2018)
Intervensi:
- Monitor tanda-tanda vital secara teratur
- Pantau output jantung dan gejala gagal jantung
- Berikan terapi farmakologis sesuai resep dokter (diuretik, inotropik)
- Kolaborasi dengan tim medis untuk mengelola kondisi jantung
2. Manajemen Aktivitas (SIKI 2018)
Intervensi:
- Evaluasi toleransi aktivitas pasien
- Bantu pasien dalam aktivitas sehari-hari sesuai kemampuan
- Anjurkan istirahat yang cukup
- Ajarkan teknik manajemen energi
- Kolaborasi dengan tim rehabilitasi
3. Manajemen Nutrisi (SIKI 2018)
Intervensi:
- Kaji status nutrisi pasien
- Sediakan makanan yang sesuai dengan preferensi dan kondisi pasien
- Bantu pasien dalam makan jika diperlukan
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk intervensi nutrisi yang tepat
- Monitor asupan dan output cairan pasien
Penjelasan:
Diagnosa keperawatan SDKI yang sesuai dengan kondisi pasien adalah Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Kardiak, Batas Intoleransi Aktivitas, dan Risiko Gangguan Nutrisi: Kurang dari Kebutuhan Tubuh. Luaran/output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan adalah perfusi jaringan jantung yang optimal, toleransi aktivitas yang baik, dan status nutrisi yang adekuat. Intervensi keperawatan yang diperlukan mencakup pemantauan tanda-tanda vital, manajemen aktivitas dan nutrisi, serta kolaborasi dengan tim medis dan rehabilitasi untuk mengelola kondisi pasien secara komprehensif.