Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 8728 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang Perempuan, 22 tahun, di ruang nifas, melahirkan 8 jam yang lalu. Pasien mengeluh nyeri perut, keluar darah pervaginam, pusing. Hasil pemeriksaan uterus lembek, kontraksi lemah, keluar darah pervaginam lebih dari 500 ml, terdapat luka episiotomy, TTV TD: 100/80 mmHg, frekuensi Nafas : 24 x/mnt, suhu: 36 C. Apakah masalah keperawatan yang tepat pada kasus tersebut ??
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10: Berdasarkan informasi yang diberikan, dapat diidentifikasi bahwa pasien mengalami kondisi berikut:
1. Kode ICD-10:
- Kode: O72.1
- Deskripsi: Perdarahan postpartum segera
2. Kode ICD-9-CM Procedure (jika ada):
- Kode: 75.94
- Deskripsi: Pemantauan uterus, postpartum
Penjelasan detail:
Pasien, seorang perempuan berusia 22 tahun, yang baru saja melahirkan 8 jam yang lalu, mengeluhkan nyeri perut, perdarahan pervaginam, dan pusing. Hasil pemeriksaan menunjukkan uterus yang lembek dengan kontraksi yang lemah, serta keluaran darah pervaginam yang melebihi 500 ml. Kondisi ini sesuai dengan diagnosis Perdarahan postpartum segera (kode ICD-10 O72.1).
Perdarahan postpartum segera adalah perdarahan abnormal yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran. Kondisi ini dapat disebabkan oleh atonia uteri (uterus yang tidak berkontraksi dengan baik), retensio plasenta, atau laserasi jalan lahir, seperti luka episiotomi yang terlihat pada pasien.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah pemantauan uterus, postpartum (kode ICD-9-CM 75.94), yang meliputi pemeriksaan kontraksi uterus, perdarahan, dan tanda-tanda vital secara berkala untuk memastikan pemulihan yang baik.
Masalah keperawatan yang tepat pada kasus ini adalah:
1. Risiko perdarahan yang berhubungan dengan atonia uteri, retensio plasenta, atau laserasi jalan lahir.
2. Nyeri yang berhubungan dengan kontraksi uterus dan luka episiotomi.
3. Pusing yang berhubungan dengan hipovolemia akibat perdarahan.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan antara lain:
- Pemantauan tanda vital, kontraksi uterus, dan perdarahan secara berkala.
- Pemberian oksitosik untuk meningkatkan kontraksi uterus.
- Pemberian cairan intravena untuk mengatasi hipovolemia.
- Pemberian analgetik untuk mengatasi nyeri.
- Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi dan tatalaksananya.
Dengan penatalaksanaan yang tepat, diharapkan pasien dapat pulih dengan baik dari kondisi perdarahan postpartum segera yang dialaminya. -
Article No. 8729 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang perempuan, umur 30 tahun, melahirkan bayi laki-laki 2 hari yang lalu dengan umur kehamilan 36 minggu dan berat badan lahir :2400 gr. Hasil pengkajian: bayi mengigil, kulit teraba dingin, lemak subcutan sedikit, kulit tipis, dasar kuku sianotik, dan merintih. Apakah pengkajian selanjutnya yang dilakukan perawat pada kasus tersebut??
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Assalamualaikum, Ibu. Baik, saya akan memberikan penjelasan yang rinci dan terperinci mengenai diagnosis keperawatan, luaran/output yang diharapkan, dan intervensi keperawatan yang diperlukan untuk kasus yang Ibu sampaikan.
1. Diagnosis Keperawatan SDKI yang sesuai:
Berdasarkan kondisi yang Ibu paparkan, diagnosis keperawatan yang sesuai adalah "Hipotermia" (SDKI, 2017). Pada kasus ini, bayi mengalami kondisi di mana suhu tubuhnya di bawah normal, ditandai dengan gejala seperti menggigil, kulit teraba dingin, lemak subcutan yang sedikit, kulit tipis, dasar kuku sianotik, dan merintih.
2. Pengkajian Selanjutnya:
Setelah menetapkan diagnosis keperawatan, perawat selanjutnya perlu melakukan pengkajian yang lebih komprehensif, antara lain:
a. Melakukan pengukuran suhu tubuh bayi secara akurat.
b. Menilai tanda-tanda vital lain, seperti denyut nadi, frekuensi napas, dan tekanan darah.
c. Mengkaji lebih lanjut tanda-tanda klinis hipotermia, seperti aktivitas, responsivitas, dan warna kulit.
d. Menggali riwayat persalinan dan faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab hipotermia pada bayi (misalnya, prematuritas, kelahiran di lingkungan yang dingin, dll.).
e. Mengevaluasi asupan nutrisi dan cairan bayi.
f. Memeriksa tanda-tanda infeksi atau komplikasi lain yang mungkin terjadi.
3. Luaran/Output yang Diharapkan (SLKI):
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, diharapkan bayi dapat mencapai luaran/output berikut:
a. Suhu tubuh bayi kembali normal (36,5-37,5°C).
b. Tanda-tanda vital bayi dalam batas normal.
c. Bayi tidak menggigil dan terlihat lebih nyaman.
d. Warna kulit bayi normal, tidak sianosis.
e. Bayi dapat menyusu dengan baik dan asupan nutrisi serta cairan terpenuhi.
f. Tidak ada tanda-tanda infeksi atau komplikasi lain.
4. Intervensi Keperawatan (SIKI):
Untuk mencapai luaran/output yang diharapkan, perawat dapat melakukan intervensi keperawatan berikut:
a. Mempertahankan suhu lingkungan yang optimal (suhu ruangan 24-26°C) dengan menggunakan inkubator atau selimut hangat.
b. Melakukan pemanasan aktif pada bayi, seperti menggunakan botol air hangat atau lampu penghangat.
c. Memantau suhu tubuh bayi secara berkala dan melakukan tindakan penanganan segera jika suhu tubuh belum mencapai normal.
d. Mempertahankan posisi bayi untuk memaksimalkan konservasi panas, seperti posisi fleksi dengan ekstremitas terlipat.
e. Memberikan asupan nutrisi dan cairan yang adekuat sesuai kebutuhan bayi.
f. Mengobservasi tanda-tanda vital dan tanda klinis lain secara ketat.
g. Melakukan pencegahan dan penanganan infeksi, jika diperlukan.
h. Memberikan edukasi dan dukungan kepada keluarga mengenai perawatan bayi dengan hipotermia.
Demikian penjelasan yang dapat saya berikan. Semoga informasi ini dapat membantu Ibu dalam memberikan asuhan keperawatan yang optimal pada bayi dengan hipotermia. Jika ada pertanyaan lain, jangan ragu untuk menanyakannya. -
Article No. 8730 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk Obat antikoagulan oral. (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL Egfr 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, berikut adalah diagnosa keperawatan SDKI, luaran/output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan (SLKI), dan intervensi keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan luaran (SIKI) yang sesuai dengan kondisi pasien yang diberikan:
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan fungsi kardiovaskular dan penurunan energi, ditandai dengan anoreksia, dispnea, dan peningkatan kelelahan.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan curah jantung dan gangguan sirkulasi, ditandai dengan ekstremitas perifer yang dingin dan peningkatan kadar laktat serum.
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme pengaturan cairan, ditandai dengan penurunan berat badan, edema, dan peningkatan BUN dan kreatinin.
4. Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan imunitas, ditandai dengan leukopenia, trombositopenia, dan peningkatan CRP.
5. Gangguan sistem imun berhubungan dengan penyakit autoimun, ditandai dengan peningkatan antibodi antinuklear, pansitopenia, dan penurunan C3 dan C4.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Intoleransi Aktivitas:
a. Toleransi Aktivitas: Pasien dapat berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari sesuai kemampuan.
b. Energi: Pasien menunjukkan peningkatan energi.
c. Status Nutrisi: Pasien menunjukkan peningkatan status nutrisi.
2. Perfusi Jaringan Perifer:
a. Perfusi Perifer: Pasien menunjukkan peningkatan perfusi perifer.
b. Sirkulasi: Pasien menunjukkan peningkatan sirkulasi.
3. Keseimbangan Cairan:
a. Hidrasi: Pasien menunjukkan status hidrasi yang adekuat.
b. Fungsi Ginjal: Pasien menunjukkan peningkatan fungsi ginjal.
4. Risiko Infeksi:
a. Respons Imun: Pasien menunjukkan peningkatan respons imun.
b. Bebas Infeksi: Pasien bebas dari infeksi.
5. Sistem Imun:
a. Regulasi Imun: Pasien menunjukkan peningkatan regulasi sistem imun.
b. Bebas Gejala Penyakit Autoimun: Pasien bebas dari gejala penyakit autoimun.
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Intoleransi Aktivitas:
a. Manajemen Energi: Memantau dan mengatur aktivitas sesuai toleransi pasien, menyediakan alat bantu mobilisasi, dan memberikan latihan fisik secara bertahap.
b. Manajemen Nutrisi: Mengevaluasi status nutrisi, memberikan terapi nutrisi enteral atau parenteral sesuai kebutuhan, dan memantau asupan dan output pasien.
2. Perfusi Jaringan Perifer:
a. Manajemen Sirkulasi: Memantau tanda-tanda vital, mengatur posisi pasien, dan memberikan terapi obat-obatan vasoaktif sesuai indikasi.
b. Manajemen Cairan: Memantau intake dan output cairan, menjaga keseimbangan cairan, dan mengatur pemberian cairan infus.
3. Keseimbangan Cairan:
a. Manajemen Hidrasi: Memantau status hidrasi, mengatur pemberian cairan, dan memfasilitasi asupan cairan oral.
b. Manajemen Fungsi Ginjal: Memantau fungsi ginjal melalui pemeriksaan laboratorium, dan memberikan terapi diuretik sesuai indikasi.
4. Risiko Infeksi:
a. Manajemen Imunologi: Memantau parameter imunologis, dan memberikan terapi imunostimulan atau imunosupresan sesuai indikasi.
b. Manajemen Infeksi: Memantau tanda-tanda infeksi, memberikan terapi antimikroba sesuai indikasi, dan menjaga lingkungan yang bersih.
5. Sistem Imun:
a. Manajemen Autoimun: Memantau parameter autoimun, memberikan terapi imunosupresan sesuai indikasi, dan melakukan konsultasi dengan spesialis reumatologi.
b. Manajemen Gejala Penyakit Autoimun: Memantau tanda dan gejala penyakit autoimun, memberikan terapi simptomatik, dan melakukan edukasi kepada pasien dan keluarga.
Penjelasan rinci dan terperinci:
Diagnosa keperawatan SDKI dirumuskan berdasarkan kondisi pasien yang mengalami gagal jantung kongestif, penurunan perfusi jaringan perifer, gangguan keseimbangan cairan, risiko infeksi, dan dugaan penyakit autoimun. Luaran/output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan (SLKI) mencakup perbaikan toleransi aktivitas, peningkatan perfusi jaringan perifer, keseimbangan cairan yang adekuat, penurunan risiko infeksi, dan regulasi sistem imun yang membaik. Intervensi keperawatan yang diperlukan (SIKI) terdiri dari manajemen energi, nutrisi, sirkulasi, cairan, imunologi, dan pengelolaan penyakit autoimun. Intervensi-intervensi ini bertujuan untuk mencapai luaran/output yang diharapkan dan mengatasi masalah-masalah keperawatan yang teridentifikasi pada pasien. -
Article No. 8731 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk Obat antikoagulan oral. (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL Egfr 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan kondisi pasien yang dideskripsikan, berikut adalah diagnosa keperawatan SDKI, luaran/output yang diharapkan setelah asuhan keperawatan (SLKI), dan intervensi keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan luaran (SIKI):
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Gangguan Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan makan akibat anoreksia dan penurunan asupan makanan.
2. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan penurunan curah jantung dan disfungsi kardiovaskular.
3. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer berhubungan dengan gangguan sirkulasi perifer.
4. Risiko Infeksi berhubungan dengan pansitopenia dan penurunan imunitas.
5. Kelelahan berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis akibat gagal jantung kongestif dan kondisi medis lainnya.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Gangguan Nutrisi:
- Asupan Nutrisi: Pasien dapat mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi.
- Status Nutrisi: Pasien menunjukkan peningkatan berat badan dan mempertahankan komposisi tubuh yang sehat.
2. Intoleransi Aktivitas:
- Toleransi Aktivitas: Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan bantuan minimal.
- Energi: Pasien menunjukkan peningkatan kekuatan dan daya tahan untuk melakukan aktivitas.
3. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer:
- Sirkulasi Perifer: Pasien menunjukkan perbaikan pada suhu, warna, dan pengisian kapiler ekstremitas.
- Oksigenasi Jaringan: Pasien menunjukkan peningkatan kadar oksigen jaringan.
4. Risiko Infeksi:
- Pemulihan dari Infeksi: Pasien terbebas dari infeksi selama perawatan.
- Respons Imun: Pasien menunjukkan peningkatan respons imun yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel darah putih.
5. Kelelahan:
- Manajemen Energi: Pasien dapat mengatur aktivitas dan istirahat sehingga dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
- Partisipasi dalam Aktivitas: Pasien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Gangguan Nutrisi:
- Manajemen Nutrisi: Memberikan asupan nutrisi sesuai kebutuhan pasien, memantau asupan dan output cairan, serta kolaborasi dengan ahli gizi.
- Peningkatan Nutrisi: Memberikan informasi dan edukasi tentang gizi yang seimbang, serta membantu pasien meningkatkan asupan makanan.
2. Intoleransi Aktivitas:
- Manajemen Aktivitas: Mengatur dan membantu pasien melakukan aktivitas sesuai toleransinya, serta menerapkan teknik konservasi energi.
- Fasilitasi Aktivitas: Memfasilitasi pasien untuk meningkatkan toleransi aktivitas melalui rehabilitasi dan latihan.
3. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer:
- Manajemen Sirkulasi: Memantau tanda-tanda vital, mengatur posisi pasien, dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk meningkatkan perfusi jaringan.
- Manajemen Oksigenasi: Memberikan oksigen dan memantau saturasi oksigen.
4. Risiko Infeksi:
- Manajemen Infeksi: Memantau tanda-tanda infeksi, melakukan perawatan luka, dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain untuk penanganan infeksi.
- Peningkatan Imunitas: Memfasilitasi peningkatan respons imun melalui edukasi, intervensi, dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain.
5. Kelelahan:
- Manajemen Energi: Mengatur dan membantu pasien dalam melakukan aktivitas dan istirahat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
- Fasilitasi Aktivitas: Memfasilitasi pasien untuk meningkatkan toleransi aktivitas melalui rehabilitasi dan latihan.
Penjelasan rinci dan terperinci untuk setiap poin di atas:
Diagnosa Keperawatan SDKI:
1. Gangguan Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan makan akibat anoreksia dan penurunan asupan makanan.
- Pasien mengalami penurunan nafsu makan (anoreksia) yang menyebabkan penurunan asupan makanan dan risiko malnutrisi.
2. Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan penurunan curah jantung dan disfungsi kardiovaskular.
- Pasien mengalami penurunan curah jantung dan disfungsi kardiovaskular akibat gagal jantung kongestif, yang menyebabkan keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
3. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer berhubungan dengan gangguan sirkulasi perifer.
- Pasien mengalami gangguan sirkulasi perifer yang ditandai dengan ekstremitas terasa dingin, menunjukkan adanya kegagalan sirkulasi perifer.
4. Risiko Infeksi berhubungan dengan pansitopenia dan penurunan imunitas.
- Pasien mengalami pansitopenia (penurunan sel darah putih, sel darah merah, dan trombosit) yang meningkatkan risiko infeksi.
5. Kelelahan berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis akibat gagal jantung kongestif dan kondisi medis lainnya.
- Pasien mengalami penurunan fungsi fisiologis akibat gagal jantung kongestif dan kondisi medis lainnya, yang menyebabkan kelelahan.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Gangguan Nutrisi:
- Asupan Nutrisi: Diharapkan pasien dapat mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi, sehingga dapat mempertahankan atau meningkatkan status nutrisinya.
- Status Nutrisi: Diharapkan pasien menunjukkan peningkatan berat badan dan mempertahankan komposisi tubuh yang sehat, sebagai indikator perbaikan status nutrisi.
2. Intoleransi Aktivitas:
- Toleransi Aktivitas: Diharapkan pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan bantuan minimal, menunjukkan peningkatan toleransi aktivitas.
- Energi: Diharapkan pasien menunjukkan peningkatan kekuatan dan daya tahan untuk melakukan aktivitas, sebagai indikator peningkatan energi.
3. Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer:
- Sirkulasi Perifer: Diharapkan pasien menunjukkan perbaikan pada su -
Article No. 8732 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang perempuan, usia 34 tahun, berada di ruang bersalin, memasuki kala 4, sudah disuntik oksitosin.Hasil pemeriksaan fisik : plasenta belum lepas, kontraksi uterus kuat, bayi masih dilakukan IMD, TD 90/70 mmHg, Nadi 88x/menit, RR 24x/menit, suhu 37Co, Apakah intervensi keperawatan yang tepat pada kasus di atas ??
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI yang Sesuai:
1. Retensio Plasenta
Definisi: Ketidakmampuan plasenta untuk terlepas dari dinding uterus dalam waktu yang ditetapkan setelah bayi lahir.
Luaran/Output yang Diharapkan (SLKI):
1. Pengeluaran Plasenta
- Definisi: Proses keluarnya plasenta dari uterus secara utuh dan lengkap.
- Kriteria Hasil:
a. Plasenta terlepas dan keluar utuh
b. Perdarahan terkontrol
c. Kontraksi uterus kuat dan berkala
Intervensi Keperawatan yang Diperlukan (SIKI):
1. Monitor Kontraksi Uterus
- Definisi: Memantau kontraksi uterus untuk mengetahui keadaan dan perkembangan proses pengeluaran plasenta.
- Aktivitas:
a. Palpasi uterus secara berkala untuk menilai kontraksi
b. Catat frekuensi, durasi, dan intensitas kontraksi
c. Kolaborasi dengan tenaga medis terkait
2. Manajemen Pemberian Oksitosin
- Definisi: Pemberian oksitosin untuk memperkuat kontraksi uterus dalam proses pengeluaran plasenta.
- Aktivitas:
a. Kolaborasi dengan tenaga medis untuk pemberian oksitosin
b. Pantau efek pemberian oksitosin terhadap kontraksi uterus
c. Catat dosis, waktu, dan respon pasien
3. Manajemen Perdarahan
- Definisi: Pengelolaan perdarahan yang terjadi akibat retensio plasenta.
- Aktivitas:
a. Lakukan kompres hangat pada abdomen
b. Observasi tanda-tanda perdarahan
c. Kolaborasi dengan tenaga medis untuk penanganan perdarahan
Penjelasan:
Dalam kasus ini, pasien mengalami retensio plasenta yang ditandai dengan plasenta belum lepas meskipun sudah disuntik oksitosin. Intervensi keperawatan yang tepat adalah memonitor kontraksi uterus secara berkala, mengelola pemberian oksitosin untuk memperkuat kontraksi, serta mengelola perdarahan yang mungkin timbul. Luaran yang diharapkan adalah pengeluaran plasenta secara utuh dan lengkap, dengan kontraksi uterus yang kuat dan perdarahan yang terkontrol. Intervensi ini dilakukan secara kolaboratif dengan tenaga medis terkait untuk memastikan penanganan yang efektif dan aman bagi pasien. -
Article No. 8733 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang perempuan, usia 23 tahun, P1A0 past partum hari ke 7, datang ke poli KIA untuk control pasca pesalinan mengeluh nyeri dan keluar cairan kuning pada daerah jahitan episiotomy. Hasil pemeriksaan fisik TD: 110/70 mmHg, nadi; 92x/menit, RR: 20x/menit, Suhu : 38,50, skala nyeri 5 Apakah pengkajian selanjutnya pada kasus di atas ??
ICD-SDKI: SDKI (+)
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Diagnosa Keperawatan SDKI yang sesuai untuk kondisi tersebut:
1. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyembuhan luka episiotomi, ditandai dengan skala nyeri 5.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur episiotomi, ditandai dengan tanda-tanda infeksi seperti keluar cairan kuning pada daerah jahitan.
Pengkajian selanjutnya yang perlu dilakukan:
1. Pengkajian tanda-tanda vital secara berkala untuk mendeteksi adanya perubahan.
2. Pengkajian luka episiotomi, meliputi lokasi, ukuran, warna, jumlah eksudat, dan tanda-tanda infeksi.
3. Pengkajian riwayat kesehatan, termasuk riwayat alergi, riwayat infeksi, dan riwayat pemberian obat-obatan.
4. Pengkajian nyeri, meliputi lokasi, kualitas, intensitas, frekuensi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri.
5. Pengkajian status nutrisi dan intake cairan.
Luaran/Output yang diharapkan setelah Asuhan Keperawatan (SLKI):
1. Nyeri Terkontrol: Pasien mampu mengendalikan nyeri, ditandai dengan penurunan skala nyeri menjadi ≤ 3.
2. Bebas Infeksi: Luka episiotomi tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi, seperti tidak ada eksudat kuning, tidak ada kemerahan, dan suhu tubuh normal.
Intervensi Keperawatan yang diperlukan untuk mencapai tujuan Luaran (SIKI):
1. Manajemen Nyeri:
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif.
b. Berikan analgesik sesuai dengan resep dokter.
c. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri, seperti distraksi, relaksasi, dan kompres hangat.
d. Kolaborasi dengan dokter untuk evaluasi dan penyesuaian terapi analgesik.
2. Pencegahan Infeksi:
a. Lakukan perawatan luka episiotomi sesuai prosedur aseptik.
b. Pantau tanda-tanda infeksi, seperti suhu tubuh, warna, jumlah, dan karakteristik eksudat.
c. Berikan antibiotik sesuai resep dokter.
d. Ajarkan pasien tentang perawatan luka episiotomi di rumah.
e. Kolaborasi dengan dokter untuk evaluasi perkembangan luka dan pemberian terapi yang tepat.
Penjelasan rinci:
Sebagai seorang perawat, saya melakukan pengkajian yang komprehensif untuk mengidentifikasi diagnosa keperawatan yang sesuai dengan kondisi pasien. Nyeri akut dan risiko infeksi merupakan diagnosa keperawatan yang paling relevan berdasarkan gejala yang dialami pasien. Selanjutnya, saya merancang luaran atau hasil yang diharapkan setelah pemberian asuhan keperawatan, yaitu nyeri terkontrol dan bebas infeksi. Untuk mencapai tujuan tersebut, saya menyusun intervensi keperawatan yang mencakup manajemen nyeri dan pencegahan infeksi. Intervensi ini dilakukan secara kolaboratif dengan dokter untuk memastikan penanganan yang optimal bagi pasien. -
Article No. 8734 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk Obat antikoagulan oral. (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL Egfr 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Baik, berdasarkan kasus yang Anda deskripsikan, berikut adalah Diagnosa Keperawatan dan penjelasan singkat terkait SDKI - SLKI - SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia:
Diagnosa Keperawatan:
1. Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh
2. Intoleransi aktivitas
3. Penurunan curah jantung
4. Kegagalan sirkulasi perifer
5. Nyeri akut
6. Risiko infeksi
Penjelasan singkat SDKI - SLKI - SIKI:
1. Ketidakseimbangan nutrisi: Kurang dari kebutuhan tubuh
- SDKI: Keadaan di mana asupan nutrisi tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik.
- SLKI: Peningkatan asupan nutrisi, Pemantauan nutrisi, Pemberian nutrisi.
- SIKI: Manajemen Anoreksia, Manajemen Mual Muntah, Manajemen Berat Badan.
2. Intoleransi aktivitas
- SDKI: Keterbatasan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas rutin.
- SLKI: Peningkatan Toleransi Aktivitas, Manajemen Energi, Mobilisasi.
- SIKI: Manajemen Aktivitas, Manajemen Kelemahan.
3. Penurunan curah jantung
- SDKI: Keadaan di mana jantung tidak dapat memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
- SLKI: Peningkatan Perfusi Jaringan, Manajemen Cairan, Manajemen Shok.
- SIKI: Manajemen Gagal Jantung, Manajemen Syok.
4. Kegagalan sirkulasi perifer
- SDKI: Ketidakmampuan sistem kardiovaskular untuk mendistribusikan darah ke seluruh tubuh.
- SLKI: Peningkatan Perfusi Jaringan, Manajemen Cairan, Manajemen Syok.
- SIKI: Manajemen Syok, Manajemen Gangguan Sirkulasi.
5. Nyeri akut
- SDKI: Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan.
- SLKI: Manajemen Nyeri, Terapi Nyeri.
- SIKI: Manajemen Nyeri Akut, Manajemen Nyeri Kronis.
6. Risiko infeksi
- SDKI: Kerentanan terhadap invasi dan multiplikasi organisme patogen.
- SLKI: Pencegahan Infeksi, Manajemen Infeksi.
- SIKI: Manajemen Infeksi, Pencegahan Infeksi.
Dalam kasus ini, pasien mengalami anoreksia, penurunan curah jantung akibat gagal jantung kongestif, kegagalan sirkulasi perifer, serta risiko infeksi terkait kondisi medisnya yang kompleks. Perawatan yang komprehensif dan kolaboratif diperlukan untuk menangani masalah-masalah keperawatan tersebut. -
Article No. 8735 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk Obat antikoagulan oral. (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL Egfr 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang diberikan, saya dapat memberikan diagnosis keperawatan dan penjelasan singkat menggunakan standar SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia), SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia), dan SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia) yang ditetapkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) untuk kondisi pasien tersebut:
Diagnosis Keperawatan:
1. Kekurangan volume cairan terkait penurunan asupan makanan dan cairan, disebabkan oleh anoreksia dan komplikasi penyakit dasar.
2. Intoleransi aktivitas terkait penurunan fungsi kardiopulmonal, disebabkan oleh gagal jantung kongestif.
3. Nyeri akut terkait proses penyakit, disebabkan oleh vaskulitis autoimun.
4. Risiko infeksi terkait penurunan sistem imun, disebabkan oleh pansitopenia.
Penjelasan Singkat:
1. Kekurangan volume cairan:
- SDKI: Kekurangan Volume Cairan
- SLKI: Keseimbangan Cairan Terpenuhi
- SIKI: Manajemen Cairan, Peningkatan Asupan Nutrisi, Terapi Nutrisi
2. Intoleransi aktivitas:
- SDKI: Intoleransi Aktivitas
- SLKI: Toleransi Aktivitas Meningkat
- SIKI: Manajemen Aktivitas, Manajemen Energi, Terapi Latihan
3. Nyeri akut:
- SDKI: Nyeri Akut
- SLKI: Nyeri Terkontrol
- SIKI: Manajemen Nyeri, Manajemen Inflamasi, Terapi Farmakologis
4. Risiko infeksi:
- SDKI: Risiko Infeksi
- SLKI: Bebas Infeksi
- SIKI: Manajemen Infeksi, Manajemen Peradangan, Terapi Farmakologis
Dalam perawatan pasien ini, perawat perlu memfokuskan pada upaya untuk memenuhi kebutuhan cairan, mengatasi intoleransi aktivitas, mengelola nyeri, dan mencegah infeksi. Selain itu, perawat juga perlu melakukan pemantauan yang ketat terhadap kondisi pasien, termasuk tanda-tanda vital, intake-output, dan hasil pemeriksaan laboratorium, serta berkoordinasi dengan tim kesehatan lainnya untuk memberikan perawatan yang komprehensif. -
Article No. 8736 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk Obat antikoagulan oral. (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL Egfr 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang diberikan, berikut adalah diagnosa keperawatan dan penjelasan singkat terkait dengan SDKI, SLKI, dan SIKI standar dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia untuk kondisi yang dialami oleh pasien:
Diagnosa Keperawatan:
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan curah jantung dan gangguan fungsi organ akibat gagal jantung kongestif.
2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan malnutrisi.
3. Gangguan perfusi jaringan: perifer berhubungan dengan syok kardiogenik dan penurunan output jantung.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun.
Penjelasan Singkat:
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia):
1. Intoleransi aktivitas: Ketidakmampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas sehari-hari akibat keterbatasan fisik dan psikologis.
2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh: Asupan nutrisi yang tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
3. Gangguan perfusi jaringan: perifer: Aliran darah yang tidak memadai ke jaringan perifer.
4. Resiko infeksi: Peningkatan rentan terhadap invasi dan multiplikasi organisme patogen.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia):
1. Toleransi aktivitas membaik, Integritas jaringan membaik, Tanda-tanda vital dalam batas normal.
2. Status nutrisi membaik, Asupan nutrisi adekuat, Berat badan membaik.
3. Perfusi perifer membaik, Suhu ekstremitas membaik, Pengisian kapiler membaik.
4. Bebas infeksi, Tidak ada tanda-tanda infeksi.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia):
1. Manajemen aktivitas, Manajemen energi, Terapi oksigen.
2. Manajemen nutrisi, Terapi nutrisi enteral, Kolaborasi dengan ahli gizi.
3. Manajemen perfusi jaringan, Manajemen syok, Terapi vasopressor.
4. Manajemen infeksi, Pemantauan tanda-tanda infeksi, Kolaborasi dengan tim kesehatan lain.
Tujuan utama perawatan adalah untuk mengatasi gangguan sirkulasi, malnutrisi, dan risiko infeksi yang dialami oleh pasien, sehingga dapat meningkatkan toleransi aktivitas, status nutrisi, perfusi jaringan, dan mencegah komplikasi lebih lanjut. -
Article No. 8737 | 12 Dec 2024
Klinis : Seorang pria berusia 87 tahun yang tinggal di rumah dan mandiri dalam aktivitas sehari-harinya mengunjungi rumah sakit dengan keluhan anoreksia. Tiga bulan sebelumnya, pasien mengunjungi rumah sakit dengan keluhan dispnea dan didiagnosis mengalami gagal jantung kongestif. Pasien dipulangkan pada hari ke-14 setelah dirawat dengan perbaikan gejala setelah pemberian furosemid oral dosis 40 mg per hari selama satu minggu. Selama perawatan, pasien mengalami pansitopenia, antibodi antinuklear (nukleus) sebesar 80 kali lipat, dan kadar imunoglobulin G sebesar 2.077 mg/dL; oleh karena itu, pasien diikuti lebih lanjut untuk kecurigaan hepatitis autoimun. Pemeriksaan antibodi antiribonukleoprotein, anti-Sm, dan anti-double-stranded deoxyribonucleic acid menunjukkan hasil negatif. Satu bulan sebelum kunjungan terakhir, pasien dirawat di rumah sakit dengan keluhan anoreksia dan didiagnosis pneumonia bakteri. Pasien diobati dengan seftriakson untuk pneumonia; namun, demam tetap bertahan dan anoreksia tidak membaik. Setelah memeriksa secara menyeluruh kemungkinan penyebab lain dari gejalanya, dicurigai adanya vaskulitis yang dimediasi imun. Pengobatan dimulai dengan prednisolon dosis 50 mg karena kadar komplemen yang rendah dan peningkatan protein urin (C3: 85 mg/dL, C4: 13 mg/dL, estimasi protein urin harian: 15,1 g/1,73 m²). Demam pasien mereda, dan ia dapat makan dengan baik; oleh karena itu, dosis prednisolon diturunkan menjadi 25 mg, dan pasien dipulangkan pada hari ke-13 perawatan. Dosis prednisolon kemudian dikurangi menjadi 10 mg; namun, pasien kembali ke rumah sakit satu minggu kemudian karena asupan makanannya menurun. Riwayat medis pasien meliputi emboli serebral kardiogenik sisi kanan, fibrilasi atrium, gastrektomi karena ulkus lambung, penyakit ginjal kronis, dan aneurisma aorta asendens. Obat-obatan yang digunakan termasuk Obat antikoagulan oral. (30 mg/hari), silodosin (4 mg/hari), empagliflozin (10 mg/hari), spironolakton (25 mg/hari), dan prednisolon (10 mg/hari). Saat tiba di rumah sakit, tanda-tanda vital pasien adalah sebagai berikut: kesadaran sedikit somnolen, suhu 36,3°C, tekanan darah 137/107 mmHg, frekuensi napas 22 kali/menit, denyut nadi 101 kali/menit tidak teratur, dan saturasi oksigen (SpO2) sebesar 95% (udara ruangan). Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan kekakuan leher; namun, konjungtiva kelopak mata tampak sedikit pucat, dan vena jugularis tampak distensi. Suara napas berkurang pada sisi dorsal kanan, tetapi tidak ada mengi atau bising jantung. Abdomen datar dan lunak, dengan nyeri tekan pada hipokondrium kanan. Tidak ditemukan edema tungkai, ruam kulit, atau pembengkakan sendi; namun, ditemukan dingin pada ekstremitas perifer. Pemeriksaan darah menunjukkan disfungsi hati dan ginjal serta peningkatan signifikan kadar brain natriuretic peptide (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Laboratorium Parameters Level Reference range White blood cells 10.30 3.5–9.1 × 103/μL Neutrophils 93.2 44.0–72.0% Lymphocytes 1.5 18.0–59.0% Monocytes 3.6 0.0–12.0% Eosinophils 0.0 0.0–10.0% Basophils 1.7 0.0–3.0% Red blood cells 4.45 3.76–5.50 × 106/μL Hemoglobin 14.1 11.3–15.2 g/dL Hematocrit 42.7 33.4–44.9% Mean corpuscular volume 95.9 79.0–100.0 fL Platelets 14.4 13.0–36.9 × 104/μL Total protein 6.4 6.5–8.3 g/dL Albumin 3.0 3.8–5.3 g/dL Total bilirubin 2.5 0.2–1.2 mg/dL Direct bilirubin 1.7 0.0–0.4 mg/dL Aspartate aminotransferase 424 8–38 IU/L Alanine aminotransferase 430 4–43 IU/L Alkaline phosphatase 141 106–322 U/L γ-Glutamyl transpeptidase 62 <48 IU/L Lactate dehydrogenase 645 121–245 U/L Blood urea nitrogen 73.6 8–20 mg/dL Creatinine 2.43 0.40–1.10 mg/dL Egfr 20.3 >60.0 mL/min/L Serum Na 130 135–150 mEq/L Serum K 6.0 3.5–5.3 mEq/L Serum Cl 99 98–110 mEq/L Serum Ca 9.4 8.8–10.2 mg/dL CK 85 56–244 U/L CK-MB 3 <5 mg/mL CRP 0.80 <0.30 mg/dL Serum glucose 159 70–110 mg/dL TSH 3.00 0.35–4.94 μIU/mL Free T4 0.9 0.70–1.48 ng/dL Troponin I 0.111 0.000–0.029 ng/mL Brain natriuretic hormone 1360.5 <18.4 Lupus anticoagulant (Silica clotting time ratio) 0.51 <1.16 Anti-cardiolipin antibody <0.4 <12.3 U/mL Urine test Leukocyte Negative Negative Nitrite Negative Negative Protein 2+ Negative Glucose 4+ Negative Urobilinogen Negative Negative Bilirubin Negative Negative Ketone Negative Negative Blood 3+ Negative pH 5.5 5.0–7.5 Pleural effusion pH 7.326 Total protein 1.3 g/dL Lactate dehydrogenase 87 U/L Glucose 125 mg/dL Adenosine deaminase 13.7 U/L Radiografi toraks menunjukkan rasio kardiotoraks sebesar 57%, tanda-tanda kongesti paru, dan permeabilitas paru kanan yang menurun. Ekokardiografi transtorasik menunjukkan fraksi ejeksi ventrikel kiri sekitar 10%, hipokinesis difus, regurgitasi mitral ringan, dan regurgitasi trikuspid, tetapi tidak ditemukan efusi perikardial, stenosis katup aorta, atau bentuk D-shape. Diameter vena cava inferior tampak membesar, tetapi tidak ditemukan perubahan pernapasan. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral dan sedikit asites, tetapi tidak ditemukan penebalan pleura atau perikardium (Gambar 1). Gambar 1. Computed tomography (CT) torakoabdominal menunjukkan efusi pleura bilateral tanpa adanya penebalan pleura atau perikardium (panah putih). Aorta asendens memiliki diameter pendek 55 mm dan membesar. Tidak ditemukan penebalan atau pembesaran dinding kantong empedu maupun peningkatan densitas jaringan lemak di sekitar kantong empedu, meskipun terdapat batu empedu di dalamnya. Temuan ini menunjukkan diagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan kardiomegali, distensi vena jugularis, dan efusi pleura. Tanda-tanda vital pasien stabil, tetapi sirkulasi perifer terasa dingin, dan kadar laktat serum meningkat. Pasien didiagnosis mengalami kegagalan sirkulasi perifer dan syok kardiogenik akibat penurunan tajam pada output jantung. Peningkatan kadar enzim hati dan memburuknya fungsi ginjal dikaitkan dengan kongesti sistem jantung kanan dan gangguan sirkulasi. Dobutamin diberikan untuk meningkatkan output jantung, furosemid untuk kontrol cairan, dan nicardipine digunakan karena tekanan darah yang terus meningkat. Pasien juga memiliki batu empedu dan nyeri pada kuadrisep kanan, sehingga kemungkinan sepsis akibat kolesistitis tidak dapat dikesampingkan; oleh karena itu, tazobactam/piperacillin diberikan. Ekokardiografi dan pengukuran laktat serum dilakukan untuk memantau fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kegagalan sirkulasi perifer, serta dosis dobutamin diturunkan pada hari berikutnya. Terapi antimikroba dihentikan pada hari ketujuh setelah kultur darah menunjukkan hasil negatif. Pada hari kedelapan perawatan, dosis prednisolon dikurangi menjadi 7,5 mg; namun, pada hari berikutnya, asupan makanan pasien kembali menurun, dan respons inflamasi meningkat. Kami mempertimbangkan kemungkinan bahwa keadaan vaskulitis kompleks imun yang responsif terhadap steroid menjadi penyebab gejala umum pasien dan meninjau hasil laboratorium sebelumnya. Tes darah sebelum masuk rumah sakit menunjukkan peningkatan 80 kali lipat antibodi antinuklear (nukleolar), leukopenia <4.000/μL, trombositopenia <100.000/μL, protein urin >0,5 g/hari, serta penurunan C3 dan C4, yang memberikan skor 15 poin berdasarkan kriteria klasifikasi European League Against Rheumatism/American College of Rheumatology (EULAR/ACR) 2019. Karena pasien berusia lebih dari 50 tahun dan didiagnosis dengan SLE onset lambat, pada hari ke-16 perawatan, dosis prednisolon dinaikkan menjadi 30 mg. Kadar protein urin dan C-reactive protein (CRP) pasien menurun, dan pengobatan SLE berlangsung tanpa komplikasi. Pasien menjalani terapi nutrisi untuk menangani penurunan asupan makanan dan rehabilitasi untuk mempertahankan serta meningkatkan tingkat aktivitasnya. Pada hari ke-31, pasien dipulangkan ke panti jompo.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Berdasarkan informasi yang diberikan, dapat disusun beberapa diagnosa keperawatan yang sesuai dengan kondisi pasien, beserta penjelasan singkat mengenai standar diagnosa dan intervensi keperawatan SDKI, SLKI, dan SIKI dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI):
1. Diagnosa Keperawatan: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
- SDKI: Keadaan di mana individu mengalami asupan nutrisi yang tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
- SLKI: Intervensi keperawatan untuk meningkatkan asupan nutrisi dan mencapai keseimbangan nutrisi yang optimal.
- SIKI: Intervensi keperawatan seperti pemberian nutrisi enteral, parenteral, atau kombinasi keduanya; konseling gizi; dan manajemen gejala yang menghambat asupan nutrisi.
2. Diagnosa Keperawatan: Intoleransi aktivitas
- SDKI: Keadaan di mana individu mengalami keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang diinginkan atau dibutuhkan.
- SLKI: Intervensi keperawatan untuk mempertahankan dan meningkatkan toleransi terhadap aktivitas.
- SIKI: Intervensi keperawatan seperti manajemen energi, latihan, dan rehabilitasi fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas.
3. Diagnosa Keperawatan: Kelelahan
- SDKI: Keadaan di mana individu mengalami penurunan kapasitas fisik dan mental yang berkelanjutan.
- SLKI: Intervensi keperawatan untuk memulihkan dan meningkatkan energi serta mengelola faktor penyebab kelelahan.
- SIKI: Intervensi keperawatan seperti manajemen aktivitas, manajemen energi, dan terapi modalitas untuk mengatasi kelelahan.
4. Diagnosa Keperawatan: Perubahan perfusi jaringan
- SDKI: Keadaan di mana individu mengalami penurunan aliran darah ke satu atau lebih jaringan tubuh.
- SLKI: Intervensi keperawatan untuk mempertahankan dan meningkatkan perfusi jaringan.
- SIKI: Intervensi keperawatan seperti manajemen cairan, pemberian oksigen, dan terapi farmakologis untuk memperbaiki perfusi jaringan.
5. Diagnosa Keperawatan: Gangguan eliminasi urin
- SDKI: Keadaan di mana individu mengalami penurunan, peningkatan, atau perubahan pola eliminasi urin.
- SLKI: Intervensi keperawatan untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi eliminasi urin.
- SIKI: Intervensi keperawatan seperti manajemen cairan, terapi farmakologis, dan perawatan kateter urin untuk mengatasi gangguan eliminasi urin.
Penerapan standar diagnosa dan intervensi keperawatan SDKI, SLKI, dan SIKI akan membantu perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dan terstruktur untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dialami oleh pasien.